Dalam pejaman matanya, bayangan putih hitam menghiasi. Suara-suara berbisik. Bunyi asing berdenging. Hangat terasa saat tangan itu menggenggamnya.
Wafer membuka mata sedikit. Ia menggerakkan kepala ke kiri, melihat sosok Bunda tertidur di sisinya. Di belakang Bunda, Adik kecilnya duduk di sofa warna coklat sambil memainkan rubik. Wafer melirik dirinya sendiri, berbagai selang—entah apa—terpasang di tubuhnya. Piyama berwarna grey bersanding dengan kulitnya yang pucat.
Wafer memejamkan mata kembali, mencoba mengingat apa yang terjadi padanya.
Saat itu ulang tahun ketiga Ange—adiknya. Sepulang dari tempat les Wafer mampir ke toko boneka untuk membeli hadiah. Adik mungilnya itu sudah berpesan untuk membelikannya boneka beruang besar.
"Oneka uang becal, A'pel."
"Boneka beruang besar, ya?"
Ange mengangguk antusias.
"Sebecal obil Ayah."
"Emang mobil Ayah sebesar apa?"
"Becal, becal—"
Wafer tertawa. "Iya, iya." Katanya sambil mencium pipi adiknya gemas.
Wafer terus saja tersenyum mengingat betapa lucu adiknya. Sambil menyeberang jalan dipeluknya erat boneka beruang yang telah ia beli.
Saat itulah mobil Orji melaju kencang dan menabraknya. Ah, Orji... Wafer menyesal sudah memunaskan Orji—sahabat sesama hantunya.
Ingatannya meluncur pada kejadian malam itu. Malam dimana ia lepas kendali.
Tanya memeluknya erat. Air mata Tanya membasahi punggungnya yang dingin. Tangan gadis itu gemetar menggenggam tangan Wafer.
Sebelum Orji benar-benar menghilang, Paman Malaikat muncul di antara mereka. Mata gelap Wafer beradu tatap dengan Paman Malaikat.
"Kamu sudah benar. Yang dibutuhkan Orji adalah kejujuran dan mengakui kesalahannya padamu." Kata Paman Malaikat tenang. "Agar dia bisa kembali, dia harus terlepas dari rasa bersalahnya. Apa kamu masih dendam, Wafer?"
Wafer terdiam mendengar pertanyaan Paman Malaikat. Apa ia masih dendam? Apa ia sakit hati? Tidak! Ini semua hanya egonya. Harusnya selama tiga tahun Wafer bersahabat dengan Orji, ia tahu Orji adalah sosok yang baik. Demi Tuhan, itu hanya kecelakaan. Tidak perlu menyalahkan siapa pun. Wafer mendesah. Amarahnya berubah menjadi kesedihan. Ia bahkan menyakiti Tanya, sosok penting di hatinya yang gelap.
"Jika kamu masih menyimpan dendam, maka lampiaskanlah. Orji butuh itu semua. Orji bukan orang baik. Dia juga tidak jahat. Dia hanya tersesat. Jadi, lampiaskanlah seluruh amarahmu agar dia cepat pergi dari dunia kita ini."
Angin bertiup memecah hening. Wafer balas menggenggam tangan gemetar Tanya. Ingin sekali ia memeluk balik gadis itu.
Wafer mengambil napas dalam, lalu berteriak kencang. Melepaskan semua amarahnya yang tersimpan. Orji tersenyum di balik dinding botol, bibirnya bergerak mengucapkan terima kasih. Kemudian menghilang bersama angin.
Sesak menyerang Wafer. Ia menangis tanpa air mata. Kepalanya tertunduk kalah.
Paman Malaikat menghilang, berpindah tempat ke sisi Tanya. Di sentuhnya kening gadis itu dengan jari telunjuk. Tubuh Tanya lunglai jatuh ke tanah, tak sadarkan diri.
Wafer menoleh cepat. Ia menatap Paman Malaikat meminta penjelasan.
"Dia harus menepati janjinya untuk membantumu." Kata Paman Malaikat masih dalam keadaan tenang.
"Maksud paman?" Wafer semakin bingung.
"Ingatannya harus dihilangkan mengganti ingatanmu yang akan kembali."
Wafer terduduk di samping Tanya. Itu berarti Tanya akan melupakannya. Kenapa takdir sejahat ini?
"Aku akan mengantarkan Tanya. Kalian kembalilah." kata Paman Malaikat memandang Wafer dan Xiao bergantian.
"Apa kami bisa?" Wafer seakan mengerti, tapi masih belum mengerti.
"Ini sudah takdir kalian. Kembalilah dan ambil ini untuk pelajaran hidup di masa depan. Dan jangan lupakan aku." Paman Malaikat tertawa hambar.
Wafer berdiri lalu berjalan menuju Xiao yang berdiri kaku. Wafer tidak tahu apa yang ada dipikiran Xiao. Yang jelas pikiran Wafer saat ini kacau. Di sentuhnya bahu Xiao, menutup mata Xiao dan matanya, lalu mereka menghilang.
Paman Malaikat menatap kepergian mereka seperti seorang ayah menatap kepergian anaknya. Ia lalu beralih pada Tanya yang tak sadarkan diri. Ia mendesah panjang.
"Sekarang tugasku bertambah." Katanya merutuk. "Awas saja jika kalian melupakanku. Huhu, sekarang aku seorang diri. Demi surga, kapan kalian mengambilku kembali." Paman Malaikat bersedih diri.
*****
Melihat ada pergerakan dari kakaknya, Ange lekas membangunkan Bunda.
"Bunda, Kakak pulang."
Bunda mengerjap saat melihat anak lelakinya tersenyum padanya. Air mata lolos. Ia tidak ingin menangis tapi ia tak bisa menahannya. Bahagia menyerangnya hebat. Bunda baru tahu jika Wafer dirawat di rumah sakit ini dua bulan lalu. Sebulan setelah gadis— yang mengaku teman Wafer datang ke rumahnya. Kata dokter, anaknya itu sudah dirawat di sini selama tiga tahun. Kecelakaan hebat yang menimpa Wafer membuatnya koma selama itu. Bunda bersyukur anaknya sadar kembali.
"Bunda, Kakak sudah pulang. Bunda jangan nangis." Ange menghapus air mata Bunda dengan tangan mungilnya.
"Iya. Kakak sudah pulang." Sahut Wafer. Ia tertawa kecil. Adiknya itu masih saja memandangnya tajam, sama seperti saat ia pertama kali bertemu dalam wujud hantu. Bagaimana bisa Adik kecilnya tumbuh sebesar ini?
Bunda menciumi pipi Wafer dengan sayang. Air mata Bunda melengket di pipinya. Wafer menatap Bunda sedih.
"Maaf... Maaf Udah buat Bunda khawatir."
Bunda menggeleng. "Yang penting kamu sudah kembali." Bunda memeluk Wafer. Ange juga ikut memeluk Wafer.
"Bunda akan panggil dokter."
Wafer mengangguk mengiyakan.
*****
(Jadi pahamkan? Kalo gak paham, tanya tanya dulu ya. Wkwk, alurnya maju mundur begitu. Kemarin ada yang gak ngerti, semoga cepat loadingnya ya. Salam Wafer untuk Bunda kalian di rumah.. 😘😘)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sweet Ghost
FantasíaNama: Wafer Umur: 18 tahun (jika dilihat dari bentuk wajah) Tinggi: 175cm (itu belum dihitung saat Ia terbang melayang-layang) Ciri khas: tentu saja tampan (anggap saja enak buat dipandang. Tidak jelek-jelek amat) Status: Hantu (arwah gentayangan) T...