Menjemput Nisa dan Kegalauan Ustadz Azhari

132 4 0
                                    


Di pertengahan Ramadhan aku pergi ke pesantren Darul Ihsan untuk menjemput Nisa dan sekalian Fahmi yang diamanahkan ayahnya untuk kubawa pulang bareng. Aku datang sehari sebelum masa liburan dimulai agar bisa mendiskusikan tentang perkembangan terakhir yang terjadi bersama ustadz Azhari.

Seperti biasanya aku sampai di pondok sekitar jam 9 pagi lebih sedikit. Aku langsung menuju beranda guest house dan melihat daftar di buku tamu untuk melihat apakah Pak Burhan sudah datang atau belum. Ternyata namanya ada beberapa baris di atas namaku . Aku lalu mengetuk pintu dan mengucap salam. Dan betapa terkejutnya ketika yang membukakan pintu adalah Pak Burhan. Setelah meletakkan tas dan berbasa basi sebentar dengan dua orang wali santri di guest house, aku dan Pak Burhan kemudian keluar mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol. Akhirnya kami mengbrol di beranda masjid yang kebetulan sedang sepi.

" Faiz, kamu pasti mengikuti perkembangan berita tentang Bom Bali kan ?", tanya Pak Burhan membuka obrolan.

" Iya pak. Dan mulai ada beberapa tersangka pelakunya yang tertangkap", jawabku

" Apakah syaikh pernah menyinggung tentang kemungkinan adanya amaliyah seperti ini ?", tanyanya lagi.

" Beliau hanya pernah mengatakan bahwa Indonesia termasuk tempat yang akan dilakukan eksperimen jihad di dalamnya. Tapi untuk menyimpulkan apakah ini merupakan bagian dari eksperimen itu atau tidak, saya masih belum yakin sepenuhnya meski dari berbagai indikasi sudah cukup mendukung", jelasku.

" Pagi tadi ada sebuah fakta yang disampaikan oleh ustadz Azhari yaitu bahwa ia pernah bertemu dengan Imam Samudra di Afghanistan. Bagiku dengan tertangkapnya Imam Samudra beberapa hari yang lau sudah cukup membuktikan bahwa ini merupakan bagian dari eksperimen itu Faiz...". Pak Burhan menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan dan terlihat sedikit kegundahan dari sorot matanya. Apa yang barusan ia katakan seperti sebuah beban baginya.

" Nanti malam selepas tarawih ayo kita jalan-jalan ke kota. Aku ingin berbicara denganmu lebih banyak lagi tentang masalah ini dan juga tentang perkembangan di Leihitu. Di sini aku merasa kurang nyaman. Aku juga rindu dengan suasana dulu di mana kita biasa ngorol berdua sambil minum teh atau kopi rarobang di beranda rumahku. Siang sampai sore nanti selesaikanlah urusanmu dengan orang-orang di sini, agar nanti malam kita sudah bisa bersantai", tuturnya lagi.

" Baik pak, habis dhuhur nanti saya bereskan urusan Nisa dan Fahmi dengan kesantrian, lalu setelah ashar saya berencana menemui ustadz Azhari", sahutku.

" Sekarang istirahatlah Faiz, aku juga mau istirahat. Aku juga baru sampai jam 8 tadi, berangkat dari Surabaya selepas shubuh", pungkas Pak Burhan.

Ketika shalat Dhuhur di masjid aku tidak melihat ustadz Zain di antara asatidz yang hadir. Ternyata menurut ustadz Taufiq beliau sudah pulang kampung duluan karena ada acara di keluarga besarnya. Aku juga mengutarakan maksudku kepada ustadz Azhari untuk menemuinya sehabis shalat Ashar nanti dan beliu menyambut dengan senang hati. Bahkan beliau menawari untuk berbuka di rumahnya bersama Pak Burhan dan ustadz Taufiq dan tentu saja aku langsung mengiyakannya.

Setelah shalat Dhuhur aku menuju kantor kesantria putra untuk mengurus kepulangan Fahmi yang diamanahkan ayahnya kepadaku. Setelah selesai aku lalu menuju ke ruang kesantrian putri untuk mengurus kepulangan Nisa. Kemudian setelahnya aku ke ruang kunjungan santriwati untuk menemui Nisa.

Setelah menunggu beberapa saat lamanya Nisa pun datang mengucap salam. Dan karena di ruangan itu sedang kosong dia pun langsung menghambur memelukku setelah kujawab salamnya.

" Abang kapan datang ?"

" Tadi sebelum dhuhur. Kamu sehat Nisa ?"

" Alhamdulillah sehat bang. Bagaimana kabar ibu dan usaha rotinya ?"

Angin dan BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang