23. Sorry

1K 105 145
                                    

•Hug Me•

With a heart
that’s nothing
but lonely
and anxious.

I’m waiting
for you
like this.

-GONE-

Sekarang kedua orang itu sama-sama lelah. Lelah untuk semuanya. Ingin bertanya, ingin meminta konfirmasi, namun mereka sekarang hanya duduk bersebelahan di pekarangan depan rumah Jimin.

Angin yang berdesau semakin memperkuat keheningan di antara mereka. Sesekali rambut Jieun bergerak ke sana kemari memgikuti arah angin berhembus.

Bukan, bukan ini yang Jieun harapkan.

Tentu ia sangat marah pada semua orang, termasuk dirinya sendiri. Tapi untuk saat ini, ia tidak bisa menyalurkannya. Bahkan untuk meneteskan satu air mata pun sangat susah sekarang ini.

Jika ada jin yang bisa mengabulkan permintaan di sini, ia berharap supaya angin berganti hujan. Alasan konyolnya supaya tetesan hujan dapat menggantikan air mataku.

Tragis.

"Maaf." Suara bariton pria itu memecah keheningan diantara mereka.

Maaf? HAHAHA, MAAF?! Setelah semua yang terjadi dia hanya meminta maaf?

Jieun masih belum mengerti. Bahkan ia mengira bahwa sekarang ini ia tinggal di dunia fantasi, tidak nyata. Mungkin semua ini hanya mimpi, tapi ... Suara itu nampak benar-benar jelas di telinganya.

Harusnya orang itu sudah meninggal, harusnya ini semua tidak terjadi, harusnya ... Ah ini semakin membingungkan.

"Ini semua rencanaku." Taehyung memberanikan diri melirik wanita di sebelahnya.

Jieun masih tidak mau menatap pria itu, ia lebih memilih menatap dahan pohon yang terguncang angin. Menurutnya itu lebih menarik, dibanding menatap bastard-man di sebelahnya.

Tapi, di sisi lain suara itu terasa hidup, suara bariton khasnya menusuk telinga. Bahkan sekarang ia akui bahwa ia sekarang sedang gugup.

Tangannya mengetuk-etuk lantai. Kuku panjangnya bertubrukan dengan keramik yang ia duduki sekarang sehingga menghasilkan suara yang dapat ia dan Taehyung dengar.

"Maaf aku salah. A-aku tidak bisa bersamamu lagi," ucap Taehyung masih sambil menatap Jieun.

Dalam hati, Jieun sudah berteriak. Kalimat itu membuat hati Jieun memanas.

Ia beralih menatap kornea Taehyung--masih berharap menemukan kehangatan di sana, namun Jieun tidak merasakan apa-apa. Ia berbeda.

Mungkin tatapan hangat penuh arti itu bukan lagi ditujukan untuknya.

Mungkin mereka memang tidak ditakdirkan bersama.

Mungkin pertemuan mereka waktu itu adalah sebuah kesalahan.

Sungguh, Jieun masih tidak percaya. Malas untuk mendengar suaranya lagi, namun ia juga penasaran bagaimana itu terjadi.

"Bagaimana kau merencanakannya?" Jieun berucap dengan nada pelan. Padahal dalam hatinya ia sudah memaki-maki, menjerit, menyumpahi pria itu.

"Maaf, aku melukaimu."

"Aku bertanya bagaimana kau merencanakannya?!" nada Jieun semakin meninggi, sehingga menimbulkan kesan kasar.

Taehyung menelan salivanya dan memilih untuk tidak memandang Jieun.

Jieun seram.

"Ini karena semua itu ... "
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang