Isak Tangis Seorang Gadis yang Menghujam Kalbu

212 8 0
                                    


Ketika tiba waktunya aku mengantarkan Nisa kembali ke pondok, tempat jualan kami yang baru sudah berjalan 2 minggu dan omsetnya telah mencapai 700 roti per hari. Para karyawan juga telah terbiasa dengan pekerjaannya masing-masing, jadi aku sudah tenang ketika meninggalkan mereka. Aku menitipkan motorku kepada salah satu karyawan di tempat jualan yang baru dan memintanya untuk sementara dia yang mengambil roti siap goreng dari tempat Bang Fadhil.

Sesuai rencana aku mengajak serta ibu dalam perjalanan kali ini. Dulu selama aku sekolah di pesantren, ibu belum pernah sekalipun ikut ayah menjengukku atau mengantarku. Jadi inilah pertama kalinya ibu akan melihat pesantrenku. Dalam rombonganku ini ada juga Pak Yusuf dan Pak Mansyur yang nantinya akan akan ikut Pak Burhan ke Leihitu untuk memberikan pelatihan. Kami dipinjami mobil Pak Syafi'i berikut sopirnya. Aku duduk di bangku paling belakang bersama ibu dan Nisa, sementara Pak Yusuf dan Pak Manshur duduk di bangku tengah. Sepanjang perjalanan selain mengobrol dengan ibu dan Nisa, aku juga terkadang terlibat diskusi yang mengasyikkan dengan Pak Yusuf dan Pak Manshur.

Setelah menempuh perjalanan selama ± 14 jam termasuk istirahat, alhamdulillah...akhirnya jam 9 pagi kami sampai di pesantren Darul Ihsan dengan selamat. Ketika memasuki pelataran pondok kulihat mobil yang biasa dipakai Pak Burhan sudah terparkir di sudut halaman. Aku lalu mengantarkan ibu dan Nisa ke guest house wanita dan setelahnya aku membawa Pak Yusuf dan Pak Manshur ke kantor sekolah. Di sana kami disambut dengan ramah oleh ustadz Zain yang sedang piket hari itu. Ustadz Zain sangat antusias begitu mengetahui kalau dua orang yang bersamaku adalah orang yang akan memberikan pelatihan tentang pengelolaan koperasi syariah di Leihitu. Beliau lalu menyuruh salah satu santri yang ada di situ untuk memberitahu ustadz Azhari kalau kedatangan tamu istimewa. Tak berapa lama kemudian ustadz Azhari datang bersama Pak Burhan. Rupanya Pak Burhan sedang berada di tempat ustadz Azhari. Kami langsung terlibat pembicaraan yang mengasyikkan seputar rencana proyek koperasi sayariah di daerah Leihitu. Kami terus berbincang sampai menjelang Dhuhur.

Setelah selesai shalat Dhuhur dan makan siang sederhana di guest house putra, sesuai perintah ustadz Azhari aku mengantarkan kedua tamu itu ke tempat ustadz Taufiq untuk beristirahat selama menunggu keberangkatan ke Leihitu. Sementara kali ini aku beristirahat di guest house agar dekat dengan ibu jika ibu memerlukanku. Malam hari nanti selepas Isya Pak Burhan mengajakku beserta ibu dan Nisa untuk makan malam bersama di kota. Pak Burhan juga akan mengajak semua keluarganya termasuk Furqan dan Fatimah. Siang itu aku tidur nyenyak sekali sampai terdengar adzan Ashar.

Setelah shalat Ashar aku menemui ibu dan Nisa untuk memberitahukan perihal ajakan Pak Burhan itu dan menanyakan bagaimana kesan ibu melihat pesantren yang telah membesarkanku ini. Kami bertiga berbincang-bincang santai di ruang kunjungan putri yang kebetulan sedang sepi. Ibu juga bercerita kalau dia sudah bertemu dengan Bu Farida istrinya Pak Burhan. Perbincangan kami baru berakhir ketika ibu dan Nisa pamit hendak mandi sore itu.

Malam harinya selepas shalat Isya, sesuai rencana aku, ibu, Nisa, dan Pak Burhan sekeluarga berangkat ke kota menggunakan mobil yang dibawa Pak Burhan. Seperti sebelum-sebelumnya aku yang bertugas mengemudikan mobil. Ibu, Nisa dan Bu Farida duduk di bangku tengah, lalu Furqan dan kakaknya duduk di bangku belakang, dan Pak Burhan duduk di sampingku. Ketika mulai menapaki jalan besar, Pak Burhan mulai membuka obrolan santai kami.

" Bu Salamah, bagaimana perasaan ibu bisa berjalan-jalan dengan putra ibu sampai di tempat ini ?", tanya Pak Burhan sambil menoleh ke arah ibu sebentar lalu memandang ke depan lagi.

" Antara bahagia, bangga, sekaligus terharu. Seumur-umur saya baru sekali ini bepergian sampai sejauh ini dan say baru bisa melakukannya bersama anak saya. Apalagi kemarin ketika melihat dia mengemudikan mobil bagus yang dipinjami oleh orang yang belum lama dikenalnya tapi begitu mempercayainya. Hal ini membuktikan bahwa dia pasti memiliki keistimewaan yang membuat orang lain begitu simpati padanya, dan inilah yang membuat saya bangga. Saya juga terharu teringat dengan kata-kata ayahnya yang sangat yakin suatu saat Faiz akan menjadi orang hebat jauh melampaui harapan kami. Dan sejauh ini keyakinan ayahnya itu terbukti benar", tutur ibu menjawab pertanyaan Pak Burhan. Aku yang mendengar perkataan ibu barusan jadi teringat ayah, wajah bahagia di saat-saat terkhirny, dan beberapa ucapan ayah yang selalu kuingat. Jika tidak ingat aku sedang mengemudi, mungkin air mataku akan menetes keluar. Kami terus berbincang santai dan bercanda ria sepanjang perjalanan. Kebanyakan topiknya adalah cerita tentang diriku ketika bertugas di Leihitu, dan sesekali Pak Burhan dan istrinya juga menanyai Nisa.

Angin dan BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang