Tidak Akan Menjadi Indah yang hanya ingin terlihat elok dimata semesta
Tidak akan menjadi wangi kepada yang hanya ingin tercium harum pada Bumi.
Bangkai yang terpendam tidak akan menjadi abadi dalam balutan pahatan paras paras sempurna yang terus memancarkan senyum pada semesta.
Barangkali Tuhan sedang mengelola waktu yang tepat untuk membuat penghakiman pada wujud wujud keangkuhan di Bumi yang masih menapak pada tanah."Pap..papa ...," dengan getar bibir yang luar biasa anak itu terbata merapalkan panggilan yang tersemat pada pria dewasa saat telah memiliki anak.
Dan tentu saja panggilan itu akan membuat bangga dan bahagia yang gegap gempita saat sang anak memanggilnya.
Tetapi Arga Adi Cakrabuana. Rupanya tidak begitu.
"DIAAMM," bentaknya berang matanya kian melotot kepada bocah perempuan berusia 10 tahun yang kini sudah terkapar di lantai.
Ia tengah mengibah.
Di tengah perihnya luka yang ia dapatkan hari ini.
Di tengah darah yang terus mengalir mengotori lantai rumah mewah itu.
Namun tidak ada yang dapat menolongnya satu orang pun.
"Tidak ada yang sudi mengakui kau sebagai anak, Bahkan binatang sekalipun!" Lagi Arga menjerit bak orang kesetanan.
Sedikitpun ia tidak memiliki rasa belas kasih kepada anak yang ada di hadapannya. Meski keadaanya saat ini terlihat sangat mengkhawatirkan.
Begitu juga sosok wanita berusia 35 tahun yang berdiri tak jauh dari sana.
Ikut menyaksikan.
Dan Juga ikut andil dalam menyiksa ... sang Putri kecil.
Tetapi kedua orang tua itu tidak memiliki iba sedikitpun.
Tidak menunjukan rasa khawatir sedikitpun.
Ia masih diam menyorot.
Saat satu pukulan buku tebal kembali mendarat di wajah sang anak yang sudah bersimpah darah.
Dan Pelakunya adalah ayah kandungnya sendiri.
"Jangan memanggil ku dengan sebutan itu, sialan!"
Bocah perempuan itu kembali terjatuh di lantai rumah mewah ini dengan kesadaran yang sudah tidak sempurna.
Ia ingin tidur.
Agar semua yang ia rasakan ini tidak lagi terasa semakin sakit sekali
Terlebih di dalam jiwanya
Tapi kali ini ia juga mencoba ingin lebih sedikit lama menahannya.
Dengan napas yang sudah satu-satu terembus. Tenaga yang sudah menghilang sepenuhnya. Mata itu sangat sayu menyorot bergantian sepasang suami istri itu, airmatanya semakin merebak dan kembali menyatu dengan darah dari pelipis, bibir dan hidung yang sudah banjir dengan darah.
Kedua matanya bengkak membiru karena pukulan demi pukulan. Tamparan demi tamparan.
Harsya Litani, perlahan mengumpulkan sisa tenaganya demi bisa mengangkat tangan kanannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Nawasena Hasya Narsa
Chick-LitNote: Yang Baik diambil yang kurang baik dijadikan pelajaran (Mengandung Adegan Kekerasan) Hasya Narsa adalah dua Jiwa yang berbeda Dua ukiran wajah yang tak sama namun mereka sama Terpahat dalam kehalusan dan tersuguhkan dalam kelembutan Akan tet...