Pesan-pesan Terakhir Ayah

105 4 0
                                    

Ketika aku baru saja menyelesaikan shalat ashar dan berdo’a, tiba-tiba Nisa datang tergopoh-gopoh ke musholla. Aku segera keluar menyambutnya.
“ Ada apa Nisa ?”, tanyaku.
“ Ayah sudah sadar dan sedang berbicara dengan ibu. Sekarang ayah ingin bicara dengan abang segera”, jawab Nisa agak gugup.
Setelah mendengarnya, aku dengan setengah berlari bergegas menuju ruangan di mana ayah dirawat. Sesampainya di ruangan ayah dirawat, terlihat mata ibu yang sembab namun tersungging senyum bahagia melihat kedatanganku. Aku segera mendekat ke ayah. Kuperhatikan ayah yang menatapku dengan tersenyum, dan aku segera mengambil posisi di samping ayah dan sejajar dengan kepala ayah yang sedikit dimiringkan oleh perawat agar bisa bertatap muka dengan kami.
“ Faiz, senang sekali ayah masih bisa bertemu denganmu”, ujar ayah lirih. Aku tak kuasa membendung air mataku yang mengalir begitu saja.
“ Bagaimana keadaan ayah ?”, tanyaku.
“ Alhamdulillah, ayah sangat bersyukur masih bisa menatap wajah kalian. Semua ini in sya Alloh akan segera berlalu”, jawab ayah mencoba menenangkan perasaan kami.
“ Lihatlah putra kita ini dik. Ia telah tumbuh semakin dewasa dan semakin gagah. Dialah aset kita di akhirat kelak”, kata ayah kepada ibu.
“ Iya bang”, sahut ibu dengan suara bergetar.
“ Bisakah kalian tinggalkan aku berdua saja dengan Faiz ? Aku ingin berbicara berdua saja dengannya”, pinta ayah.
“ Baiklah bang. Ayo Nisa, kita keluar dulu. Kita juga belum shalat Ashar, mari kita shalat ashar dulu”. Ibu dan Nisa kemudian keluar dari ruangan itu dan diikuti juga oleh perawat yang sedari tadi mendampingi kami.
“ Mas Faiz, nanti kalau ada apa-apa saya ada di ruangan sana ya”, pamit perawat itu padaku. Aku menganggukkan kepala. Saetelah semuanya pergi, tinggallah kami berdua di ruangan itu.
“ Faiz... ayah rasasebentar lagi semua ini akan berakhir. Ayah hanya ingin berpesan kepadamu. Sengaja ayah ingin hanya kamu saja yang mendengar, khawatir menjadikan ibumu semakin sedih”, ucap ayah dengan suara lirih dan lemah.
“ Ayah jangan merasa begitu. Menurut dokter, jika terus stabil akan bisa segera diambi tindakan selanjutnya untuk memperbaiki organ-organ yang luka”, kataku untuk membesarkan hati ayah.
“ Begitu ya... tapi itu kan menurut dokter. Jika Alloh Ta’ala berkehendak lain, kita harus bisa menerimanya. Namun apapun itu, ayah tetap ingin berpesan kepadamu”, ujar ayah diiringi senyuman kecil. Aku mengangguk membenarkannya.
“ Saat ini Ayah merasa sangat bahagia dan sangat bersyukur kepada Alloh Ta’ala karena ayah merasa telah berhasil membesarkanmu dan membekalimu dengan ilmu yang bermanfaat. Cerita-cerita pengalamanmu dalam bertugas semakin membuktikan hal itu. Ayah hanya ingin berpesan, jika ayah harus segera kembali kepada Alloh Ta’ala, maka engkau harus bisa menggantikan peran ayah, dan ayah yakin kamu bisa lebih baik dari ayah. Jaga ibumu dan adikmu.
Jagalah ibumu dan muliakanlah ia. Dia wanita yang hebat dan ayah bangga bisa menjadi suaminya. Sampaikan ini padanya jika ia sedih mengingat ayah.
Jadikan adikmu muslimah yang berilmu, tangguh, dan berakhlaq mulia, sehingga bisa menjadi istri yang shalihah dan ibu yang baik bagi anak-anaknya. Ingatlah nak, di balik lelaki yang hebat ada dua wanita yang hebat, yaitu ibu dan kemudian istri kita. Adikmu akan menjadi istri yang berbakti kepada suaminya dan ibu yang mendidik anak-anaknya, maka bekalilah ia dengan ilmu dan nasehat-nasehat yang berguna. Dan jika engkau menikah nanti, hargailah istrimu dan didiklah ia dengan lemah lembut, karena wanita itu fitrahnya tidak suka kekerasan atau kekasaran.
Faiz... hal yang paling membanggakan dalam hidup ayah adalah dirimu. Maka jagalah agar engkau senantiasa dapa bermanfaat bagi dienul Islam dan kaum muslimin. Jagalah agar engkau senantiasa meningkatkan amal shalihmu. Karena dengan begitu ayah akan dapat menikmati jariyah dari setiap amal shalih yang kamu kerjakan”. Ayah menghentikan perkataannya dan menatapku yang terus terdiam meneteskan air mata.
“ Faiz, jangan menangis dan jangan bersedih. Saat ini ayah merasa sangat bahagia dan merupakan saat yang paling membahagiakan dalam hidup ayah. Ayah masih bisa melihatmu lagi dalam kondisi sehat dan dapat meninggalkan pesan buatmu. Alhamdulillah... demi Alloh, ayah merasa sangat bahagia dan lega sekarang”. Aku tersenyum mendengar ayah berkata begitu. Kulihat mata ayah memancarkan kebahagiaan, sama sekali bukan sorot mata orang yang sedang sakit. Sementara air mataku masih terus mengalir.
“ Faiz, panggilkan ibu dan adikmu”,pinta ayah.
“ Baik ayah”. Aku bangkit dan mengusap air mataku dengan tanganku, lalu tak lama kemudian aku   kembali lagi bersama ibu dan Nisa.
Ayah memandangi wajah kami semua lalu tersenyum dan berkata lirih kepada kami, “ Ayah sudah selesai bicara dengan Faiz dan sekarang ayah merasa sangat bahagia dan lega, serasa tidak ada beban lagi dalam hidupku. Sekarang ayah mau istirahat, kepalaku terasa berat lagi. Kalian berdoalah untuk kebaikan kita semua”. Ayah kembali tersenyum kepada kami, seakan ingin menunjukkan kepada kami bahwa ia baik-baik saja meski dalam kondisi seperti itu.
“ Baiklah ayah, kalau begitu kami mohon diri”, ujarku.
“ Iya bang, kami keluar dulu. Silahkan abang beristirahat”, sahut ibu. Aku lalu memanggil perawat agar menata kembali posisi ayah agar bisa beristirahat dengan nyaman. Kami kemudian pergi meninggalkan ayah.
Setelah kami semua selesai melaksanakan shalat maghrib, kami kembali menunggu ayah sadar atau bangun lagi. Ibu duduk membaca Al Qur’an di sebelah kananku dan Nisa duduk di samping kiriku bercerita tentang ujian akhirnya yang akan diumumkan hasilnya pekan depan. Aku mendengarkan ceritanya tetapi pikiranku tertuju pada kondisi ayah dan mengingat-ingat kata-katanya tadi. Kata-kata itu seakan-akan kata-kata terakhir ayah. Tapi ya Alloh...aku masih ingin melihat ayah lebih lama lagi.
Ketika kami dalam keadaan demikian, tiba-tiba seorang perawat datang memanggil kami semua, katanya dokter ingin bicara dengan kami. Pada saat kami masuk ke ruang ICU kami melihat dokter baru saja keluar dari ruangan ayah. Melihat kami datang ia kemudian menghentikan langkahnya dan menunggu kami mendekat.
“ Bagaimana kondisi ayah dok ?”, tanyaku setelah kami berhadap-hadapan.
Dokter itu tidak langsung menjawab. Ia menarik nafas panjang dan memegangi kedua pundakku, lalu barulah ia berkata dengan tenang.
“ Tadi ayah Anda sempat sdar kemudian melaksanakan shalat maghrib ibantu oleh perawat kami. sebenarnya sebelum shalat beliau berpesan agar setelah sahalat dipanggilkan keluarganya. Tetapi...”. Dokter itu menghentikan kata-katanya sebentar seperti ada sedikit keraguan.
“... Tetapi setelah selesai shalat tiba-tiba kondisinya menurun. Semua indikator kemampuan hidupnya menurun drastis. Kami telah berusaha sekuat tenaga untuk memulihkan kembali kondisinya atau setidak-tidaknya mencegahnya agar tidak bertambah parah. Dan akhirnya... Alloh SWT berkenan memanggilnya dengan tenang, seperti tidak merasakan sakit sama sekali”.
“ Innaa lillaahi wa innaa ilayhi raaji’un...”, serempak kami bergumam. Kami segera masuk ke ruangan ayah. Kami melihat perawat yang sedang melepasi peralatan medis yang menempel di tubuh ayah.
“ Bang Hakim...”, seru ibu dan badannya langsung lemas. Aku dengan reflek menahan tubuh ibu agar tidak jatuh lalu mendudukkannya di kursi, sementara Nisa menatap jasad ayah dengan tatapan kosong dan air matanya mengalir deras di pipinya.
Aku memegangi kedua tangan ibu, bersimpuh di hadapannya dan menatap dalam-dalam wajah sedih ibu. Aku mencoba menguatkan perasaannya.
“ Ibu... ayah telah menyelesaikan tugasnya dan sudah waktunya ayah pulang. Betapa pun kita menyayangi ayah, tapi Alloh Ta’ala tetap lebih sayang kepada ayah dari kita. Lagipula ayah meninggalkan kita dalam keadaan bahagia sebagaimana kata ayah tadi sore. Lihatlah wajah ayah yang damai dengan senyuman di bibirnya dan menurut dokter seperti tidak merasakan sakit. In sya Alloh ini adalah pertanda husnul khatimah”, ujarku menenangkan ibu. Akumenahan isak tangisku tetapi tidak mampu menahan air mataku. Aku menjatuhkan kepalaku di  pangkuan ibu, dan ibu kemudian mengelus kepalaku.
“ Sebenarnya ibu sudah mengira akan berakhir begini namun tidak secepat ini. Kamu benar nak, setidaknya ayahmu pergi dengan perasaan bahagia melihatmu tumbuh dewasa melebihi yangdia harapkan”, ucap ibu dengan wajah yang mulai tenang. Aku kemudian bangkit berdiri mendekat ke jasad ayah yang sudah selesai dirapikan oleh perawat. Aku menatap lekat-lekat wajah ayah yang seakan tidur dengan sangat tenang. Sementara Nisa yang sedari tadi berdiri terpaku menatap jasad ayah dan terus menangis tanpa bersuara sekarang memelukku dan dan menyandarkan kepalanya di dadaku.
“ Abang, aku sangat sedih”, gumamnya lirih.
“ Alloh Ta’ala lebih sayang kepada ayah daripada kita dik, sudah waktunya ayah pulang. Dan Alloh pasti sudah menyiapkan kita untuk bisa melanjutkan hidup tanpa ayah kita. Masih ada abang dan ibu. Kamu tidak perlu khawatir, in sya Alloh kita pasti bisa melewati ini semua”, ujarku sambil mengusap kepalanya.
“ Ibu, sebaiknya ibu dan Nisa segera pulang mengabari kerabat dan menyiapkan pemakaman ayah, biar Faiz yang mengurus administrasi dan kepulangannya. Mudah-mudahan bisa segera selesai”, ujarku kepada ibu.
“ Baiklah nak, ibu serahkan kepadamu. Sekarang kamulah kepala keluarga kita. Ayo Nisa kita pulang dulu”. Nisa dengan berat hati mengikuti langkah ibu keluar. Tak lama kemudian mereka berdua pun meninggalkan rumah sakit.
Aku kemudain menuju ke ruangan perawat menanyakan perihal administrasi dan tagihannya. Mereka kemudian memberikan rincian tagihannya kepadaku. Aku terpana sejenak melihat besaran tagihannya yang hampir 10 juta rupiah. Mereka juga menanyakan apakah mau sekalian dimandikan dan dikafani di sini karena rumah sakit juga menyediakan layanan ini. Aku masih terpaku dengan angka tagihan yang hampir 10 juta itu. Tapi salah satu perawat buru-buru memberitahuku bahwa semua tagihan akan dibayar oleh perusahaan truk yang menabrak ayahku, dan pihak rumah sakit sudah menghubunginya. Sebentar lagi utusan perusahaan akan datang untuk menyelesaikan tagihannya. Syukurlah kalau begitu. Bukankah ibu juga sudah memberitahuku siang tadi ? Aku benar-benar lupa.
Akhirnya karena tagihan biaya perawatan sudah ada yang menanggung, sambil menunggu pihak perusahaan truk itu datang, aku meminta agar ayah sekalian dimandikan dan dikafani di rumah sakit, tapi aku ingin ikut terlibat memandikan dan mengkafaninya. Aku hanya perlu menambah Rp. 100.000 untuk urusan ini.
Aku meminta petugas bagian pemulasaraan jenazah agar menungguku shalat Isya dulu baru memandikan ayah karena aku ingin ikut memandikan ayah. Dan sekira jam 8 malam jenazah ayah sudah selesai dimandikan dan dikafani.

Angin dan BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang