#24 Sebatas Sahabat

299 86 26
                                    

Dasom memasang senyum termanisnya saat Seungho bertanya makanan apa yang ingin ia pesan.

Gadis itu sengaja menyebutkan makanan favorit Seungho yang ia ketahui dari Jiyeon dulu.

Sementara Seungho hanya menanggapinya dengan datar.

"Sori ya gue ngerepotin, udah nebeng terus minta ditemenin makan pula." Dasom memasang wajah pura-pura menyesal.

"Gak masalah," ujar Seungho. Tak lama kemudian pesanan mereka datang.

Dasom sedikit terkejut saat melihat makanan yang dipesan Seungho. Ia pikir Seungho memesan makanan yang sama dengannya. Nyatanya tidak.

Setelah si pelayan angkat kaki dari hadapan mereka. Dasom bertanya basa-basi. "Gimana kerjaan lo? Pasti enak ya jadi dosen?"

"Biasa aja. Lagian gue belum jadi dosen tetap," jawab Seungho jujur. Ia memang ditawari jadi dosen disalah satu universitas swasta di Jakarta begitu ia menyelesaikan S1nya kemarin, namun bukan berarti ia langsung diangkat menjadi dosen tetap. Seungho masih harus menyelesaikan S2nya terlebih dulu. Seungho menerima tawaran itu karena wali dosennya langsung yang merekomendasikannya. Beliau bilang itung-itung buat cari pengalaman dan sebagai batu loncatan.

Kebetulan rektorat kampus tersebut adalah kakak ipar dosen walinya.

"Tapi lo keren baru lulus langsung ditawarin kerjaan. Jadi dosen pula. Jarang-jarang loh ada yang kaya lo." Seungho hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh.

"Gue cuma beruntung."

Dasom terdiam saat menyadari kalau Seungho tampak tak tertarik mengobrol dengannya.

Menit-menit berikutnya mereka hanya menyantap makanannya dalam diam hingga dering ponsel Seungho memecah keheningan.

Nama Jiyeon terpampang di layar ponselnya. Seungho segera mengangkatnya dengan tenang.

Saat mendengar nama Jiyeon disebut Dasom seketika berdecak pelan. Ia tidak suka karena Jiyeon selalu mengganggu waktunya dengan Seungho. Dari dulu selalu begitu.

Namun gadis itu tak urung memasang telinga baik-baik guna menguping pembicaraan mereka.

"Jangan mikir yang aneh-aneh. Ini cuma kebetulan!" Suara berat Seungho mengakhiri percakapannya di telepon.

Lelaki itu kembali meletakan ponselnya di atas meja lalu melanjutkan aktifitas memakannya yang sempat tertunda.

"Dari Jiyeon ya?" tanya Dasom ragu-ragu. Seungho hanya berdehem mengiyakan.

"Lo sama Jiyeon dari dulu sampe sekarang masih lengket aja," katanya kemudian. "Gue iri sama persahabatan kalian."

Untuk seperkian detik jantung Seungho mendadak berhenti berdetak kala ia mendengar kata sahabat yang diucapkan Dasom.

Ya itu memang benar. Ia dan Jiyeon hanya sebatas sahabat.

Tidak bisa lebih meski Seungho sangat menginginkannya.

"Apa yang mesti diiriin?" Seungho balik bertanya setelah berhasil menenangkan hatinya yang mendadak kesal.

Jika harus memilih kata yang paling dibenci, maka Seungho tak ragu akan memilih kata sahabat.

Ia benci kenapa kata itu yang menjadi tali penghubung antara dirinya dan Jiyeon.

Ia benci kenapa kata itu tidak mau berganti dengan kata lain. Kenapa hidupnya tidak seperti novel-novel remaja dimana kata sahabat bisa berubah menjadi cinta.

Intinya Seungho benci dengan kenyataan.

"Emang siapa sih yang nggak bakal iri ngeliat kalian berdua? Udah temenan dari kecil terus sampe sekarang masih deket, masih care satu sama lain. Kan jarang-jarang bisa temenan sampe bertaun-taun kaya gitu. Kalian itu seolah ngebuktiin kalau sahabat sejati itu emang ada. Lo sahabat sejatinya Jiyeon dan Jiyeon sahabat sejatinya lo," jelas Dasom panjang lebar.

Ia tahu kelemahan Seungho adalah Jiyeon dan ia tahu kalau Seungho menyimpan rasa untuk gadis itu. Karena itulah ia ingin selalu mengingatkan Seungho kalau dirinya dan Jiyeon hanya sebatas sahabat.

Dasom tidak akan membiarkan lebih dari itu.

Ia ingin hanya dirinyalah yang dilihat Seungho sebagai wanita yang pantas bersanding dengannya.

Bersanding sebagai pasangan hidup. Bukan teman.

"Gak usah lo ingetin juga gue tahu kalau gue sama Jiyeon cuma sahabatan," ujar Seungho berhasil membaca pesan tersirat dari penjelasan Dasom tadi. Dan hal itu sukses membuat Dasom terkejut.

"Hah?" Dasom memasang wajah pura-pura tak mengerti.

"Cepet habisin makanannya!" Seungho memilih untuk tidak melanjutkan percakapan mereka.

Dengan perasaan tak karuan Dasom segera menuruti ucapan Seungho. Ia tidak menyangka Seungho bisa tahu apa maksud dari perkataannya tadi.

Dan perasaan Dasom mendadak tidak enak. Feelingnya mengatakan akan ada hal buruk yang akan terjadi.

"Yuk cabut!" Begitu melihat Dasom telah menghabiskan makanannya Seungho segera beranjak dan menyuruh gadis itu untuk mengikutinya.

Selama perjalanan menuju rumah Dasom baik Dasom sendiri maupun Seungho memilih untuk bungkam. Dasom tidak berani mengucap sepatah katapun. Ia masih terlalu terkejut.

Hingga mobil Seungho menepi di depan pagar besi rumah Dasom akhirnya gadis itu berhasil membuka kembali mulutnya untuk sekadar mengucapkan terima kasih.

Seungho tak menanggapinya. Ia hanya menatap lurus ke depan sementara Dasom membuka seat belt mobil.

"Hati-hati di jalan," ujar Dasom sebelum menutup pintu mobil Seungho.

Namun gerakannya terhenti saat Seungho tiba-tiba berujar yang langsung membuat sekujur tubuhnya tiba-tiba menegang.

"Gue gak tau apa rencana lo sama Hwayoung, tapi kalau sekali lagi gue liat lo berani cari gara-gara sama Jiyeon, gue nggak akan tinggal diam. Seperti yang lo bilang tadi, gue itu sahabat sejatinya Jiyeon dan udah jadi tugas gue buat ngelindungin dia. Terutama dari orang-orang licik dan munafik kaya lo!"

Dasom membeku di tempatnya. Perkataan Seungho sangat menohok. Ia seolah sudah kalah bahkan disaat ia belum memulai permainannya.

Begitu pintu mobil tertutup Seungho langsung melajukan mobilnya. Tak mempedulikan Dasom yang terlihat seperti kehilangan setengah kesadarannya.

Tak peduli apa yang akan dikatakan orang lain tentang dirinya, selama Jiyeon baik-baik saja itu sudah lebih dari cukup bagi Seungho.



-Ooo-

Tugas kuliah udah mulai numpuk jadi susah mau update tiap hari kaya dulu -,-

Suitcase [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang