UZ 17

12K 668 6
                                    

Jangan lupa votenya dulu

Lalu kasih komentar juga.

Selamat membaca!

➰➰➰

Hangatnya mentari menembus cela-cela gorden. Navisha kini sudah bergelut dengan panci dan wajan di dapur. Menyiapkan sarapan untuk suami tercintanya.

Tak lama kemudian Zen berjalan menuruni tangga. Zen tersenyum jahil, dia tau istrinya tidak menyadari kedatangannya saking asiknya urusan memasaknya. Zen berjalan mengendap-endap dan merengkuh tubuh Navisha dari belakang.

Cup

"Morning kiss, humairahku." Zen menyengir lebar ke arah Navisha yang menatapnya garang. Pasalnya ia mencuri ciuman di pipi kanan sang istri.

"Kakak ngagetin Zaara," protes Navisha.
"Maaf yah, sayang." Navisha mengulas senyum membalas permintaan maaf Zen.

Rutinitas pagi itu berjalan seperti biasanya. Navisha senantiasa melayani suaminya hingga berangkat ke kantor. Lalu Navisha melanjutkan pekerjaan rumahnya.

"Aakh," rintih Navisha memegang kepalanya.

Beberapa hari ini memang terkadang Navisha merasakan sakit di kepalanya. Bahkan terkadang dia sampai sesak nafas. Namun Navisha menganggapnya hanya karena faktor kelelahan sehingga tidak memberitahukan pada Zen.

Dilepaskannya piring sedang dicucinya kemudian mematikan keran air. Setelah mengeringkan tangannya, dia berjalan ke ruang tengah. Duduk untuk meredakan sakit kepalanya. Kemarin-kemarin juga seperti itu tapi Navisha merasa ini berbeda. Sakit kepalanya ini lebih sakit dari kemarin.

"Aakh," rintihnya sekali lagi.

Tiba-tiba dadanya terasa terhimpit. Seakan-akan ada dinding yang menghimpit jantungnya. Sesak nafas itu kembali lagi bertepatan dengan sakit di kepalanya.

"Aakh, tolong! Ya Allah!" sahutan lirih Navisha terdengar. Namun sialnya tidak ada pembantu di rumahnya dan satpam juga tentunya tidak mendengar suaranya.

Sekuat tenaga Navisha berdiri meraih gagang telepon rumahnya berada tak jauh dari sofa. Setelah dengan bersusah payah menggapainya, akhirnya Navisha bisa mendapatkannya.

Telepon itu tersambung...

"Assalamu'alaikum, sayang."

"Kak!" panggil Navisha hampir tercekat.

"Zaara, kamu kenapa sayang? Kamu baik-baik saja? Zaara! Zaara!" panggilan dari Zen tak bisa didengarnya lagi.

Kegelapan itu terus menarik Navisha. Hingga dia jatuh tak sadarkan diri. Panggilan itu masih tersambung serta sahutan kecemasan Zen masih terdengar sampai benar-benar lanyap.

•••

"Humaira, bangunlah. Aku di sini, aku bersamamu. Bangunlah. Jangan seperti ini, kamu sama saja ingin menikamku perlahan. Sayang, wake up. Aku merindukanmu," lirih Zen menggenggam tangan pucat Navisha.

Navisha terbaring lemah di atas brankar rumah sakit. Beberapa waktu lalu saat Zen mendapatkan telepon dari istrinya dia amat sangat cemas dan khawatir. Zen lari tergesa-gesa keluar dari kantornya menuju mobilnya. Di jalan dia terus berdoa agar istrinya baik-baik saja. Dan kepanikannya berkali lipat ketika tiba di rumah mendapati istrinya pingsan. Segera saja dia membawa Navisha ke rumah sakit dengan kecepatan tinggi.

Setelah mengadakan pemeriksaan secara menyeluruh, Navisha masih belum sadarkan diri. Hasil pemeriksaan belum keluar. Beberapa dokter masih menangani hasilnya dengan baik. Zen memang menyewa tiga dokter sekaligus untuk menangani istrinya. Memang terlihat berlebihan tapi itu demi belahan jiwa Zen sendiri.

Untukmu, Zawjati ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang