The pain that I suffer alone.
-GONE-
"Aku siap mendengar kisahmu."
Siapa sih pria ini? Kurasa aku mengenalnya tapi sayang mataku kabur. Siapa peduli, yang penting ada yang mendengar kisahku.
"Ceritaku panjang. Kau yakin sanggup mendengarnya?"
"Kau bercerita sampai satu abad sekalipun aku sanggup mendengarnya."
Ha-ha, hiperbola.
Mulutku siap berucap namun di otakku masih terlihat jelas kepingan memori-memori masa lalu yang masih terasa sesak untuk diceritakan. Tapi kupikir akan lebih sesak lagi jika hanya aku yang menyimpannya.
"Kau ... Orang pertama yang tahu kisahku sebenarnya...,"
"Aku ... Aku adalah anak buangan." Dadaku terasa sesak. Memikirkannya saja membuat air mataku mengalir deras. Kerongkonganku terasa sakit--menahan isakan yang dapat kukeluarkan sewaktu-waktu.
"Aku anak buangan." sekali lagi aku mengatakan itu dengan gemetar. Air mataku kembali mengalir.
Aku berusaha mengatur nafas yang tidak beraturan di dada dengan mengepalkan kedua tanganku sambil menundukan kepala--tidak berani menatap orang di depanku.
Setelah mulai tenang aku melanjutkan kembali. "Ada orang tidak bertanggung jawab yang tidak menginginkan aku ada." butir-butir air itu kembali mengalir cepat melewati pipi sampai dagu dan akhirnya jatuh, sedangkan orang di depanku tetap tenang.
"Aku ditemukan dalam sebuah kardus di kolong jembatan." ucapku susah payah melawan isakan yang kutahan di leherku.
"Oh, aku pikir kau ditemukan dalam sebuah jamban." ucapnya polos.
Aish orang ini! Timing-nya tidak tepat.
"Lalu ... Siapa yang menemukanmu?"
"Seseorang membawaku ke panti asuhan..., jujur aku tidak suka tinggal di panti asuhan. Aku merasa seperti di kekang, sedangkan aku ingin bebas ...," ucapku tertahan oleh isakan kecilku.
Aku menarik nafas untuk menenangkanku.
"Akhirnya, aku mencoba kabur di usiaku yang masih memasuki 10 tahun, namun gagal. Mereka waspada sekali, aku heran" kali ini aku sedikit tersenyum dengan masih menundukkan kepalaku.
Kemudian senyumku berubah menjadi datar kembali.
"Aku tambah ingin kabur di saat ada perawat baru yang galak. Ya, aku dikenal keras kepala, batu, kebo, aneh, keterbelakangan, penyakitan, pembawa sial, sinting. Aku keren, kan? Mereka menganggapku begitu."
"Akhirnya ... Saat usiaku 15 tahun ... Aku benar-benar keluar dari penjara itu. Namun, aku tidak tahu tinggal di mana. Bodoh kan? Ya memang aku bodoh. I'm stupid as me ...,"
"... Aku menjadi gelandangan selama tiga setengah bulan. Aku mencoba menafkahi diriku sendiri. Mencoba melamar kerja tapi selalu ditolak karena umurku masih terlalu muda. Masa-masa itu ... Sangat suram. Aku tidak hanya membingungkan makanan atau tempat tinggal, aku juga bingung kemana aku harus bersembunyi dari perawat-perawat itu sebab mereka mencariku..."
"Kenapa ceritaku mirip cerita-cerita thriller ha-ha." ucapku disertai senyuman tipis. Namun senyuman itu kembali pudar ketika tiba-tiba memori ini terlintas di benakku.
Mulutku mengunci sempurna. Mataku menatap kosong tanganku yang berada di atas meja. Pendengaranku seakan-akan tidak berfungsi.
Terbawa dalam lamunan, aku seakan-akan larut dalam memori itu. Memori yang paling membekas.
"Mengapa kau diam? Ada masalah?" ucap pria di depanku tiba-tiba yang menyadarkanku bahwa aku ada di dunia nyata.
Entahlah, tanpa aba-aba air mataku lolos begitu saja saat mengingat memori ini.
"Jika kau tidak mau mengatakannya tidak masalah, aku tidak memaksa."
"Aku akan mengatakannya." ucapku dengan air mata yang terus menetes.
"Aku ... Entah ini gila atau apa tapi, aku ingin menemui mereka."
"Mereka? Siapa yang kau maksud?"
"Waktu itu ... Aku sering mengunjungi sekolah itu. Aku sangat ingin bersekolah di sekolah itu-"
"Oh, jadi kau menangis karena ingin sekolah?"
"Bukan, bukan itu ... Ada 1 momen yang membekas sampai sekarang ... Aku melihat orangtua yang mengantar anaknya ...,"
"Aku melihatnya ... Seharusnya anak itu bersyukur, namun ia malah mengusirnya," nafasku mulai tidak karuan, hidungku berair. Aku yakin wajahku sudah merah daritadi.
"Apa yang anak itu pikirkan? Ia beruntung masih memiliki orangtua. Ia beruntung mendapat kasih sayang dari orangtuanya." air mataku kembali mengumpul di kantung mata dan akhirnya jatuh secara bergantian.
"Sedangkan aku? Aku bahkan tidak tahu siapa yang melahirkanku. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Aku tidak tahu nama atau usia, bahkan aku tidak tahu ia sudah menikah atau belum." ucapku disertai sesegukan sambil sesekali mengelap air mataku.
"Aku tidak pernah mendapat cinta kasih mereka. Aku ingin sekali saja merasakan cinta dari orangtua. Aku ingin tahu bagaimana rasanya ...," ucapku terhenti saat aku kehabisan nafas. Air mataku dengan mudah meluncur. Hidungku juga dengan mudah mengeluarkan cairan bening.
"Aku merasa kesepian selama hidupku. Aku tidak bisa bercerita kepada siapapun. Aku tidak bisa mengeluh ataupun bermanja-manja. Tidak ada yang mencintaiku ...," isakku mulai deras. Sesekali aku menghapus air mata yang terus-menerus mengalir tanpa berhenti.
"Aku dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Aku tidak berguna. Tapi ... Semua berubah saat Tae Hyung datang ke hidupku."
"Ia ... Seakan memberi energi positif. Memberiku semangat dalam menjalani hidup dan di situ aku merasakan cinta."
"Cinta yang indah, cinta yang semakin hari tumbuh semakin besar. Cinta yang membuatku ingin memilikinya." tangisku surut, digantikan oleh senyum yang terpampang di wajahku.
"Aku bahkan mengingat semua hal yang telah kulalui bersamanya...," tiba-tiba di otakku tersetel kejadian itu. Lagi. Oh tidak, jangan menangis lagi!
"Tae Hyung ... Kenapa ia pergi begitu saja ... Kenapa? Kenapa Ia merebut semua dariku?"
"Aku yakin ia masih ada di dunia ini. Aku yakin ia tidak mati, hanya bersembunyi di suatu tempat."
"Kalau begitu carilah dia." ucap orang yang daritadi mengamatiku.
"Aku tidak bisa menemukannya. Park Ji Min. Orang itu ... Aku tidak bisa mengampuninya. Aku bersumpah akan membunuhnya dengan tanganku sendiri." ucapku seraya menggebrak meja.
"Jangan seperti itu, nona!"
"Jika tidak ... Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri ... Terkadang aku bingung, untuk apa aku hidup kalau ujung-ujungnya mati? Mengapa mereka tetap membiarkanku hidup padahal mereka tidak menginginkanku?? Kalau mereka tidak menginginkanku, harusnya mereka sudah membunuhku dari awal. Kenapa mereka tidak melakukannya? Kenapa mereka malah membiarkanku hidup menderita?" nada bicaraku terus meninggi.
"Hidup memang rumit. Sama seperti wanita, tidak tahu apa maunya. Tadi minta ditemani ke kedai kopi, padahal sudah memesan tapi malah pindah ke tempat lain, huft," ucap pria di depanku sambil menyangga kepala dengan tangannya.
Air mataku tidak menetes lagi. Entahlah, mungkin persediaan air mataku sudah habis. Yang ada hanya mata sembab dibarengi dengan hidung merah serta tubuh yang lemas.
Aku mengantuk. Perlahan aku meletakan kepala di atas meja sambil menutup mataku. []

KAMU SEDANG MEMBACA
Gone
Fiksi Penggemar[COMPLETED] "I can't accept the fact that the only one who thinks I'm worth, is gone." Kecelakaan itu membuat Jieun tidak pernah menyangka bahwa orang itu benar-benar pergi dari dunia ini, tetapi di dalam hatinya, ia sangat percaya bahwa orang itu t...