Awal dari Sebuah Perjuangan

840 19 0
                                    

Beberapa hari kemudian tepatnya hari jum'at pagi setelah kami semua selesai kerja bakti membersikan kamar dan lingkungan kami, tampak banyak santri yang mengerumuni papan pengumuman di depan kantor sekolah yang tepat berada di seberang masjid. Tampaknya itu pengumuman hasil ujian akhir santri kelas terakhir. Aku pun segera bergegas menuju kerumunan itu untuk memastikannya. Sesampainya di depan kerumunan, salah satu dari mereka berkata kepadaku, " Nah ini dia lulusan terbaik kita...selamat ya Faiz ", ujarnya seraya menyalamiku. Aku masih belum percaya dan bergegas membaca tulisan dalam kertas pengumuman itu.
Di bagian atas kertas ukuran A3 itu tertulis :" Daftar Nilai Ujian Akhir Santri Niha'iy dan Nilai Karya Tulis Masing-masing". Di baris pertama tertulis namaku, Faiz Izzuddin Hakim, nilai rata-rata ujian akhir 8,3 dan nilai karya tulis A+. Subhanallah...Alhamdulillah...Allahu Akbar !! pekikku dalam hati. Teman-teman lalu bergantian mengucapkan selamat dan beberapa di antaranya sampai memelukku. Aku masih tak menyangka akan menjadi lulusan terbaik dengan nilai sebaik itu, aku hanya mentargetkan nilai rata-rata 8 dan B+ untuk karya tulisnya.  Tak lama kemudian kami pun membubarkan diri untuk persiapan shalat Jumat.
Selepas shalat jumat ada pengumuman dari salah satu ustadz, bahwa nanti malam setelah isya semua panitia khutbah wada' harap berkumpul di ruang kelas yang bersebelahan dengan kantor untuk membahas teknis acara khutbah wada' yang akan diadakan 3 hari lagi. Ketika aku melewati serambi masjid untuk kembali ke kemar seusai shalat sunnah ba'diyah Jumat, kulihat ustadz Taufiq sedang berbincang dengan ustadz Zubair wali kelasku. Melihatku hendak meninggalkan masjid, ustadz Zubair buru-buru memanggilku.
" Faiz, kemarilah sebentar", serunya. Aku pun segera menghampiri mereka berdua lalu bersalaman dan duduk di hadapan mereka, lalu bertanya, " Ada perlu apa ustadz memanggil saya ? Sepertinya penting ".
" Begini Faiz, nanti malam sekitar jam 8, datanglah ke asrama kami. Ada yang ingin kami bicarakan denganmu " jawab ustadz Zubair. " Bagaimana, bisa kan ?" Sambungnya lagi.
"In sya Allah ustadz, tidak masalah", jawabku.
" Kalau begitu silahkan kamu kembali ke kamar. Saya dengar tadi dari santri kelas 5 bahwa mereka mau latih tanding sepakbola dengan tim kelas niha'iy . Katanya pertandingan perpisahan, karena besok mereka mulai sibuk mempersiapkan acara khutbah wada' ", ujar ustadz Taufiq. " Benar ustadz, rencananya nanti sore ba'da Ashar. Jadi sekarang saya izin undur diri untuk beristirahat", pungkasku. " Tafadhal Faiz", kata ustadz Zubair mempersilahkanku.
Sesuai rencana, sore itu kesebelasan Niha'iy melakukan pertandingan perpisahan dengan tim kesebelasan yang terdiri dari gabungan kelas 4 dan 5 KMI ( Kuliyyatul Mu'allimin al Islamiyah ) di lapangan desa yang telah kami booking dari pagi tadi. Tim sepakbola KMI Pesantren Darul Ihsan sangat terkenal di daerah sini karena sering menjuarai berbagai turnamen sepakbola antar sekolah. Selain itu juga kami sering melayani pertandingan persahabatan dengan kesebelasan dari desa-desa sekitar. Kami bisa bermain bagus karena kami dilatih oleh salah satu warga desa sebelah yang dulu pernah berkarir di sepakbola profesional Indonesia dan sekarang beliau mengabdikan diri menjadi guru olahraga kami. Dalam tim aku biasa bermain sebagai penyerang kiri atau kanan dalam skema 4-3-3 atau 3-4-3 yang menjadi favorit kami. Dan sepakbola telah menjadi salah satu sarana kami bersosialisasi dengan masyarakat luas. Oleh karenanya olahraga ini sangat dianjurkan untuk dikuasai oleh santri. Setiap kelas wajib punya tim sepakbola yang terdiri dari 15 santri. Karena kelasku hanya ada 17 santri, maka hampir semuanya adalah para pemain bola.
Sore itu lapangan telah ramai oleh penonton, baik dari santri maupun masyarakat sekitar. Sebuah pemandangan yang biasa jika kami menggelar pertandingan, yang bukan hanya latihan biasa. Kami menjalani pertandingan yang luar biasa sore itu. Karena hendak berpisah dengan kami dari tim Niha'iy, maka adik-adik kelas kami ingin menunjukkan permainan terbaik mereka, seakan ingin menunjukkan bahwa mereka akan bisa meneruskan kejayaan tim sepakbola KMI Pesantren Darul Ihsan sepeninggal kami. Dan skor akhir pertandingan 2 x 30 menit itu adalah 4-3 untuk kemenangan tim adik-adik kelas.
Malam harinya sepulang dari sholat Isya aku berganti pakaian dulu dengan pakaian santai lalu bergegas menuju komplek asrama asatidz yang ada di seberang komplek pondok agak ke barat kurang lebih 100 meter. Tanah yang ditempati asrama dan perumahan asatidz itu adalah wakaf dari salah satu warga. Itulah mengapa letaknya agak terpisah dari komplek pondok. Bangunan asrama dan perumahan itu terdiri dari dua bangunan besar yang memanjang mirip dengan bangunan ruang kelas kami. Yang di sebelah kanan adalah perumahan bagi asatidz yang sudah berkeluarga, dan yang sebelah kiri adalah asrama bagi asatidz yang masih bujang. Yang membedakan antara bangunan asrama dan perumahan adalah pada bangunan untuk perumahan ada dinding pemisah pada terasnya sesuai dengan batas rumah masing-masing, dan juga lebih besar ukuran bangunannya. Sedangkan pada asrama asatidz selain ukuran bangunannya lebih kecil juga terasnya tidak ada penyekatnya sama sekali. Jadi hampir sama dengan ruang kelas kami, bedanya ada teras di depannya.
Aku langsung menuju ke ruang asrama yang ditempati oleh ustadz Taufiq dan ustadz Zubair yang terletak di paling ujung dari bangunan asrama asatidz. Beliau tinggal berdua di ruangan itu dengan ustadz Zubair yang sama-sama masih bujang. Sesampainya di sana aku lalu mengetuk pintu dan mengucapkan salam, lalu terdengar jawaban salam dari dalam dan sejurus kemudian pintu pun terbuka. Aku terkejut ketika yang membukakan pintu adalah ustadz Zainuddin  kepala sekolah kami, namun aku terus saja masuk dan di dalam ternyata telah menunggu ustadz Taufiq, ustadz Zubair, dan ustadz Azhari mudir ma'had kami. Mereka duduk melingkar di atas karpet dan aku pun segera bergabung duduk dengan mereka berjabat tangan dengan mereka semua. Yang lebih mengejutkanku lagi kok ada ustadz Azhari juga. Dalam hati aku bertanya-tanya mengapa beliau danb ustadz Zain ada di sini ?
Ustadz Taufiq sepertinya menyadari keterkejutanku, buru-buru beliau menjelaskan, " Faiz, pertemuan ini sebenarnya adalah inisiatif dari ustadz Zain dan ustadz Azhari, kami berdua tadi sore hanya menyampaikan pesan berdasarkan arahan dari beliau berdua ini ", jelasnya.
Ustadz Zubair kemudian mempersilahkanku untuk mencicipi makanan dan minuman yang ada. Di hadapan kami ada dua piring kacang rebus, satu sisir pisang, dan satu teko air jahe hangat berikut gelas yang disiapkan. Aku mengambil segenggam kacang rebus dan mulai memakannya, sementara ustadz Taufiq menuangkan air jahe ke dalam gelas kosong lalu menyodorkannya kepadaku.
Setelah mencicipi makanan dan minuman yang ada dan setelah berbasa-basi sebentar, ustadz Zubair kemudian membuka pertemuan malam itu.
" Assalaamu'alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh... ba'da tahmid dan shalawat, malam ini kita berkumpul di sini untuk membahas tentang rencana penugasan murid kita yang istimewa ini. Mengapa hanya Faiz sendiri, karena ini adalah tugas khusus yang berbeda dari yang lain dan perlu penjelasan rinci tentang latar belakang pertimbangan kami, tujuan Faiz ditugaskan kesana, sampai sekilas gambaran tentang tempat dimana Faiz akan bertugas. Untuk selanjutnya saya persilahkan ustadz Zainuddin selaku kepala sekolah untuk menjelaskannya lebih lanjut."
Dadaku sedikit berdebar-debar mendengar muqaddimah dari ustadz Zubair. Tugas apakah itu sampai-sampai harus para petinggi ma'had yang menjelaskannya dan hanya aku sendiri yang dipanggil. Aku tetap diam saja menyimak penjelasan yang akan disampaikan ustadz Zain.
Suasana hening sesaat setelah ustadz Zubair menyampaikan muqaddimahnya. Kami semua memandang ke arah ust Zain yang tampak membetulkan posisi duduknya menjadi lebih tegak dan mulailah terdengar suaranya yang tegas berwibawa mengucapkan salam, syahadat,tahmid dan shalawat.
" ...amma ba'du. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa saat ini kita berada di awal abad ke 21 dimana kita dihadapkan dengan tantangan dakwah yang semakin besar di tengah kondisi kaum muslimin yang sedang tertindas di mana-mana. Kita membutuhkan orang-orang yang lebih militan, lebih kreatif, lebih cakap, dan memiliki kemampuan-kemampuan lainnya yang harus lebih baik dari generasi sebelumnya. Kita butuh orang-orang yang berani mendobrak kebuntuan dan yang bisa menjadi poros penggerak kekuatan umat.
Lalu sebagaimana yang kita ketahui juga, bahwa pesantren kita dan pesantren-pesantren dalam jaringan kita selama ini telah mencoba dan berusaha untuk berkontribusi dalam perjuangan membangun umat Islam menuju izzul Islam wal muslimin., dengan mencetak kader-kader ulama' 'amiliina fie sabilillah. Selama ini pesantren kita ini telah meluluskan ratusan alumni dari beberapa angkatan. Di antara mereka ada yang kemudian menjadi pengajar di pesantren, ada yang sekolah lagi baik di dalam maupun luar negeri, ada yang menjadi pengusaha, dan tidak sedikit pula yang kembali ke masyarakat menjadi seperti warga kebanyakan yang bekerja atau membantu orang tua dengan hasil yang pas-pasan dan juga tidak terlibat dalam aktivitas dakwah apapun. Dari semua yang sudah kita lalui bersama, peranan kita dalam membangun umat masih sangat minim. Bahkan alumni kita masih banyak yang tidak bisa apa-apa, dalam arti memiliki ilmu tapi tidak tahu bagaimana memanfaatkan ilmu itu di tengah masyarakat dan hanya mampu mengaplikasikannya dalam lingkup kecil seperti dalam keluarganya saja."
Ustadz Zain menghentikan perkataannya lalu mengarahkan pandangannya kepadaku yang sedang antusias menyimak perkataannya, lalu beliau melanjutkan,"  Begitulah Faiz, kami sebagai orang yang mengajar dan mendidik kalian merasa bahwa apa yang selama ini kami lakukan dalam menyiapkan generasi ulama' 'amiliina fie sabilillah  masih sangat kurang, atau mungkin masih banyak kekurangan dalam metode pendidikan yang kami tempuh. Dari tahun ke tahun kami merasa bahwa hasil kerja kami yang tercermin dari produk alumni pesantren kita itu seperti mengalami stagnasi, tidak ada perubahan positif yang berarti selain dari banyaknya jumlah alumni. Namun saat kami membaca karya tulis tugas akhirmu, kami menemukan sesuatu yang baru yang belum pernah kami temui sebelumnya, dan itu membuat kami senang dan bahagia karena akhirnya kami menemukan sebuah harapan baru. Harapan akan lahirnya sesosok generasi penerus yang memiliki kemampuan istimewa, Saya dan para asatidz yang hadir di sini memilki kesimpulan dan keyakinan yang sama, yaitu pada suatu saat nanti jika kamu istiqomah menjalankan konsep perjuangan membangun umat sebagaimana yang kamu jelaskan dalam tulisan tugas akhirmu itu, in sya Allah kamu akan menjadi seorang pemimpin yang kharismatik di tengah umat atau setidak-tidaknya akan menjadi tokoh pelopor dalam perjuangan membangun umat ini. Kami yakin itu Faiz.."
Sejenak ustadz Zain menghentikan perkataannya, namun masih menghadapakan wajahnya kepadaku dan terus menatapku seakan ingin tahu reaksi atau tanggapan dariku. Sejujurnya aku masih terkesima tidak menyangka kalau mereka begitu antusias dengan tulisan tugas akhirku. Namun hati kecilku segera mengambil kendali diriku, mengingatkanku bahwa hal itu tidak boleh membuatku besar kepala atau bangga dengan yang telah kulakukan, karena semua adalah karena rahmat dan karunia Allah SWT. Sejurus kemudian aku pun berujar , " Jika memang demikian, maka segala puji hanya milik Allah SWT karena semua ini dalah karuniaNya... hadza min fadhli Rabbiy".
" Subhanallaah..." Tiba-tiba terdengar suara ustadz Azhari mengucapkan kalimat tasbih itu. Lalu beliau melanjutkan, " inilah sosok yang kami rindukan selama ini, seorang pemuda yang cerdas dan memiliki akhlaq yang bagus, begitu tawadhu dan tidak mudah terbawa suasana...Luar biasa," ujarnya sambil menepuk-nepuk pundakku dengan tangan kanannya dari samping kiriku.
" Baiklah kita lanjutkan lagi, nanti setelah ini baru giliran ustadz Azhari ". Terdengar suara ustadz Zain yang menghentikan perkataan ustadz Azhari, dan keduanya lalu sama-sama tersenyum. Lalu kami semua kembali tenang mendengarkan apa yang akan dsampaikan ustadz Zain selanjutnya.
" Faiz, selama ini kami juga memperhatikan tingkah laku dan tindakan-tindakanmu, terutama dalam dua tahun terakhir sejak kamu di kelas V atau sejak kamu menjabat sebagai ketua IST ( Imaaratusy Syu'unith Thalabah ) dan ketika menjadi musyrif  bagi pengurus IST ketika duduk di kelas terakhir. Apa yang kamu lakukan dalam mengatur dan mengarahkan para santri, cara atau metode yang kamu lakukan ketika menyelesaikan sebuah persoalan di tengah santri, dll, semua tak luput dari perhatian kami. Dan kesimpulan kami adalah : ternyata semua memang sesuai dan sejalan dengan konsep yang akan kamu lakukan dalam perjuangan membangun umat sebagaimana yang kau jelaskan dalam tulisan tugas akhirmu. Artinya, apa yang kamu tulis itu bukan hanya bersifat teori, tapi memang telah mulai kamu jalankan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Kami telah melihat bagaimana kamu sangat dihormati dan dicintai oleh semua santri. Salah satu buktinya saya masih ingat ketika ada salah satu santri yang bandel ketika saya berkali-kali menegur dan menghukumnya, namun ketika berhadapan denganmu ternyata santri itu jadi penurut dan tidak neko-neko lagi. Hal ini yang membuat kami semakin mantap untuk memberikan sebuah tugas khusus yang mana dalam tugas tersebut kamu akan mempelajari banyak hal sekaligus mengajarkan banyak hal kepada orang lain di sekitarmu. Kami semua telah sepakat untuk menempatkanmu dalam sebuah tugas yang tepat. Dan mengenai detail tugas ini akan dijelaskan lebih rinci oleh ustadz Azhari. Tafadhal ustadz..."
Ustadz Azhari kemudian menegakkan punggungnya, menggeser posisi duduknya sedikit sehingga menghadap ke arahku. Aku pun menggeser posisi dudukku agar bisa berhadapan dengan beliau karena aku adalah obyek pembicaraan ini. Beliau menarik nafas panjang sebelum akhirnya mulai berbicara.
" Alhamdulillah...terimakasih kepada ustadz Zain yang telah menjelaskan apa yang melatarbelakangi atau apa yang mendasari keputusan kami dalam menempatkanmu dalam sebuah tugas khusus. Jadi begini Faiz... kamu tentu mengetahui perkembangan terakhir konflik yang terjadi antara kaum muslimin dan kaum nasrani di Maluku bukan ?"
" Na'am ustadz. Setahu saya konflik sudah mereda, apa betul demikian ?" jawabku sekaligus bertanya untuk memastikan apakah yang kuketahui itu benar.
" Benar, sejak awal 2001 konflik sudah cenderung mereda, dan di beberapa tempat sudah benar-benar berhenti. Tapi saya yakin kamu belum banyak mengetahui ada apa saja di balik konflik itu dan apa hikmah di balik konflik itu. Nah, saya akan menjelaskan tentang sesuatu di balik konflik itu yang tidak diketahui oleh banyak orang, karena tugasmu nantinya akan berkaitan dengan hal itu ".
Ustadz Azhari berhenti sebentar untuk meminum air jahe di gelasnya lalu melanjutkan lagi. " Faiz, ada sebuah rahasia di balik konflik yang terjadi di Ambon-Maluku yang  tidak boleh diketahui sembarang orang. Hanya orang-orang yang memang akan berurusan dengan hal itu saja yang boleh mengetahuinya. Dan rahasia itu adalah...", beliau berhenti sesaat sebelum melanjutkan
" ... bahwa ada beberapa ikhwan dari luar negeri yang datang ke wilayah konflik Ambon-Maluku untuk membantu saudara-saudara kita dalam berjuang melawan keganasan kaum Nasrani di sana. Mereka membantu melatih teknik perang, menyalurkan dana dari luar negeri, dll. Selain itu mereka juga mengemban misi untuk melakukan kaderisasi mencetak mujahid-mujahid tangguh yang kelak akan menjadi pengawal kebangkitan umat Islam, yang akan melatih dan menyiapkan kaum muslimin untuk melawan musuh Islam ketika kaum muslimin telah membutuhkan jihad suatu saat nanti. Selama konflik berlangsung, mereka telah melatih banyak kader-kader baru, dan kini ketika konflik mulai mereda, mereka masih ada di sini untuk melanjutkan kaderisasi. Rencananya ini adalah tahun terakhir, jika selama setahun ini tidak ada konflik lagi, mereka akan kembali ke tempat asalnya masing-masing.
Jadi, kami ingin mengirimmu kesana untuk belajar kepada para syaikh dari luar negeri itu, sekaligus berdakwah di tengah masyarakat sambil ikut menjaga keamanan mereka. Di sanalah kami berharap kamu bisa belajar tentang dakwah dan jihad sekaligus. Demikian penjelasan singkatnya. Apakah ada pertanyaan ?" pungkas beliau.
Aku menarik nafas panjang dan sedikit mengakkan punggungku sebelum menjawab pertanyaan ustadz Azhari. " Tentu saja saya ada beberapa pertanyaan. Saya akan tanyakan sekaligus lalu antum jawab satu per satu. Yang pertama adalah kapan saya akan mulai bertugas ? Dan yang kedua apa saja yang harus saya siapkan sebelum berangkat dan bekal apa saja yang perlu siapkan ? Itu saja pertanyaan saya ustadz".
Ustadz Azhari meminum lagi air jahe di gelasnya dan setelah meletakkan kembali gelasnya, beliau mulai menjawab pertanyaanku. " Mengenai kapan kamu mulai bertugas, in sya Allah selambat-lambatnya bulan September 2001 nanti kamu sudah harus ada di sana. Lalu mengenai apa yang harus kamu siapkan, yang pertama adalah jaga kesehatan dan kebugaran fisikmu dan yang kedua adalah sedikit bekal uang untuk kebutuhan daruratmu. Karena in sya Alloh untuk biaya transportasi dan akomodasi selama perjalanan akan dicukupi oleh ma'had. Sedangkan kebutuhan hidup sehari-hari di tempat tugas in sya Allah sudah ada yang mengurusi di sana. Apakah semua sudah jelas atau masih ada pertanyaan lagi ?"
" Saya rasa sudah cukup ustadz", jawabku.
" Baiklah Faiz, jika sudah tidak ada pertanyaan lagi kami anggap semua telah jelas, dan mungkin bisa kita cukupkan majelis kita malam ini ", tutup ustadz Azhari.
Mendengar ustadz Azhari berkata begitu, ustadz Zain kemudian angkat bicara. " Ada yang mau saya tambahkan sedikit. Pertama, saya sebagai kepala sekolah ingin Faiz nanti bisa menjaga nama baik pesantren kita, syukur-syukur  jika bisa mengharumkan nama pesantren kita. Yang kedua, ada sedikit tugas tambahan buat Faiz, saya sebut tambahan karena ini bukan yang utama dan tidak wajib. Yaitu kami akan sangat senang jika nanti ada putra daerah di mana Faiz bertugas itu yang ingin belajar di pesantren kita ini. Karena dengan adanya santri dari daerah tersebut, kita jadi terhubung dengan daerah itu terus menerus. Sehingga setidaknya kita bisa mengetahui perkembangan di daerah itu sepeninggal Faiz, apakah dakwah yang kita lakukan di sana bisa terus berkembang atau bagaimana. Dan tentunya itu nanti bisa menjadi bahan evaluasi kita semua. Misalnya jika di kemudian hari perkembangannya semakin bagus berarti kita berhasil, dan cara yang telah kita tempuh di sana mungkin bisa kita terapkan di tempat yang lain. Nah, itu saja tambahan dari saya dan saya rasa sudah cukup. Silahkan ustadz Zubair untuk menutup majelis kita malam ini ".
Ustadz Zubair nampak membetulkan posisi duduknya lalu berkata, " Baiklah kalau begitu. Sebelum pertemuan ini kita tutup, saya dan semua yang hadir di sini tentu ingin mendengar tanggapan terakhir dari Faiz terkait semua tugas yang telah dijelaskan tadi. Silahkan Faiz menanggapi...".
" Saya rasa semua penjelasan tadi sudah cukup, mungkin tinggal petunjuk teknisnya saja dan hal itu tentu baru bisa ditentukan menjelang kebrangkatan saya nanti. Namun di sini saya hanya ingin menegaskan bahwa saya siap menjalankan tugas ini dengan segenap kemampuan yang Allah berikan. Semoga Allah SWT mengkaruniakan yang lebih baik dari yang kita targetkan ", ujarku menanggapi.
" Sudah cukup Faiz ?" tanya ustadz Zubair untuk memastikan lagi
" Sudah ustadz, sudah cukup ", jawabku.
" Kalau begitu mari kita akhiri pertemuan kita malam ini dengan hamdalah... dan kita tutup majelis ini dengan doa kaffaratul majlis.".
Lalu kami semua membubarkan diri kembali ke kediamannya masing-masing untuk beristirahat. Dalam perjalanan kembali ke asrama santri, perasaanku masih campur aduk antara senang dan khawatir. Senang karena para asatidz itu begitu gembira dengan apa yang telah kucapai selama belajar di sini, namun juga gundah karena khawatir aku tidak dapat memenuhi harapan mereka. Tapi... ah sudahlah. Yang penting aku pasti akan berusaha maksimal dengan sabar dan bersungguh-sungguh. Bukankah yang dinilai oleh Allah SWT adalah usahanya, bukan hasilnya.

Angin dan BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang