Pertanyaan yang Mengejutkan

99 3 0
                                    


Beberapa hari kemudian aku pergi ke pesantren Darul Ihsan untuk menjemput Nisa. Kali ini aku tidak diamanahi membawa Fahmi, karena dia pulang ikut rombongan santri asal Jakarta dan sekitarnya yang pulang menyewa mobil. Seperti biasanya, sebelum pulang para santri bersama wali santri yang datang untuk menjemput santri mengikuti khutbah wada' dulu baru siang harinya semuanya membubarkan diri pulang ke daerah asalnya masing-masing. Aku datang sehari sebelum khutbah wada' karena aku ingin melaporkan hasil kegiatanku selama ini kepada ustadz Azhari dan juga menemani Pak Burhan jalan-jalan ke kota.

Ketika berjalan-jalan ke kota bersama Pak Burhan, beliau bercerita bahwa koperasinya akan segera mulai dijalankan. Sekarang yang dibutuhkan adalah pelatihan bagi SDM yang akan manjalankan koperasi itu. Beliau memintaku untuk segera mencarikan instruktur yang siap untuk memberikan pelatihan di sana. Aku kemudian menceritakan tentang Pak Syafi'i dan hubunganku dengan beliau sejauh ini. Masalah mencari tim ahli untuk pelatihan itu in sya Alloh bukan perkara yang sulit bagi Pak Syafi'i. Pak Burhan sangat senang mendengarnya.

" Mungkin inilah jawaban dari do'a-doa kita dan balasan dari kesungguhan dan keihklasan kita Faiz. Kamu selalu dipertemukan dengan orang-orang yang kamu butuhkan", ujar Pak Burhan mengomentari ceritaku tentang Pak Syafi'i.

Setelah selesai shalat Dhuhur selepas acara khutbah wada' da setelah beres semua persiapan Nisa, aku lalu berpamitan kepada Ustadz Azhari dan beberapa ustadz yang ada di depan guest house melepas keberangkatan para santri dan wali santri. Tak lupa aku memberikan nomor telpon rumah dan nomor HP-ku kepada ustadz Azhari. Dan terakhir aku berpamitan kepada Pak Burhan yang sedang sibuk menata barang-barang kedua anaknya ke dalam mobil. Aku juga menyampaikan bahwa pada waktu mengantar Nisa nanti aku berencana mengajak serta ibu. Beliau sangat antusias mendengarnya dan menyampaikan bahwa mungkin ia juga akan mengajak serta istrinya biar sekalian berwisata. Setelah itu rombonganku segera naik ke mobil pondok yang sebentar kemudian melaju perlahan menyusuri jalan desa menuju jalan besar.

Ketika dalam perjalanan naik bis, di antara obrolanku dengan Nisa dia menyampaikan sebuah pertanyaan yang mengejutkanku.

" Abang, Kak Fatimah memintaku untuk menanyakan bagaimana perasaan abang ketika kejadian di meja makan di rumahnya waktu itu ? Emang ada kejadian apaan sih bang?", tanya Nisa dengan nada penasaran.

" Hah...? Dia menanyakan hal itu ?", tanyaku balik sambil menatapnya setengah tidak percaya.

" Iya bang. Dia kelihatannya sangat ingin tahu. Terus kadang-kadang aku merasa agak aneh ketika dia nanya-nanya tentang bagaimana keseharian abang kalau di rumah, bagaimana abang memperlakukanku, dan lain sebagainya. Pokoknya kayaknya dia ingin tahu banget tentang diri abang", tutur Nisa.

Aku tidak segera menjawab pertanyaannya. Kembali terlintas di pikiranku seraut wajah yang tersenyum tersipu. Seraut wajah yang selalu terlintas di pikiranku setiap kali aku meminum kopi rarobang atau teringat dengan hal yang terkait Leihitu. Sampai sekarang pun aku tak tahu mengapa bisa begitu. Aku lalu menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.

" Sampaikan padanya bahwa ada perasaan aneh yang sulit diungkapkan dengan kata yang berkecamuk di hati abang pada saat itu. Tapi abang memendamnya dalam-dalam dengan banyak beraktivitas sehingga perasaan itu tidak mempengaruhi pikiran abang. Katakan juga padanya jika dia merasakan hal yang sama maka sebaiknya dia pun harus memendamnya dalam-dalam. Jangan sampai perasaan itu berkembang sampai mengganggu belajarnya. Nah itu saja jawaban abang. Dan kamu jangan menceritakan hal ini kepada ibu ya, abang masih malu jika ibu mengetahuinya", ujarku sambil memandang penuh harap kepada adikku.

" Beres bang, aku kan adik yang baik", sahutnya dengan gaya yang agak centil.

" Oh ya, liburan kali ini abang tidak bisa mengajakmu jalan-jalan yang agak jauh karena abang akan sibuk mempersiapkan tempat produksi dan tempat jualan yang baru", tambahku.

" Tidak apa-apa bang. Lagipula sekarang abang bukan hanya sebagai kakak, tapi juga menggantikan peran ayah dalam keluarga kita. Aku bisa memaklumi kondisi abang", ujarnya seraya menyandarkan kepalanya di bahuku dan kedua tangannya memegangi lenganku. Tak lama kemudian ia pun tertidur di bahuku.

Sesampainya di rumah, aku mengecek pekerjaan Bang Fadhil dan istrinya yang sudah tiga hari ini belajar membuat roti dengan segala tahapan kerjanya. Dari hasil kerjanya aku menyimpulkan hasilnya sudah mendekati sempurna dan sudah cukup untuk mulai membuatnya sendiri. Nanti juga seiring perjalanan akan semakin terasah ketrampilan membuat rotinya.

Lalu Bang Fadhil menyampaiakn usul bagaimana jika dia dan keluarganya juga tinggal di rumah yang kami jadikan tempat produksi roti. Alasannya agar bisa lebih dekat dengan anaknya karena bisa diawasi sambil bekerja. Selain itu istrinya juga sudah tidak perlu bekerja di luar rumah lagi. Sebagai kompensasinya dia bersedia dipotong gaji sebagai uang sewa rumah.

Aku tertawa kecil mendengarnya, dan kukatakan padanya, " Abang boleh tinggal di situ dan saya tidak akan potong gaji abang, karena rumah itu sudah masuk dalam biaya produksi. Asal abang betah dan nyaman di situ, saya juga ikut senang bang".

Bang Fadhil senang sekali mendengarnya. Aku merasa itu justru semakin baik dan ekonomis bagi Bang Fadhil tanpa merugikanku sama sekali. Toh rumah itu cukup besar dan Bang Fadhil baru memiliki anak satu yang masih kecil.

Pada hari Jum'at yang berikutnya kami semua sibuk dengan urusan pindahan dan persiapan pembukaan cabang tempat jualan yang baru. Bang Fadhil mengurusi pindahan peralatan produksi roti dan perabot rumah tangganya ke rumah produksi yang baru. Sementara aku menyiapkan tempat jualan yang baru di daerah Pasar Minggu. Alhamdulillah kami dapat tempat jualan yang bisa disewa per tiga bulan dibayar dimuka dan rumah produksi yang bisa disewa per enam bulan. Lumayan mengurangi biaya yang harus kukeluarkan. Untuk keperluan buka cabang jualan yang baru ini aku hampir menghabiskan uang tabungan hasil usaha, tinggal menyisakan dana cadangan darurat dan biaya sekolah Nisa untuk 6 bulan ke depan.

Dua hari kemudian... Bismillah, kami mulai buka dua tempat jualan yang berbeda. Untuk sementara aku membantu mengantarkan roti yang siap goreng di sore hari ke tempat jualan yang baru. Hari-hari pertama aku juga masih menunggui karyawan baru yang di Pasar Minggu untuk memastikan mereka telah cukup terampil bekerja dan melayani pembeli.

Setelah seminggu berjalan, alhamdulillah di tempat yang baru omsetnya telah menembus 500 roti per hari, sehingga omset totalnya menjadi 1500 roti per hari. Dan sejak kami buka di dua tempat kami menaikkan harga jual roti menjadi Rp. 2.000/roti namun dengan ukuran yang sedikit lebih besar. Hal ini perlu dilakukan untuk menyesuaikan ddengan harga bahan baku yang sudah lama naik dan untuk menutup biaya operasional tambahan seperti gaji dan uang transport karyawan yang sekarang berjumlah 8 orang.

Selama seminggu itu pula aku menemui dua orang ahli ekonomi syariah yang direkomendasikan oleh Pak Syafi'i untuk kutawari proyek pelatihan pengurus koperasi syariah di Leihitu. Aku ketika menemui mereka berdua selalu didampingi oleh Pak Syafi'i. Kedua orang itu sangat tertarik dengan proyek koperasi yang kami gagas dan akhirnya sepakat untuk memberikan pelatihan tata cara pengelolaan koperasi syariah dengan sukarela. Mereka hanya minta disiapkan tiket dan akomodasi selama pelatihan saja. Aku kemdian segera memberitahukan hal ini kepada Pak Burhan agar segera disiapkan segala sesuatunya dan jika sudah siap harap segera memberitahukan jadwalnya.

Akhirnya Pak Burhan menetapkan bahwa para instruktur pelatihan itu akan datang ke Leihitu bersama dia dan keluarganya sewaktu balik dari mengantar kedua anaknya. Jadi nanti rencananya Pak Burhan akan kembali ke Leihitu dengan membawa para instruktur pelatihan dan seorang alumni Darul Ihsan yang akan bertugas di Leihitu membantu Pak Yunus di masjid.

Aku kemudian menyampaikan hal ini kepada Pak Syafi'i via telepon dan tak lama kemudian beliau menelepon balik memberitahukan kalau nanti kedua instruktur itu akan berangkat ke pesantren bersamaku dan bertemu Pak Burhan di sana. Kami akan pergi dengan menggunakan mobil Pak Syafi'i dan akan diantarkan oleh sopirnya. Mendengar hal itu aku hanya bisa mengucapkan banyak terimaskasih karena dapat tumpangan gratis.

Angin dan BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang