Bidadari Leihitu di Antara Harapan dan Kekhawatiran

567 11 0
                                    


Setelah shalat shubuh dan dzikir pagi aku dan Pak Burhan berjalan bersama menuju kediaman ustadz Azhari untuk memenuhi undangan minum teh bersama sambil membicarakan perkembangan terakhir kasus Bom Bali dan dampaknya terhadap kami semua. Sambil berjalan menuju ke tempat ustadz Azhari, kami membicarakan tentang apa yang kusampaikan kepada Fatimah semalam.

" Faiz, tadi malam sebelum Fatimah kembali ke asramanya, aku sempat menanyakan padanya bagaimana perasaannya sekarang dan apa yang telah kamu sampaikan kepadanya. Dia sudah merasa tenang dan sangat bahagia ketika kamu mau menerima hadiah darinya. Dia sudah cukup lega telah mengutarakan perasaannya padamu dan dia juga menceritakan apa yang telah kamu sampaikan padanya. Ternyata kamu bisa juga menenangkan perasaan seorang gadis yang sedang dimabuk cinta...", kata Pak Burhan sambil menepuk-nepuk pundakku diiringi derai tawanya. Aku hanya tersenyum mendengarnya.

" Sebenarnya saya sangat terkejut dan tidak menyangka jika sampai seperti itu perasaannya kepada saya", sahutku.

" Aku juga sebenarnya sempat khawatir kamu akan kebingungan menyikapinya. Tapi syukurlah kamu bisa cukup bijak dalam menyikapinya. Kalau saja tidak khawatir akan mengganggu belajarnya Fatimah dan mengganggu dalam melaksanakan tugas-tugasmu, ingin rasanya kunikahkan saja kalian berdua agar segera halal dalam berhubungan. Namun sekarang semua nampaknya sudah terkendali, tidak ada masalah lagi dengan Fatimah. Aku harap setelah Fatimah menyelesaikan kelas terakhirnya, kamu juga telah siap untuk menikahinya".

Aku sangat terkejut mendengarnya dan kemudian menghentikan langkahku. Kutatap lekat-lekat wajah Pak Burhan seakan tak percaya dengan apa yang barusan kudengar.

" Antum serius Pak ?", tayaku masih belum yakin.

"Aku serius Faiz. Dan bukankah itu lebih baik bagi kalian berdua ?", jawabnya balik bertanya.

" Tapi pak, bukannya dia harus bertugas dulu selama setahun sebagaimana yang lain ?", tukasku.

" Aku akan menyampaikan kepada ustadz Azhari bahwa tugas yang tepat bagi Fatimah adalah mendampingimu. Dan aku sangat yakin dia akan menyetujuinya", ujar Pak Burhan tegas.

Aku terdiam untuk beberapa saat lamanya mencoba mencerna apa yang barusan dikatakan Pak Burhan lebih dalam. Mataku tertunduk menatap tanah.

Tiba-tiba Pak Burhan memegang kedua pundakku seraya berkata, " Faiz, pikirkanlah kebaikan-kebaikan yang akan kita peroleh dari pernikahan kalian berdua. Akan ada banyak sekali kebaikan setelahnya. Maka dari itu mulai dari sekarang persiapkanlah dirimu agar setahun lagi kamu sudah siap menikahi putriku. Dan yakinlah Faiz, setelah kau menikah nanti kamu akan semakin fokus dalam bekerja dan melakukan tugas-tugasmu. Karena istri yang shalihah akan semakin menyempurnakan seorang suami".

" Baiklah. In sya Alloh saya akan berusaha agar bisa secepatnya menikahi putri antum. Karena dengan begitu ikatan antara saya dan antum akan semakin langgeng dan juga ikatan antara saya dan masyarakat Leihitu akan semakin kuat", kataku mantap.

" Nah begitu Faiz, yang semangat. Berarti mulai sekarang kamu adalah calon menantuku dan tidak ada seorang pun yang bisa melamar Fatimah", pungkasnya seraya memelukku erat. Dan setelah itu kami bergegas melanjutkan perjalanan kami ke kediaman ustadz Azhari.

Seampainya di kediaman ustadz Azhari rupanya beliau sudah menunggu-nunggu kami dan telah tersedia sepiring pisang goreng dan satu teko teh hangat di atas meja ruang tamu.

"Pak Burhan, antum kelihatan bahagia sekali pagi ini. Pasti ada yang membuat bahagia ini", kata ustadz Azhari setelah mempersilahkan kami duduk.

" Alhamdulillah, banyak hal yang membahagiakan saya. Salah satunya adalah karena melihat apa yang telah dicapai Faiz sejauh ini", ujar Pak Burhan menanggapi.

Angin dan BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang