Menginjakkan Kaki di Pulau Ambon

176 6 0
                                    


Tepat pukul 21.30 WIT terdengar pemberitahuan dari pengeras uara di kapal, bahwa sebentar lagi kapal akan merapat ke dermaga pelabuhan Ambon, dan kepada seluruh penumpang diharap untuk mengemasi barang-barang dan mempersiapkan diri. Tampak istri Pak Sholeh dibantu oleh kedua anaknya mengemasi dan merapikan barang-barang mereka. Sementara karena bekal makanan dalam kardus sudah habis, aku hanya mengecek kembali barang-barangku di dalam tas ranselku. Tiba-tiba pak Sholeh menepuk bahuku, dia memberiku secarik kertas yang berisi catatan alamat rumah dan tempat jualannya. Dia berharap jika aku sempat agar sudi mampir ke rumahnya atau ke tempat jualannya. Aku mengucapkan terimakasih atas tawarannya dan atas semua cerita-cerita inspiratifnya, juga atas semua makanan yang kami saling berbagi selama perjalanan.

Akhirnya beberapa saat lagi perjalananku dengan kapal ini akan segera berakhir. Tampak banyak orang-orang sudah berdiri di geladak kapal dengan membawa barang bawaan mereka masing-masing menyaksikan proses kapal bersandar. Karena di dua pelabuhan sebelumnya aku selalu melihat proses kapal bersandar, kali ini aku tidak tertarik untuk melihatnya lagi. Aku memilih menunggu di kabin penumpang agar bisa mengobrol untuk yang terakhir kalinya dengan Pak Sholeh sekeluarga sambil menyaksikan berita di TV tentang peristiwa serangan 11 September. Sungguh sebuah perjalanan yang sangat berkesan bagiku. Bisa menyaksikan beberapa kali Sunset dan Sunrise di tengah lautan, bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang, belajar mengendalikan tubuh agar tidak mabuk laut, dapat cerita-cerita unik dari sesama penumpang, bisa singgah di beberapa pelabuhan, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Jam Casio F-91 W di tanganku menunjukkan angka 22.05 WIT ketika kapal telah sempurna bersandar di dermaga. Para penumpang pun mulai turun perlahan-lahan. Aku pun harus berpisah dengan keluarga Pak Sholeh. Setelah turun dari kapal aku langsung mencari ojek untuk mengantarkan ke alamat pak Rahmat. Ternyata jam segitu kota Ambon masih begitu ramai. Menurut tukang ojek perjalanan ke tempat Pak Rahmat membutuhkan waktu sekitar 15 menit.

Sesuai petunjuk dalam catatan alamat Pak Rahmat yang diberikan ustadz Azhari, aku lalu bertanya kepada orang yang kutemui di lokasi yang kuperkirakan tidak jauh lagi dengan rumah Pak Rahmat untuk memastikan yang mana rumah Pak Rahmat. Lalu berdasarkan petunjuknya aku diantarkan tukang ojek sampai di depan rumah yang dimaksud. Setelah menyelesaikan urusan degan tukang ojek, aku bergegas memasuki halaman sebuah rumah yang tidak terlalu besar tetapi bersih dan rapi. Aku lalu mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Terdengar suara laki-laki yang menjawab salam dan tak lama kemudian ada yang membukakan pintu. Lalu muncullah dari balik pintu seorang laki-laki yang kuperkirakan sedikit lebih tua dari ayah dengan perawakan tinggi sedang, tersenyum ramah menyambutku.

" Maaf pak, apakah benar ini rumah Bapak Rahmat ?", tanyaku dengan penuh hormat untuk memastikan aku tidak salah rumah.

" Benar, sayalah Pak Rahmat. Dan adik ini apakah Faiz Izzuddin dari Pesantren Darul Ihsan ?", tanyanya balik setelah menjawab pertanyaanku.

" Betul pak, saya Faiz".

" Kalau begitu mari masuk, saya sudah menunggu-nunggu dari tadi siang", ujarnya ramah.

Aku lalu duduk di kursi di ruang tamu yang terbuat dari rotan sementara Pak Rahmat masuk ke dalam dan tak berapa lama kemudian dia kembali dengan membawa nampan berisi teko dan gelas serta sepiring makanan kecil.

" Maaf ya nak Faiz, adanya baru air putih dulu. Sedang disiapkan teh hangat dan makan malam oleh istri saya di dapur", katanya sambil menyuguhkan makanan dan minuman yang ia bawa.

" Tidak apa-apa pak, ini sebenarnya sudah cukup kok ".

" Bagaimana perjalanannya ? Apakah sempat mabuk laut atau lancar-lancar saja ?", tanya Pak Rahmat memulai obrolan

" Alhamdulillah lancar pak. Di awal perjalanan sempat sempat mual, tapi karena banyak hal-hal baru yang mengasyikkan yang saya temui dalam perjalanan, jadinya enak saja bawaannya ", jawabku

" Ya syukurlah kalau begitu".

Sambil menunggu makan malam yang sedang disiapkan, kami mengobrol ringan tentang diri kami masing-masing. Dari obrolan kami, aku jadi tahu kalau Pak Rahmat ini tinggal berdua saja dengan istrinya, kedua anak perempuannya sudah menikah dan tinggal bersama suaminya masing-masing. Juga tentang rencana pak Rahmat untuk membawaku jalan-jalan keliling kota Ambon besok pagi setelah sarapan. Setelah mengobrol kurang lebih setengah jam, terdengar suara istri pak Rahmat memanggil memberitahu kalau makanannya sudah siap. Malam itu aku makan dengan lahap sekali, karena memang sedang lapar. Lalu setelah membersihkan badan di kamar mandi, pak Rahmat mengantarku ke kamar yang sudah disiapkan untukku.

Keesokan harinya sehabis shalat Shubuh, aku sempatkan menulis surat untuk Nisa yang mengabarkan kondisi terakhirku, sedikit cerita tentang perjalananku, dan titip pesan buat ibu kalau kemungkinan aku tidak bisa mengirim kabar untuk beberapa waktu lamanya karena tuntutan tugas yang akan aku jalani. Rencananya aku akan mengirimkan surat ini besama dengan foto hasil jepretanku selama perjalanan yang akan aku cuci cetak nanti ketika jalan-jalan bersama Pak Rahmat.

Setelah sarapan yang sangat berkesan dengan lauk olahan ikan laut yang dimasak dengan bumbu khas Ambon, pak Rahmat kemudan mengajakku berangkat jalan-jalan keliling kota Ambon sesuai rencana semalam. Pertama-tama kami mencari tempat cuci cetak film untuk mencuci film negatifku dan mencetaknya menjadi lembaran-lembaran foto. Baru setelah itu kami berkeliling kota melihat-lihat keramaian kota sekaligus melihat sisa-sisa bekas konflik yang pernah bergolak di situ. Kami juga mencoba beberapa kuliner khas Ambon yang kami temui dan bisa masuk ke dalam perut kami. Setelah puas berkeliling kota, menjelang dhuhur kami kembali ke tempat cuci cetak film untuk mengambil hasilnya, lalu setelah itu kami menuju kantor pos untuk mengirimkan foto-foto itu dan surat yang kutulis shubuh tadi. Dan terakhir kami sholat Dhuhur di Masjid Raya Al Fattah kota Ambon yang terkenal itu. Sepulang dari jalan-jalan aku beristirahat sampai Ashar tiba, dan setelah shalat Ashar pak Rahmat mengajakku pergi ke pasar ikan untuk membeli beberapa ekor ikan kakap ukuran sedang untuk diolah menjadi ikan bakar dengan bumbu khas Ambon.

Malam harinya setelah shalat Isya, kami menikmati makan malam dengan ikan bakar spesial buatan istri Pak Rahmat yang rasanya memang benar-benar istimewa. Ini ikan bakar terlezat yang pernah aku makan. Setelah selesai makan, Pak Rahmat lalu bercerita tentang konflik yang terjadi di antara tahun 1999-2000 dan bagaimana kaum muslimin menghadapinya. Aku mendengarkannya dengan seksama dan sesekali bertanya. Cerita itu baru berakhir ketika pak Rahmat melihatku mulai mengantuk.

" Kelihatannya kamu sudah mengantuk, jadi istirahat saja. Besok pagi kita berangkat ke tempat transit sesuai permintaan tuan rumah yang kita tuju. Tadi sehabis maghrib dia telpon saya meminta agar kita berangkat pagi hari ", kata pak Rahmat mengakhiri ceritanya.

" Baik pak, saya istirahat dulu ", ujarku kemudian bangkit meninggalkan Pak Rahmat menuju kamar untuk beristirahat. Aku memang sudah ngantuk sekali, mungkin karena lelah dan agak kebanyakan makan tadi.

Angin dan BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang