Jangan lupa votenya dulu
Lalu kasih komentar juga.
Selamat membaca!
➰➰➰
Flashback on
5 tahun lalu
Semilir angin menerpa tubuh seorang gadis yang duduk di taman berada di samping fakultasnya. Hanya dirinya yang duduk di bangku itu. Suara bising dari mahasiswa lainnya yang juga sedang menghabiskan waktunya di taman itu seakan tidak dihiraukan oleh sang gadis.
Pandangannya lurus jauh ke depan, dia hanya ditemani sebuah headset terpasang di kedua telinganya. Mendengarkan murottal dari qori' favoritnya. Lantunan ayat-ayat suci mengalun sangat indah dan membuatnya tenang.
"Khem... khem..."
Deham seorang pemuda berdiri di samping sang gadis. Namun gadis itu tidak menghiraukannya. Bukannya sengaja tapi dia belum menyadari keberadaan sang pemuda.
"Assalamu'alaikum Zaara!" ujar salam pemuda sambil berdiri menghalangi pandangan gadis dipanggil ' Zaara'.
Yup, gadis itu adalah Navisha Zaara Xylia Ardiningrum. Sedangkan pemuda berdiri depan Navisha dengan bersedekap dada adalah Ahmad Zen Abrisam sembari menampilkan deretan gigi putihnya.
Keduanya memang satu kampus, satu jurusan, satu organisasi, namun beda semester. Navisha yang baru semester empat sedangkan Zen yang sudah selesai tinggal menunggu wisudanya saja. Zen menempuh kuliah S1 nya hanya 3 tahun. Kecerdasan dan kejeniusannya membawanya cepat ke jenjang wisuda.
Navisha mengenal Zen baru sebulan ini, itupun karena organisasi. Zen merupakan mantan presma (Presiden Mahasiswa) juga menjabat sebagai ketua HMJ di jurusannya. Dan kebetulan sebulan ini Navisha mendapat amanah sebagai sekretaris. Kedekatan mereka hanya sebatas ketua dan sekretaris HMJ.
Akan tetapi, beberapa hari ini keduanya memiliki perasaan lebih dari itu. Zen juga menyadari bahwa baru kali ini dia sangat nyaman dekat dengan seorang gadis. Presma, tampan, kaya, dan cerdas. Kaum hawa tentu mengidam-idamkan dapat bersanding dengan sosok seperti Zen. Namun Zen selalu bersikap tegas dan dingin pada mereka. Karena nyatanya jauh dari lubuk hati Zen, dia mencintai Navisha.
"Wa'alaikumusalam," jawab Navisha kaget akan kedatangan Zen.
Dilepaskannya headset terpasang sedari tadi. Kemudian menggeser duduknya sampai di ujung bangku saat dilihatnya Zen duduk di ujung lainnya. Sebenarnya dia risih jika harus berbicara dengan lawan jenis bukan mahromnya. Tapi, dia berpikir mungkin Zen ingin menyampaikan sesuatu. Toh, di sini tempat terbuka jadi bisa mengindari datangnya fitnah.
"Ada apa kak? Apa ada masalah? Ataukah ada pemberitahuan rapat?" tanya Navisha tanpa memandang Zen di sampingnya. Bukannya dia sombong atau apalah tapi karena dia wanita muslimah. Dan seorang muslimah harus menjaga pandangannya.
Rasulullah sallallahu alaihi wa salam bersabda: “Setiap manusia sudah ditentukan bagiannya dari berzina. Hal itu pasti akan dirasakannya. Zina kedua mata adalah dengan memandang. Zina kedua telinga adalah dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berucap. Zina tangan adalah dengan memukul. Zina kedua kaki adalah dengan melangkah. Hati itu bisa suka dan berkeinginan, sedangkan kemaluan bisa melaksanakan hal itu atau pun tidak melaksanakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
"Tidak ada. Hanya..." ujar Zen kelihatan gugup. Entah kenapa. Dia terlihat sedang berpikir, menyusun kata-kata yang akan dituturkan olehnya.
Navisha tahu ada sesuatu penting yang ingin dibicarakan oleh seniornya ini. Dia hanya menunggu dan tidak ingin menyelanya. Toh, jika Zen ingin mengatakannya pasti diberitahukannya juga. Dan itu haknya, bukan?
"Zaara!" panggil Zen. "Aku ingin mengungkapkan sesuatu. Maaf sebelumnya kalo aku lancang mengatakan hal ini. Tapi aku yakin ini adalah jawaban Allah dari doaku..." jeda Zen mengambil nafas panjang.
"Zaara! Aku berniat untuk mengkhitbah dirimu. Bagaimana pendapatmu?" ungkap Zen susah payah. Gugup dan kikuk bercampur aduk sekarang. Dia mengira hal ini mudah namun nyatanya ini lebih susah dari ujian skripsi, ujian meja atau ujian lainnya. Percayalah ini benar-benar sulit untuknya.
Navisha terlonjak kaget. Apakah doanya dikabulkan oleh Yang Di Atas? pikirnya masih belum percaya. Dia masih tidak percaya bahwa cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Sungguh Allah Maha Mengetahui dan Dialah Maha Membolak-balikkan Hati Hambanya.
Dan sekarang giliran Navisha yang bingung dan gugup. Berbagai macam pertanyaan muncul di benaknya.
Bagaimana caranya dia menjawabnya? Sungguh sekarang dia menjadi panas dingin.'Bismillahirrahmanirrahim...' ucap Navisha dalam hati.
"Em, kak. Jika kakak memang serius akan perkataan kakak. Maka datanglah ke rumah dan temui kedua orangtuaku." Navisha telah memberi lampu hijau untuk Zen. Niatan baik tidak boleh ditolak.
Rasulullah sallallahu alaihi wa salam bersabda: “Apabila seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang kepada kalian untuk meminang wanita kalian, maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. At-Tirmidzi no. 1084, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Al-Irwa’ no. 1868, Ash-Shahihah no. 1022)
Hati Zen lega luar biasa. Segala beban pikiran dan hatinya kini diangkat hingga kini amat sangat ringan. Keluh kesah yang ditumpahkannya pada sang Rabbi saat sholat sunnah tadi sebelum menghampiri Navisha sudah dijawab oleh-Nya. Sungguh Allah Maha Besar akan segala-galanya.
Ucapan syukur tak henti-hentinya diucapkannya dalam hati. Senyuman merekah nan tulus tercipta. Wajah Zen berseri-seri saking senangnya.
"Terima kasih, makasih banyak. Insyaa Allah, secepatnya aku akan menemui orangtuamu. Tunggu aku, yah?" tutur Zen dengan nada gembira tak ditutup-tutupinya.
"Sama-sama, kak. Insyaa Allah kan kutunggu kak," balas Navisha tersenyum hangat. Tak bisa dipungkiri hatinya juga tak kalah senangnya.
Siapa yang menyangka bahwa hari itu adalah hari terakhir mereka berjumpa. Karena setelahnya Zen hilang tanpa kabar, tidak ada kepastian apapun lagi. Zen bagaikan ditelan bumi, hilang dan tak ada jejak.
Navisha?
Sakit,
Kecewa,
Sedih.
Apa yang lebih dari itu?Seseorang yang secara terang-terangan datang meminta izin untuk mengkhitbah dirimu. Kemudian setelahnya pergi tanpa ada kabar selanjutnya. Dan selain itu, Navisha telah membuat janji.
Bahwa dia akan menunggu sosok Zen.
Akan tetapi, Navisha kembali lagi pada sang Ilahi. Dia percaya akan takdir yang telah dituliskan oleh Allah di lauhul mahfudz.
Sejak kejadian itu pula, Navisha mengundurkan diri dari organisasi. Membatasi diri dari berteman dengan ikhwan, menyibukkan diri di kampus dan membangun usahanya bersama sahabatnya. Setiap sepertiga malam dirinya juga tidak pernah absen hadir bersimpuh serendah-rendahnya dihadapan Sang Pencipta, Sang Pemberi Cinta, Allah subhana wa ta'ala.
Flashback off
➰➰➰
TBC
Khusus adegan flashback seperti yang author janjikan Part sebelumnya.
20/03/18
#Aletha_Cal
KAMU SEDANG MEMBACA
Untukmu, Zawjati ✔️
SpiritualIni adalah sebuah kisah menyentuh hati. Bukan hanya dari keromantisan kedua insan, namun juga dari cara mereka mengartikan sebuah kata yang semua orang tahu akan kata ini. CINTA Bagaimana mereka mengekspresikan rasa itu? Cara mereka melindungi apa...