Energi dari Masa Lalu

111 5 0
                                    

Energi dari Masa Lalu
Pada malam berikutnya Pak Burhan memanggilku untuk minum kopi rarobang ditemani sepiring pisang asar. Beliau menanyakan apakah aku sudah membuat presentasinya dan kujawab masih dalam pikiran, belum kutuliskan.
“ Malam ini aku ingin menceritakan sebuah kisah di masa lalu yang kuharap cerita ini nanti bisa menambah semangatmu. Idemu tentang menghidupkan layanan penyimpanan hasil panen cengkeh dan pala dan  ide untuk memangkas alur perdagangan mengingatkanku akan apa yang dilakukan oleh kakekku di masa lalu”, ujar Pak Burhan sambil tersenyum padaku.
“ Saya siap mendengarkan sampai selesai, apalagi ditemani kopi rarobang dan pisang asar. Pasti mengasyikkan”, sahutku disambut tawa kecil Pak Burhan.
“ Cerita ini nanti juga akan menjelaskan sekilas sejarah keluargaku. Baiklah, kita mulai ceritanya...”, ujar Pak Burhan sambil menarik nafas panjang sebelummemulai ceritanya.
“ Dahulu kakekku dari jalur ibuku merupakan seorang pedagang rempah-rempah yang mewarisi usaha perdagangan ayahnya (kakek buyutku) yang asli orang Arab. Jadi aku ini keturunan Arab dari jalur ibu, sedangkan ayahku orang Maluku asli. Kalau umminya anak-anak itu masih keturunan Portugis-Maluku. Hehehe..”, Pak Burhan berhenti tersenyum sebentar lantas melanjutkan lagi.
“ Dahulu kakek buyutku datang ke Jazirah ini untuk mencoba peruntungan berdagang rempah-rempah dan kayu gaharu. Beliau mempunyai relasi atau hubungan dagang dengan para saudagar besar dari Arab dan India yang memiliki armada kapal sendiri. Beliau tinggal menetap di sini untuk menjadi semacam agen yang mengumpulkan rempah-rempah dan kayu gaharu lalu disimpan dulu sampai armada kapal dagang dari India dan Arab datang mengambil. Hal ini dilakukan demi mendapatkan harga yang lebih murah daripada jika harus membeli melalui orang-orang Eropa di pasar internasional yang asal barangnya dari sini. Pemerintahan Hindia Belanda saat itu agak bersikap lunak terhadap pedagang-pedagang Arab selama tidak menyaingi mereka untuk pasar Eropa dan bersedia membayar pajak serta tunduk pada aturan mereka.
Singkat cerita, dalam waktu yang tidak berapa lama kakek buyutku telah menjadi orang yang kaya raya dari hasil menjadi agen pengumpul rempah-rempah. Lama kelamaan para pemilik kebun cengkeh lebih suka menjual hasil panennya kepada kakek buyutku karena ia membeli dengan harga yang lebih tinggi dari orang-orang Belanda. Ditambah lagi sentimen agama membuat para pemilik cengkeh yang hampir semuanya muslim  itu semakin loyal menjual cengkehnya kepada kakek buyutku yang sama-sama muslim. Hal ini akhirnya disadari Belanda hingga mereka harus beberapa kali menaikkan pajaknya untuk menekan kakek buyutku. Meski beberapa kali Belanda menaikkan pajaknya, tetap saja dengan kecerdikannya kakek buyutku masih bisa mendapat untung meski semakin kecil. Tetapi dia masih selalu berusaha membeli dari warga di atas harga yang ditawarkan Belanda.
Setelah kakek buyutku meninggal, ia mewariskan usaha perdagangan itu kepada anak-anaknya. Di antara para saudaranya, kakekku adalah yang paling cakap dan pandai dalam berdagang selain juga sebagai anak tertua, sehingga oleh saudara-saudaranya ia diangkat menjadi semacam pimpinan perusahaan keluarga. Dalam era kepemimpinan kakekku perusahaan dagang warisan kakek buyutku mendapat tekanan yang semakin keras, sampai diancam akan ditutup gudangnya dan dilarang membeli rempah-rempah langsung ke warga, harus melalui pihak Belanda. Jika tidak maka tidak boleh berdagang rempah lagi di sini. Akhirnya kakek dan saudara-saudaranya terpaksa membeli rempah dari Belanda dengan harga yang sudah tinggi. Hal ini tentu saja membuat keuntungan semakin kecil dan warga yang biasa menjual hasil panennya kepada kakek menjadi sangat sedih karena harga jualnya jadi rendah seperti sebelum kedatangan kakek buyutku.
Hingga pada suatu ketika kakekku menemukan sebuah ide yang brilian tapi beresiko. Untuk menyiasati agar tidak  tidak dipungut pajak oleh Belanda dan langsung bisa menjual kepada para saudagar dari Arab dan India, kakek membuat persekongkolan dengan para saudagar pemilik armada kapal, warga yang tinggal di pesisir, dan warga pemilik rempah-rempah.
Pertama-tama, kakek melobi warga masyarakat yang tinggal di pesisir untuk menyewakan sebagian ruang rumahnya untuk dijadikan tempat penampungan sementara cengkeh atau pala yang telah dibelinya sampai tiba waktunya kapal dagang datang mengambil. Lalu kepada para pemilik kebun cengkeh/pala kakek meminta mereka agar menjual sebagian kepada Belanda dan menjual sebagian yang lain kepada kakek dan mengantarkannya ke rumah warga di pesisir yang telah ditentukan oleh kakek. Kemudian kepada para saudagar yang membawa armada kapal kakek meminta agar kapal mereka bersandar di tengah laut jauh dari pantai. Nantinya rempah-rempah yang disimpan di rumah-rumah warga itu akan diantarkan dengan perahu-perahu nelayan milik warga pesisir di malam hari ke kapal dagang yang bersandar di tengah laut tadi. Dengan cara ini kakek bisa membeli rempah-rempah warga jauh lebih tinggi dari Belanda, dan karena banyak orang yang diuntungkan dengan adanya praktek ini, semakin hari semakin banyak orang yang terlibat praktek ini, dan mereka semua bersedia berpayah-payah mengikuti aturan main kakek karena mereka merasa jauh lebih beruntung. Semakin hari masyarakat sini semakin pandai menyiasati cara penyimpanan dan pengiriman hasil panen mereka. Untuk menutupi adanya praktek ini, kakek masih membeli sebagian dagangannya dari Belanda dan setelah memuat dagangan di tengah laut kapal dagang langganan kakek juga masih bersandar menghambil dagangan ke pelabuhan seperti biasanya. Demikian pula dengan para petani, mereka juga masih menjual sebagian hasil panennya kepada Belanda.
Praktek seperti ini berjalan selama beberapa tahun dan kakek menjadi sosok yang sangat dicintai masyarakat sekaligus menjadi orang kaya yang memiliki tanah yang luas tetapi rumahnya sederhana. Kakek memang tidak mau terlihat bahwa dia orang kaya, sehingga rumah pun dia buat sederhana. Setelah sempat berjaya bersama masyarakat berkat adanya praktek itu, suatu ketika praktek itu akhirnya tercium oleh pihak Belanda. Ketika Belanda mengetahui adanya praktek ini mereka marah besar. Mereka lantas menangkap kakek dan semua saudaranya dan kemudian mengasingkan mereka beserta keluarganya ke Surabaya dan Banjarmasin. Karena ibuku adalah anak tertua kakek dan sudah menikah dengan ayah yang orang asli Ambon, dia satu-satunya anak kakek yang tertinggal di sini. Ibu mendapat warisan tanah perkebunan yang di atas bukit itu dan tanah pekarangan ini. Kemudian karena aku adalah anak satu-satunya ketika ditinggal mati oleh ayah dan ibu tidak mau menikah lagi sampai akhir hayatnya, maka ketika ibu wafat semua warisan ibu menjadi milikku.
Kembali lagi ke cerita tentang kakek. Meskipun Belanda menganggap apa yang dilakukan oleh kakek adalah ilegal dan merugikan mereka, tetapi masyarakat sini menganggap kakek adalah pahlawan yang berhasil meningkatkan kesejahteraan mereka. Setelah beberapa tahun diasingkan di Surabaya, kakek dan adik-adik ibuku berhasil memulai usaha perdagangan yang baru dan kemudian semua tanah kakek yang bukan bagiannya ibuku dijual untuk membeli tanah dan membangun rumah di Surabaya. Itulah sebabnya aku memiliki banyak kerabat di Surabaya”.
Pak Burhan berhenti untuk meminum kopinya dan makan sepotong pisang asar. Dan sepertinya ceritanya belum selesai meski sudah cukup panjang. Sambil menunggu Pak Burhan melanjutkan ceritanya, aku mencoba mencerna dan mengingati-ingat alur certia dari cerita yang barusan disampaikan Pak Burhan. Tak lama kemudain Pak Burhan pun melanjutkan ceritanya.
“ Selanjutnya sekalian aku ceritakan sekilas sejarah diriku dan keluargaku untuk melengkapi kisah dari zaman kakek buyutku tadi, dan juga melengkapi kisahku yang sebagian pernah kuceritakan padamu. Baiklah...kulanjutkan lagi.
Ayahku meninggal ketika aku baru berusia 10 tahun dan sejak saat itu ibu hanya tinggal bersamaku ditemani seorang pelayan yang sangat setia. Ketika aku lulus Sekolah Dasar ibu mengirimku ke pesantren PERSIS Bangil Pasuruan, di mana kakek termasuk donatur utama di pesantren itu. Enam tahun kemudian aku lulus dan kembali ke kampung halaman untuk berdakwah dan bekerja membantu ibu. Ikut bersamaku dua orang teman seangkatan dari pesantren untuk tugas berdakwah di kampung ini yang salah satunya adalah pak Yusuf ketua ta’mir masjid kita itu. Teman-teman yang sedang bertugas berdakwah itu dipekerjakan oleh ibu membantu kami mengurus kebun cengkeh di sela-sela tugasnya mengajar masyarakat. Semua kebutuhan mereka dicukupi oleh ibu dan bahkan memperoleh upah dari bekerja di kebun kami. Penugasan da’i ke kampung ini dari pesantren PERSIS berlangsung sampai beberapa periode. Di antara para da’i yang pernah bertugas di sini satu-satunya yang betah dan menikah dengan orang sini adalah Pak Yusuf. Dia betah tinggal di sini dan bertekad akan mengabdikan dirinya sampai akhir hayatnya. Itulah mengapa dalam masalah fiqh yang dianut masyarakat sini semua nyaris sama dengan yang diajarkan di pesantrenmu.
Jadi Faiz, sejak zaman ibuku keluargaku sudah biasa mengurus da’i. Aku saja yang justru baru belakangan ini mengurus da’i dan mujahidin. Sekarang kamu juga sudah bisa kan memperkirakan bagaimana aku bisa punya link jalur ke Afghanistan dan jaringan kawan-kawan di Jawa ?
Satu lagi yang perlu kuceritakan yaitu mengapa anak pertamaku baru seusia Fatimah padahal usiaku sudah tua. Sebenarnya sebelum Fatimah aku sudah mempunyai dua orang anak, namun yang pertama istriku keguguran, lalu anak yang kedua laki-laki meninggal ketika baru berusia 2 tahun. Seandainya dia hidup dia mungkin seumuran denganmu. Makanya, setiap kali kulihat kamu pulang dari bermain bola di lapangan bersama Furqan aku seperti melihatnya hidup di dalam dirimu. Kamu dan Furqan seperti kakak adik dan entah mengapa Faiz, aku senang sekali melihatnya.
Nah, sekarang kamu sudah tahu sejarah keluargaku sampai pada kakek buyutku. Apa yang kamu rasakan sekarang setelah mendengar ceritaku itu ? Apa yang dapat kau simpulkan dari ceritaku tadi ? Apakah ada yang menginspirasimu ?”. Pak Burhan mengakhiri ceritanya dengan mengajukan beberapa pertanyaan sekaligus.  Ia lalu meminum sisa kopi rarobang yang masih tersisa hingga habis, dan aku pun melakukan hal yang sama sebelum menjawab pertanyaannya barusan.
“ Secara tersirat saya menangkap kesan bahwa antum ingin mengulang sejarah di keluarga antum  yang pernah sukses memajukan kaum muslimin di daerah ini baik di bidang ekonomi di era kakek antum dan di bidang dakwah di era ibu antum. Dan antum berharap bisa melakukan keduanya bersama saya. Apakah benar demikian ?”, jawabku sekaligus untuk memastikan apakah yang kupikirkan itu benar.
“ Tepat sekali pikiran dan perasaanmu. Yah... seperti itulah yang kuinginkan. Tapi mengingat kamu juga mengemban tugas dari syaikh, sepertinya itu akan sulit terwujud”. Pak Burhan lalu terdiam, matanya menerawang menembus kegelapan malam. Aku memahami perasaannya. Ia tidak tahu apa detail tugasku sehingga ia berkata demikian. Padahal aku merasa tugas dari syaikh itu masih bisa kulakukan sambil bekerja mewujudkan cita-citaku sendiri, sedangkan cita-citaku pun sejalan dengan yang ia inginkan. Aku harus membesarkan hatinya.
“ Jika antum berfikir bahwa untuk mewujudkan cita-cita antum itu harus bersama saya, maka antum telah terjebak dalam pikiran yang sempit”, ujarku memecah keheningan.
“ Apa maksudmu Faiz?”, tanya Pak Burhan sedikit terkejut lalu menatapku dalam-dalam.
“Cita-cita tidak boleh pudar hanya karena kehilangan seseorang. Harus tetap diperjuangkan meski harus berganti-ganti orang yang diajak bekerjasama, bahkan jika harus berganti generasi sekalipun. Kita harus yakin, bahwa jika satu pintu tertutup pasti Alloh Ta’ala telah menyiapkan pintu yang lain. Perjuangan ini harus berlanjut dengan ada atau tidak adanya Faiz Izzuddin, karena dia hanyalah salah satu bagian dari sebuah bangunan cita-cita. Lagipula, setelah saya pulang ke Jawa nanti saya masih bisa membantu dengan pikiran atau mencarikan orang-orang yang bisa membantu antum mewujudkan hal itu. Hal yang patut kita syukuri adalah kesamaan cita-cita kita, sehingga sampai kapan pun kita akan saling membantu. Bukankah dalam masalah dakwah antum tinggal meminta lagi alumni pesantren untuk bertugas di sini, dan dalam masalah ekonomi bisa antum lakukan bersama para tokoh yang akan kita ajak dalam proyek awal kita ini ?”, jelasku panjang lebar mengenai apa yang kumaksud.
Pak Burhan kemudian tersenyum lebar, matanya berbinar-binar.
“ Kamu benar nak, kata-katamu “ sampai kapan pun kita akan saling membantu” itu sangat menentramkan hatiku. Terimakasih Faiz, senang rasanya bekerja bersamamu. Mudah-mudahan kita bisa meyakinkan orang-orang itu untuk memulai proyek awal kita ini. Aku mengandalkanmu Faiz”, ujarnya tenang seraya tersenyum.
“ In sya Alloh, bi idznillah. Semoga Alloh Ta’ala memudahkan urusan kita dan menerimanya sebagai amal shalih”, sahutku. Malam semakin larut dan tak lama kemudian kami pun beranjak untuk beristirahat.
Beberapa hari kemudian setelah aku menyelesaikan konsep presentasi dari proyek koperasi itu dan berlatih menyampaikannya di hadapan Pak Burhan, kami pun bersiap untuk memulai gerilya mengajak orang-orang dalam daftar yang dibuat Pak Burhan untuk memulai proyek yang kami beri nama “ Koperasi untuk Kesejahteraan Ummat”.
Satu per satu kami mendatangi orang-orang yang terdapat dalam daftar yang dibuat oleh Pak Burhan. Reaksi mereka ketika mendengarkan pemaparanku ada yang langsung antusias menanggapinya, ada yang awalnya mempertanyakan dulu baru sepakat, ada yang biasa-biasa saja tapi siap ikut berpartisipasi, dan ada pula yang awalnya meremehkan namun akhirnya sepakat juga. Rata-rata mereka sepakat setelah aku menjelaskan urgensi dari proyek ini yang tidak hanya semata-mata untuk urusan ekonomi, tetapi lebih dari itu yaitu dengan tingkat taraf hidup yang lebih baik masyarakat akan bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yang mana anak-anak itu adalah generasi penerus kita saat ini sehingga nantinya akan lahir generasi-generasi pejuang yang melanjutkan perjuangan mewujudkan Izzul Islam wal Muslimin. Selain itu, kita juga dapat menunjukkan bahwa praktek mua’amalah syar’i dapat menjai solusi bagi masalah ekonomi ummat, yang mana diharapkan akan menjadi percontohan bagi daerah yang lain.  Aku juga menekankan bahwa mungkin apa yang akan kami lakukan itu akan membutuhkan kerja keras dan pengorbanan, namun jika berhasil in sya Allah akan menjadi percontohan bagi daerah lain dimana nanti  kita tinggal memanen pahala dari setiap orang yang terinspirasi dengan apa yang kita lakukan.
Akhirnya setelah seminggu lebih bergerilya, alhamdulillah kami mendapatkan 5 orang yang siap meminjamkan gudangnya untuk penyimpanan hasil panen dan 10 orang pengusaha dan orang kaya yang siap menjadi pelopor dari proyek ini. Bahkan ada yang siap membiayai pelatihan SDM yang akan mengelola koperasi. Pak Burhan nampak sangat bahagia melihat respon dari para pengusaha yang kami datangi dan beliau juga nampak sangat bersemangat.

Angin dan BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang