Prolog

343 39 1
                                    

Pada bait Asa yang tertulis dengan begitu teliti hingga terasa menyayat hati di hati
Karna setiap kosa kata yang ditulis adalah bait bait kehidupan yang tercipta penuh arti.
Bukan perihal kehidupan percintaan yang putus nyambung.
Drama Pengantin baru yang masih terlalu malu malu dalam satu atap.
Bukan juga perihal tentang kehidupan si miskin dan si kaya.
Tapi bait sederhana yang tertulis secara nyata karena Peran Semesta, Jingga, serta Gandy, Yang menyempurnakan Barra pada sosok sosok yang menimbun Lara.

Pancaran cahaya Jingga menemani langkah langkah cepat yang terus mengayun dari satu gedung megah. Di depan sana sudah menunggu sebuah kuda besi dengan type maybach haute voiture. Semilir angin yang terasa sedikit lebih dingin dari biasanya yang ia bebaskan saat menyapa dirinya.

Kembali gelenyar yang memang sudah tak asing itu lagi dan lagi timbul bercongkol keras menyesakkan namun langkah nya tak terasa meragu untuk cepat sampai pada sedan mewah di depan sana.

Kembali ia akan menghadapi sosok pemilik gelenyar yang tak pernah ia berniat untuk membuang nya atau bahkan menghapusnya. Tidak.

Kacamata hitam yang melindungi sepasang netra indah namun menyimpan jutaan rasa dan lara di dalamnya itu ia sedikit rapatkan ke hidung nya yang mungil namun runcing.

Tangan kirinya mengepal erat sementara tangan kanannya menjinjing tas dan keycard mobil sedannya.

Rahangnya mengerat.

Sumpah demi Tuhan ia ingin cepat sampai di tujuan.

Bukan untuk mendatangi kebahagiannya di sana.

Tidak.

Berhenti sejenak saat tangannya sudah menjangkau pintu mobil di sisi setir. Mencoba merasakan tumbukan-tumbukan yang tercipta nyata dari gemuruh di dadanya.

"Hati-hati Bu Narsa, selamat sore,"

Pendar cakrawala itu terbuka dan perlahan terarah pada salah satu pihak keamanan untuk gedung kantornya ini. Melengkungkan senyum sumir namun masih dapat terlihat begitu menawan ia mengangguk pelan.

"Terimakasih Sandi saya duluan."

Tapi suara derung mobil yang tak ia kenal nampak membuat keributan di salah pos keamanan kantor. Dan terlihat para keamanan-keamanan kantornya sudah sigap menghalangi tamu yang tidak memiliki akses untuk masuk itu tengah mengamuk serampangan di ujung sana.

"Bu itu--" Sandi tidak melanjutkan kalimatnya saat ia mendapati boss nya itu tersenyum kecil seraya mengangguk mengerti. "Saya yang akan ke sana."

"Tapi Bu--"

"No Probss," ia tahu ada gurat ke khawatiran dan tidak setuju dari salah satu kepala keamanannya di kantor ini. Maka dari itu untuk lebih meyakinkan ia ukir senyum terbaiknya lalu menepuk pelan bahu kanan sandi.

Membuat laki laki tegap itu terrhenyak untuk beberapa detik sebelum akhirnya menundukkan kepalanya sopan. Mau bagaimana lagi jika boss nya sudah mengatakan seperti ini. Tapi tenang ia tak akan melepaskan boss nya begitu saja tak akan ia biarkan orang di ujung sana itu menyentuh kulit oh tidak jangankan kulit bahkan setitik dari pakaian boss nya pun Sandi tidak akan biarkan.

"Maaf izin Bu, kali ini juga saya ingin keras kepala kembali untuk di belakang Ibu, Maaf Bu-" tetap ia sematkan sikap santun dan sopannya kepada boss nya ini.

Hingga reaksi yang diberika Narsa adalah kekehan kecil namun sedetik kemudian ia mengangguk setuju.

Sama dengan Narsa, Sandi juga sudah sangat hapal siapa tamu sangat tidak penting yang masih tertahan di ujung sana meski beberapa kali ia datang dengan mobil berbeda atau sesekali motor rx king yang sangat mengganggu kenyamanan kantor dengan suara atau dengan asapnya.

Nawasena Hasya NarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang