Jangan lupa votenya dulu
Lalu kasih komentar juga.
Selamat membaca!
➰➰➰
"Kak! Ayo!"
Dengan semangat cerah Navisha beranjak turun ke lantai satu. Walau dirinya belum istirahat setelah penerbangannya tapi bayangan pantai yang dimaksud Zen terus terngiang-ngiang di kepalanya.
"Iya, tunggu!" seru Zen baru keluar dari kamar mereka.
Kaos putih dipadukan jaket jeans hitam juga celana jeansnya sukses menyempurnakan penampilan Zen. Ah, dan jangan lupa sepatu kets hitam dengan corak putih serta jam tangan rolex miliknya.
Navisha sendiri memakai gamis berwarna putih ditambah jilbab abu-abu. Slimbag hitam dengan kaos kaki cream dibalut sepatu putihnya. Kedua pasangan baru itu terlihat sangat serasi dan cocok.
"Kalian mau pergi jalan-jalan? Padahal sudah pukul lima sore," ujar tante Maya saat melihat Navisha dan Zen berjalan ke sofa ruang keluarga yang kini didudukinya bersama Mutiah. Anak perempuan duduk di sebelah ibunya itu sangat hanyut dalam tontonan film kartun kesukaannya. Film kucing berwarna biru yang memiliki pintu ke mana saja.
"Kami berencana pergi ke pantai losari, tante. Zaara katanya mau melihat sunset." Tante Maya mengangguk mendengar jawaban dari Zen.
"Baiklah, kalian hati-hati di jalan. Tenang aja Nav, Ahmad udah paham jalanan di Makassar. Walau sebenarnya pernah kesasar sampai ke jalanan tol." Kekeh tante Maya mengingat kejadian masa lalu. Dia ingat betul saat itu Zen sangat keukeh pergi jalan sendiri dan pada akhirnya dia kesasar hingga tiga jam lamanya. Dan saat dia pergi dia melupakan ponselnya di atas ranjangnya.
"Betulan? Kakak pernah kesasar?" tanya Navisha percaya tidak percaya akan hal itu. Karena seingatnya Zen adalah tipikal pria yang teliti. Dia menatap terkejut meminta jawaban pada Zen.
Rasanya Zen ingin menyumpalkan sesuatu pada mulut tantenya itu. Seandainya ia tidak ingat sopan santun. Dan kini, Zen merasa malu.
"Iya, tante nggak bohong. Haha, itu lucu sekali," ucap tante Maya masih dengan tertawa geli.
"Gimana ceritanya?" Navisha menjadi tertarik akan hal itu.
"Itu ketika—"
"Tante! C'mon!"
Tante Maya makin tertawa melihat raut keponakannya. Navisha diam-diam menyembunyikan tawanya. Sungguh jika membayangkan wajah Zen saat itu pasti sangat lucu.
"Kami berangkat! Kami juga akan makan malam di luar," pamit Zen berniat mengalihkan perbincangan mengenai dirinya.
"Oke, bersenang-senanglah!" ucap tante Maya menyudahi acara menggoda keponakannya.
"Assalamu'alaikum," salam Zen juga Navisha.
"Wa'alaikumsalam."
Zen membukakan pintu penumpang mobil SUV putih yang akan dikemudikannya. Lalu setelah Navisha masuk, dia memutari kap depan mobil untuk masuk ke pintu kemudi. Melihat sabuk pengaman sudah terpasang di tubuh istrinya, barulah dirinya menancap gas setelah memasangkan sabuk pengamannya juga.
Perjalanan dilalui keheningan hanya suara murottal terlantun indah di radio. Hingga perjalanan yang hanya menempuh waktu setengah jam pun akhirnya tiba. Suasana sekitar pantai sangat ramai dipadati pengunjung baik wisatawan lokal maupun luar negeri.
"Ramai sekali, kak!" ujar Navisha tak yakin dengan apa yang dilihatnya melalui kaca mobil.
"Tenang saja! Ada aku. Kita turun?" Navisha menganggukkan setuju.
Zen kembali membukakan pintu buat sang istri. Ia dengan mantap menggenggam tangan Navisha erat. Navisha awalnya terkejut, namun sekali lagi ia tidak ingin menjadi istri durhaka hanya karena menolak digandeng suami sendiri.
"Kita mau ke mana dulu?" tanya Zen menatap Navisha.
"Kak, kak! Zaara ingin itu tuh." Navisha menunjuk penjual pisang epe berada tak jauh dari posisinya.
"Oke, sesuai permintaan!" Zen menarik pelan tangan Navisha menuju penjual yang dimaksudkan.
"Mau rasa apa?"
"Keju!"
Jawaban cepat Navisha membuat Zen terkekeh melihat begitu antusiasnya sang istri. Dengan penuh kasih dia mengusap pelan kepala Navisha yang tertutup jilbab itu.
"Tunggu yah!"
Beberapa saat kemudian pesanan mereka datang. Navisha menyantap makanannya dengan lahap. Makanan tradisional Makassar yang satu ini membuat Navisha ketagihan.
"Makannya pelan-pelan sayang."
Blush...
Pipi Navisha seketika merona mendengar panggilan Zen. Tangannya tadinya sibuk pada makanan kini spontan berhenti. Dia malu mendengar panggilan Zen padanya.
"Cie, ada yang merah merona nih." Zen dengan idenya menggoda Navisha. Terbukti karena rona pipi Navisha semakin bertambah.
"Kakak!" Navisha memicingkan matanya lurus ke arah Zen. Sekuat tenaga ia berusaha agar tidak mengulas senyum.
"Hahaha!" tawa Zen sedikit meraup perhatian di sekitarnya tapi hal itu tak dipedulikan olehnya.
"Kakak nyebelin! Diam nggak!" ancam Navisha dengan bibir mengerucut kesal.
Zen menutup mulutnya lalu mengangguk setuju. Melihat wajah istrinya sudah cemberut sungguh membuatnya sangat gemas. Sebenarnya makanan Zen sudah ludes duluan. Jadi dia sekarang hanya menopang dagu menatap setiap lekuk wajah Navisha. Toh, sudah halal.
Setelah acara makan-makan selesai, Zen mengajak Navisha menaiki perahu yang disewakan di sana. Awalnya Navisha menolak karena takut tapi karena seribu bujukan Zen akhirnya dia setuju.
"Kak!"
"Ya?"
"Ini... indah."
Zen tersenyum lega. Diraihnya tubuh Navisha lalu didekap dari belakang. Posisi mereka sekarang adalah Zen duduk di belakang Navisha lalu di belakang sekali ada orang yang menjalankan mesin perahu.
Detak jantung Navisha seolah berhenti sesaat. Merasakan pelukan hangat Zen di belakangnya sungguh membuat dirinya... nyaman?
Lamunan Navisha buyar saat suara instruksi dari Zen terdengar ke gendang telinganya.
"Lihatlah itu!"
Navisha mengikuti arah yang ditunjuk Zen. Seketika mata Navisha berbinar indah, takjub dengan apa yang dilihatnya.
"Subhanallah! Alhamdulillah!" ucap syukur Navisha.
"Kak, aku tak menyangka. Allah masih berbaik hati memberiku kesempatan menikmati keagungan-Nya. Sungguh besar ciptaan-Nya," tutur Navisha tanpa sadar meneteskan air mata terharu. Zen makin mempererat pelukannya dan menumpukan dagunya di atas bahu Navisha. Dirinya ikut hanyut menikmati besarnya ciptaan Allah alla wa jaala.
Warna jingga mentari menghiasi langit. Mentari telah menjalankan tugasnya. Kini mentari kembali ke peristirahatannya untuk esok hari lagi.
Warna mentari seolah berpadu dengan warna laut menciptakan pemandangan yang sangat menakjubkan. Hembusan angin juga kesunyian menyatu mengalun indah.
Allah SWT berfirman:
فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
"Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?"
(QS. Ar-Rahman)"Kak!"
"Hm!"
"Syukron atas segalanya. Zaara sangat menikmatinya!"
Zen tidak membalas ucapan Navisha melalui kata-kata. Karena dia membalasnya dengan sebuah kecupan dalam di ubun-ubun sang istri.
'Ya Rabb, panjangkan umur istriku. Selimuti dirinya dengan kebahagiaan.'
➰➰➰
TBC
10/03/18
#Aletha_Cal
KAMU SEDANG MEMBACA
Untukmu, Zawjati ✔️
SpiritualIni adalah sebuah kisah menyentuh hati. Bukan hanya dari keromantisan kedua insan, namun juga dari cara mereka mengartikan sebuah kata yang semua orang tahu akan kata ini. CINTA Bagaimana mereka mengekspresikan rasa itu? Cara mereka melindungi apa...