UZ 21

11.1K 599 4
                                    

Jangan lupa votenya dulu

Lalu kasih komentar juga.

Selamat membaca!

➰➰➰

Los Angeles, Amerika Serikat

"Xevor, kau sudah mendapatkannya?" tanya Mr. Gama sambil memegang ponsel miliknya.

"Yes, Mr. Tapi sepertinya saya merasa ada keganjilan terjadi," jelas Xevor merupakan tangan kanan Mr. Gama.

"Katakan!" perintah Mr. Gama dengan suara baritonnya.

"Sebelumnya pihak intern salah satu rumah sakit terbesar di Berlin mengatakan ada seorang pendonor bersedia mendonorkan jantungnya. Namun saat kami ingin menyelidiki latar belakang sang pendonor, pihak rumah sakit melarang keras kami. Bahkan kami tidak diberitahukan nama pendonornya, Mr. Mereka bahkan memblokade segala jaringan tersambung untuk kami mengetahui pendonor ini, Mr. Saya rasa ada seseorang yang juga punya kuasa besar berada di belakangnya," jelas Xevor datar.

"Apa yang diinginkan olehnya?" tanya Mr. Gama to the point.

"Mereka ingin berbicara langsung dengan Mr."

"Baiklah, saya akan ke sana."

Mr. Gama lalu memutuskan telepon sepihak. Tatapannya lurus keluar kaca besar yang menampilkan hutan belantara. Pikirannya tertuju pada penjelasan Xevor tadi. Jika spekulasi memang benar maka ini akan menjadi sulit untuk cucunya. Dia harus berhati-hati dalam mengambil tindakan karena jika salah maka akan berakibat fatal.

Mr. Gama menelpon asistennya untuk menyiapkan segalanya. Malam nanti dia akan kembali melakukan flight menuju Berlin, Jerman.

"Tenang saja, grandson. Grandpa selalu ada di belakangmu," gumam Mr. Gama tersenyum licik.

•••

Berlin, Jerman

Setelan jas armani hitam ditambah kacamata hitam lantas membuat penampilan Mr. Gama semakin misterius. Langkah kakinya yang mengintimidasi ditambah aura tajam dan dingin.

Baru beberapa menit jet pribadi Mr. Gama sampai di Berlin. Mr. Gama melanjutkan perjalanannya ke salah satu rumahnya berada di Berlin. Jerman merupakan salah satu negara yang masuk dalam area kekuasaannya.

Dari jauh Xavor dan puluhan pengawal lainnya menyambutnya. Mereka memberi salam sambutan buat pimpinan besarnya. Kemudian Xavor membukakan pintu yang akan ditumpangi Mr. Gama. Xavor sendiri duduk di samping Mr. Gama atas perintahnya. Mobil mereka mulai melaju menuju rumah besar berada di ujung perkotaan Berlin.

"Serahkan berkasnya, Xavor!" Dengan sigap Xavor memberikan berkas-berkas yang diminta bosnya.

Mr. Gama membaca dengan teliti setiap kata tertera pada lembar kertas itu. Kertas-kertas itu adalah laporan atas latar belakang sang pendonor. Bagaimana Xavor bisa mendapatkannya, lagi-lagi karena kekuasaan seorang Mr. Gama.

"Kapan saya menemuinya?" tanya Mr. Gama tanpa memandang Xavor duduk sampingnya.

"Besok, pukul 12 siang di rumah sakit tersebut Mr," jawab Xavor lugas.

"Baik. Siapkan pertemuannya," titah Mr. Gama sebelum menutup berkas laporan itu dan menyerahkan pada Xavor.

"Baik, Mr."

Keesokan harinya, Mr. Gama didampingi Xavor sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit. Sesampainya mereka di sana telah ada seorang dokter menjemput keduanya dan mengarahkan naik ke lantai khusus rumah sakit. Lantai 07 adalah lantai dimana hanya ada satu kamar, lantai yang diperuntukkan untuk ruang pasien VVIP teratas. Lantai itu hanya bisa diakses oleh direktur dan pemilik rumah sakit.

"Silahkan masuk, sir."

Mr. Gama dengan langkah elegannya melangkah memasuki sebuah ruangan. Ruangan itu sekilas tidak terlihat seperti ruang inap pasien. Bisa dikatakan ruangan itu seperti sebuah apartemen mewah. Dalam ruangan itu sudah duduk dua orang pria dan satu wanita cantik berpakaian pasien.

'Jadi ini wanita yang tergila-gila pada cucuku?' tanya Mr. Gama memperhatikan wanita itu dengan tatapan melecehkan.

"Hello Mr. Gama," sapa salah satu pria dengan senyumannya.

"Yes, Mr. Mateo," balas Mr. Gama dengan senyum miringnya.

"Silahkan duduk," persilahkan Mr. Mateo dengan sedikit nada arogan. Itu semua tak luput dari perhatian Mr. Gama.

'Nyatanya kau ingin bermain denganku. Tak akan kubiarkan kau menghancurkan cucuku,' ucap Mr. Gama geram dalam hati.

"Kenalkan dia adalah anakku, puteri kedua dari keluarga Mateo," ujar Mr. Mateo memperkenalkan wanita cantik berada di sampingnya.

"Saya sudah mengenalnya," ucap Mr. Gama dingin.

"Wow, mungkin saya tidak perlu terkejut atas kerja keras orang-orangmu yang mampu menembus pertahananku. Sesuai reputasi yang kau miliki," tutur Mr. Mateo terkekeh pelan sembari menyesap anggurnya.

"Tentu," respon Mr. Gama singkat dan datar.

"Well. Vebra, berikan surat itu pada Mr. Garendra Mackson," suruh Mr. Mateo pada pria sampingnya merupakan asisten pribadinya.

"Silahkan dibaca, sir." Vebra memberikan sebuah map pada Mr. Gama.

Tak butuh waktu, Mr. Gama membaca isi surat itu. Sampai selesai membacanya, Mr. Gama tiba-tiba tertawa sembari menghunuskan tatapan tajam pada Mr. Mateo.

"Sudah kuduga. Tidak ada yang gratis di dunia ini, bukan?"

"Tentu, sir."

•••

Jakarta, Indonesia

Navisha ditemani ibu Sella duduk menikmati pemandangan langit di malam hari. Ibu dan anak itu menikmati terpaan angin pada sekujur tubuhnya. Sangat menyenangkan.

"Bu, apakah Navisha bisa sembuh?" tanya Navisha lirih seraya bersandar di pundak ibunya.

"Hust, jangan pesimis gitu. Berdoalah pada Sang Maha Kuasa, Dialah memberikan penyakit dan atas kehendak-Nya juga kesembuhan itu diberikan. Berserah dirilah pada-Nya, tidak ada tempat terbaik mengadu selain saat kau bersujud mengadu pada-Nya. Yakinlah, nak." Dengan lembut ibu Sella membelai lengan anaknya.

Setetes air mata jatuh dari pelupuk Navisha. Segera dia menyekanya sebelum ibunya menyadari hal itu. Dia tidak ingin mengecewakan kedua orangtuanya dan juga... suami tercinta. Dia akan berjuang melawan penyakitnya. Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa Navisha sendiri sudah mengetahui penyakit dideritanya. Kemarin saat tanpa sengaja dia mendengar percakapan ayahnya dengan dokter Adi mengenai penyakitnya. Hatinya terpukul mendengar hal itu. Malamnya dia mendirikan sholat tahajud dan mengadukan segalanya pada Allah. Menangis dalam sujudnya membuatnya lega akan takdirnya.

Navisha juga yakin bahwa suaminya itu pergi bukan untuk urusan bisnis tapi untuk mencari donor jantung. Dia sedih bukan karena Zen membohonginya dan tidak memberitahukan kebenaran penyakitnya tapi dia sedih karena dia takut menjadi beban bagi orang-orang di sekitarnya. Setiap Zen menelpon, rasanya Navisha ingin mencurahkan tangisnya pada suaminya. Akan tetapi, Navisha tidak ingin Zen terbebani dengan mengkhawatirkan dirinya. Cukup Zen berkorban jauh demi kesembuhan dirinya.

Keputusannya adalah dia akan berpura-pura tidak tahu mengenai penyakit dideritanya sendiri. Biarkan orang-orang sekelilingnya berlaku seperti biasanya. Ada waktu saat dimana dia akan mengatakannya. Dia akan selalu menghargai kerja keras suaminya dan orang-orang terdekatnya demi kesembuhannya.

'Maafkan aku telah merepotkan kalian semua.'

➰➰➰

TBC

Double update nih 😁 maaf kalo banyak typo.

01/07/18
#Aletha_Cal

Untukmu, Zawjati ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang