Sayang Adik

343 11 0
                                    


Sore itu sepulang dari shalat Ashar di musholla dekat rumah, kulihat Nisa sudah duduk manis di teras rumah. Dia memakai kaos panjang warna merah jambu, celana panjang hitam, dan jilbab putih. Benar-benar kelihatan sedikit tomboy, dan itulah adikku. Meski anak perempuan dia ingin diajari beladiri dan ingin ikut mendaki gunung, sesuatu yang jarang disukai anak perempuan seusianya.

" Eh, adik manis mau kemana ini kok rapi amat ?" tanyaku pura-pura tidak tahu.

" Kata ibu abang mau ngajak aku jalan-jalan ", jawabnya.

" Iya. Tapi abang maunya kau pakai rok panjang, jangan pakai celana begitu". Aku mencoba mempengaruhinya.

" Emang kenapa bang ?" tanyanya.

" Pakaian wanita itu tidak boleh menyerupai pakaian laki-laki ", jelasku.

" Kata ibu nggak apa-apa karena aku masih anak-anak. Nanti kalau sudah akil baligh baru pakai pakaian muslimah ", ujarnya membela diri.

" Ya sudahlah...terserah kamu deh ", pungkasku sambil berlalu dan kucubit hidungnya. Aku lalu berganti pakaian dan setelah berpamitan kepada ayah dan ibu kami pun berangkat.

Sore itu seperti biasa jalan Raya Bogor di kawasan sekitar Kramat Jati tampak mulai terjadi kemacetan, semua kendaraan berjalan lambat. Aku dan Nisa menunggu angkot di sebuah halte bersama dengan beberapa orang lain yang juga menunggu angkot atau bis kota. Tadi aku sempat mampir wartel untuk menelpon ketua klub pendaki gunung di mana aku menjadi salah satu anggotanya sejak setahun yang lalu. Aku menanyakan apakah ada rombongan yang akan mendaki ke puncak Gedhe Pangrango dalam waktu dekat ini. Dan ternyata hari sabtu depan ada rombongan yang terdiri dari para pendaki pemula yang dipimpin oleh beberapa pendaki senior. Aku langsung mendaftar dua orang sebagai peserta dan aku sampaikan kalau satunya lagi adalah pendaki pemula.

Akhirnya angkot yang kami tunggu datang juga. Dari jauh nampak angkot berwarna coklat kemerahan dengan tulisan KR di kaca depannya dan aku langsung memberi isyarat bahwa kami mau naik. Lalu mobil angkot itu berhenti dan kami berdua pun langsung naik.

Baru kami mau melangkah ke pintu angkot itu, tiba-tiba terdengar suara dari arah sopirnya, " Faiz, kapan datang dan mau kemana ini ?". Aku lalu memperhatikan siapa sopirnya kok mengenaliku. Ternyata dia bang Jali tetangga kami yang rumahnya dekat musholla.

" Eh, Bang Jali. Baru datang tadi pagi bang, dan ini mau jalan-jalan ke Pondok Gede " jawabku sembari masuk ke dalam angkot lalu duduk tepat di belakang sopir, sementara Nsa duduk di samping kiriku.

" Bagaimana kabarmu Faiz, dan sekarang sudah kelas berapa sekolahnya ", tanya bang Jali sambil mulai menjalankan mobilnya perlahan.

" Alhamdulillah sehat, dan tahun ini saya sudah lulus dari pesantren bang ", jawabku.

" Syukurlah kalau begitu, aku ikut senang mendengarnya ", ujarnya sambil terus berkonsentrasi mengemudikan mobilnya di tengah kemacetan.

Dalam perjalanan aku sempat terpikirkan tentang bagaimana bisa mengisi liburan dengan kegiatan yang bisa menghasilkan uang untuk bekalku bertugas nanti, agar bisa meringankan beban ayah. Tiba-tiba muncul ide untuk menanyakan kepada Bang Jali, siapa tahu dia ada info lowongan kerja lepas untuk mengisi liburan.

" Bang Jali, untuk mengisi liburan sambil menunggu panggilan dari pesantren untuk penugasan wiyatabakti, saya ingin ikut kerja lepas atau freelance gitu. Kira-kira abang ada info lowongan nggak ? " tanyaku.

Bang Jali nampak berpikir sejenak, lalu menjawab, " Bener nih kamu pengin kerja ? Ada lowongan sih, tapi kerjanya kerja kasar Iz. Kamu mau nggak ?"

" Mau bang, yang penting bisa saya kerjakan. Kerja apa tuh bang ?", tanyaku antusias.

" Jadi kuli bongkar muat di pasar induk Kramat Jati. Itu kerjanya lepas, sistem borongan per truk atau mobil. Upahnya tergantung negosiasi antara mandor dengan pemilik barang yang akan dibongkar atau dimuat. Kamu datang aja kalau lagi longgar terus tunggu orang yang akan memakai jasamu ".

" Wah mau banget tuh bang, bolehlah itu. Tidak masalah " sahutku

" Eh, benar Faiz kamu mau ?" tanyanya. " Iya bang, mau banget ", jawabku meyakinkan.

" Tapi ngomong-ngomong mengapa kamu kayaknya pengin banget agar bisa bekerja di masa liburan. Mau kerja kasar lagi. Jarang-jarang lho anak pesantren atau orang terpelajar yang mau kerja kasar. Bukannya lebih enak kalau menikmati waktu liburan bersama adikmu itu " ujar bang Jali melihat Nisa dari kaca spion d langit-langit mobil. " kasihan lho, ketemu abangnya dua kali setahun juga belum tentu ", tambahnya lagi.

" Begini bang. Saya kan mau bertugas mengabdi di tempat yang jauh. Pastinya butuh bekal kan bang ? Nah, saya sedapat mungkin ingin meringankan beban orang tua. Lagipula masak iya saya mengisi liburan cuma bermain sama anak ini doang ", jelasku. Dan kami pun tertawa.

" Hahaha...iya ya. Tapi aku salut dengan mu Faiz, kamu benar-benar anak yang berbakti. Dan aku senang bisa membantumu. Kebetulan minggu depan aku mau ambil libur, jadi aku bisa mengantarmu ke salah satu mandor kuli bongkar muat di pasar induk Kramat jati yang merupakan teman dekatku ".

" Wah, terimakasih banyak bang sebelumnya " pungkasku.

Mobil angkot itu terus melaju hingga sampailah di kompleks pertokoan di daerah Pondok Gede yang kami tuju. Lalu bang Jali menurunkan kami berdua dan ketika aku hendak membayar ongkosnya, bang Jali menolaknya. Katanya biar buat tambahan jajan kami, anggap saja hadiah darinya buat kami berdua. Setelah mengucapkan terimakasih aku dan Nisa segera berjalan menuju ke arah pertokoan yang menjual pakaian.

Setelah melihat-lihat dan memilih-milih, akhirnya kami membeli sebuah jaket dan satu setel pakaian muslimah anak. Jaketnya rencananya akan dipakai buat mendaki gunung hari Sabtu depan. Sewaktu aku memyuruhnya memilih jaket, Nisa sempat bertanya buat apa jaket dan apakah uangku masih cukup. Setelah kujelaskan bahwa jaketnya buat mendaki gunung hari Sabtu depan, dia senang sekali dan tampak dengan berbinar-binar melihat-lihat jaket dan menanyakan harganya kepada pelayan toko. Aku hanya memperhatikan dari kejauhan sambil tersenyum. Bahagia sekali rasanya melihatnya begitu gembira, meski untuk ini aku harus rela menyisihkan uang jajanku selama setahun dan menyembunyikan dari ayah dan ibu kalau aku sebenarnya dapat beasiswa dari ma'had. Mungkin perasaan seperti inilah yang dirasakan seorang ayah ketika melihat anaknya berhasil meraih sebuah prestasi yang membanggakan, yang mana ia dengan susah payah membiayainya. Bahkan pastinya lebih dahsyat lagi. Ini baru perasaan seorang kakak yang hanya sedikit saja berkorban untuk adiknya, bagaimana pula dengan ayah yang bekerja keras setiap hari untuk anak-anaknya ?

Sehabis sholat maghrib di musholla terdekat, aku mengajak Nisa makan pecel lele di warung tenda Lamongan. Sebelum pulang kami mampir ke toko yang menjual tas sekolah dan sepatu untuk melihat-lihat saja. Aku meminta Nisa untuk memilih mana yang ingin dibeli dan kemudian menyanyakan harganya. Bukan untuk kami beli saat itu, tapi kukatakan kepadanya nanti in sya Allah kubelikan kalau dapat uang dari hasil kerja selama liburan. Setelah memastikan dan mengingat-ingat model tas dan sepatu yang diinginkan Nisa, kami segera pulang dengan perasaan sama-sama bahagia.

Angin dan BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang