Suasana I'tikaf dan Malam 'Idul Fitri

183 4 0
                                    


Setelah Pak Burhan kembali ke rumahnya, aku berbincang dengan Pak Yusuf. Beliau memberitahuku perihal kebiasaan masyarakat sini yang terkait dengan masjid. Khusus di bulan Ramadhan masjid akan mulai ramai sekitar 30 menit sebelum waktu berbuka untuk menunggu berbuka bersama. Lalu setelah shalat tarawih banyak yang akan tadarrus sampai menjelang tengah malam, kemudian setelah shubuh ada kuliah shubuh. Orang-orang yang ikut kuliah shubuh biasanya setelah selesai akan berbincang-bincang dulu di masjid sampai matahari terbit batu kembali ke rumahnya masing-masing untuk persiapan bekerja.
Dan petang itu aku sibuk melayani perkenalandari warga yang datang untuk berbuka bersama sampai tiba waktunya berbuka. Benar apa yang dikatakan Pak Burhan, mereka ini luar biasa ramahnya. Mereka rata-rata senang sekali ada orang dari ibukota yang datang ke kampung mereka untuk mengetahui kondisi mereka dan ingin membantu untuk menemukan solusi dari masalah-masalah yang mereka hadapi. Banyak di antara mereka yang ingin agar aku berkunjung  ke rumah mereka untuk ngobrol lebih jauh, tapi kukatakan pada mereka bahwa aku ingin menyeleaikan i’tikafku dulu. Aku hanya mencatat nama orang yang ingin kudatangi berikut petunjuk jalan menuju rumahnya masing-masing.
Aku sungguh tak menyangka sambutan mereka sedemikian antusiasnya. Hari-hari berikutnya kami jadi semakin akrab. Setiap menjelang berbuka dan setelah kuliah shubuh kami selalu terlibat obrolan yang hangat dan akrab. Banyak cerita kehidupan di kampung ini yang kudapatkan dari mereka. Dari situ aku mulai mengetahui beberapa persoalan yang mereka hadapi dan harapan-harapan mereka. Nanti setelah Idul Fitri aku baru akan mempelajarinya lebih jauh, sekarang aku hanya perlu mendengar sebanyak-banyaknya.
Di sore hari menjelang kedatangan warga yang ingin berbuka bersama, aku sering melihat anak-anak yang bermain bola sepulang mereka dari mengaji di lapangan di seberang jalan tak jauh dari masjid. Furqan kulihat selalu ikut bermain. Aku jadi terpikir untuk mendekati anak-anak itu dengan ikut bermain bersama mereka dan mengajari mereka bermain bola. Mereka adalah calon generasi penerus yang harus diperhatikan dan diarahkan sejak dini.
Di hari terakhir Ramadhan, para jamaah dan juga Pak Yusuf memintaku agar aku yang menyampaikan kuliah shubuh. Aku menyampaikan tentang pentingnya ukhuwwah Islamiyah dan akhlaqul karimah dalam mewujudkan masyarakat yang aman, tentram, dan sejahtera.
Sore harinya aku ikut membantu panitia shalat Idul Fitri menyiapkan tempat shalat Ied di lapangan yang biasa digunakan Furqan dkk bermain bola. Lalu malam harinya selepas shalat Isya aku diantar Pak Burhan ke wartel di kampung sebelah yang berjarak 5 menit perjalanan naik motor untuk menelpon keluargaku di Jakarta.
Sampai di wartel yang hanya memiliki 3 KBU itu, rupanya banyak orang yang mengantri mau menelpon keluarganya di perantauan. Aku mengantri duduk di luar wartel sambil berbincang dengan warga yang sama-sama mengantri sementara Pak Burhan kulihat sedang berbincang dengan orang yang sedang menjaga wartel. Tiba-tiba Pak Burhan memanggilku untuk diperkenalkan dengan orangyang menjaga wartel itu yang ternyata adalah pemiliknya sendiri, karena karyawannya sudah ambil cuti. Bapak pemilik wartel itu bernama Pak Amin. Dia lalu memberiku nomor telepon rumahnya yang bisa ditelpon keluargaku jika ada berita penting dan memberitahuku bahwa ia sudah biasa menyampaikan pesan dari rekan-rekannya Pak Burhan bila ada pesan melalui telepon rumahnya.
Akhirnya setelah menunggu ± 15 menit, tibalah giliranku untuk menggunakan KBU. Aku menelepon Bu Atika tetangga sebelah rumah yang memiliki sambungan telepon di rumahnya. Terdengar nada sambung 5 kali barulah diangkat. Mengetahui aku yang menelepon, bu Atika langsung memanggilkan keluargaku. Tak lama berselang terdengar suara Ibu mengangkat telepon.
“ Faiz, bagaimana kabarmu nak ?”
“ Alhamdulillah, Faiz sehat Bu. Bagaimana dengan ibu, ayah , dan Nisa ?”
“ Alhamdulillah, semua baik-baik saja. Ini adikmu ada di sampingku dan ayahmu belum pulang dari masjid. Mungkin sebentar lagi ia akanmenyusul kemari. Bagaimana dengan tugasmu nak ?”
“ Alhamdulillah, semua berjalan lancar sejauh ini. Bahkan Faiz tidak menyangka kalu akan berjalan selancar ini. Masyarakat di sini luar biasa ramahnya dan sangat antusias dengan kehadiran Faiz. Maafkan Faiz yang baru sempat menelepon. Tiga bulan pertama ini memang sengaja Faiz tidak telepon dulu karena ini bagian dari pelatihan Faiz”.
“ Ya... ibu mengerti nak. Tidak apa-apa. Yang penting kamu baik-baik saja di sana ibu sudah cukup senang”.
Ibu lalu menceritakan tentang perkembangan di rumah setelah kepergianku. Ayah sudah mulai menabung untuk sekolah Nisa dan usaha kue ibu juga semakin banyak menerima pesanan. Nisa juga sudah mulai suka memakai pakaian muslimah, tak lagi tomboi seperti dulu. Aku kemudian meminta untuk bicara dengan Nisa dan Nisa mulai nyerocos menceritakan kegiatannya. Dia juga menanyakan seputar foto-foto perjalananku yang kukirimkan padanya. Lalu tiba-tiba terdengar suara ayah yang ingin bicara denganku. Sama dengan ibu, ayah juga menanyakan kabarku dan seputar penugasanku. Di penghujung telepon aku mengucapkan Taqabbalallahu minnaa wa minkum dan berpesan agar ayah dan ibu tidak perlu mengkhawatirkaku. Di sini semua sanagat memuliakan diriku dan aku dapat menyesuaikan diri dengan baik. Tak lupa kuberikan nomor telepon rumah Pak Amin yang bisa dihubungi jika ada sesuatu yang penting untuk disampaikan kepadaku.
Selesai menelepon kami pun segera meninggalkan wartel setelah mengucapkan terimakasih kepada Pak Amin. Dalam perjalanan pulang dari wartel aku membayangkan wajah bahagia ayah, ibu, dan Nisa. Meski ini pertama kalinya mereka berlebaran tanpa kehadiranku, namun dari pembicaraan di telepon tadi terdengar mereka cukup bahagia mengetahui kondisiku.
Sepulang dari wartel aku lalu duduk-duduk di depan rumah yang kutempati. Aku mengambil sebuah bangku panjang dari depan gudang yang biasa digunakan untuk beristirahat para pekerja Pak Burhan untuk kujadikan tempat dudukku. Aku memandangi langit yang malam itu sangat cerah berhiaskan bintang gemintang diiringi suara gema takbir yang bersahut-sahutan dari berbagai surau dan masjid di penjuru kampung ini. Benar-benar malam yng syahdu. Bibirku pun bergumam lirih mengucapkan kalimat takbir dan tahmid.
Allohu Akbar...Allohu Akbar. Laa ilaaha illalloh wallohu akbar. Allohu Akbar wa lillahil hamd... Untuk beberapa saat lamanya aku terhanyut dalam suasana syahdu yang belum pernah kualami sebelumnya. Inilah pertama kalinya aku melalui Idul Fitri di perantauan, namun aku merasa sangat nyaman di sini.
Kulihat Pak Burhan keluar dari pintu depan rumahnya membawa sebuah nampan berisi dua gelas teh panas dan sepiring kue berjalan menghampiriku, lalu meletakkan nampan itu di sampingku dan beliau lalu duduk di sebelah nampan itu sehingga nampan itu berada di antara kami berdua.
“ Kulihat kamu duduk termenung sendirian, jadi biar kutemani. Tapi sepertinya kamu begitu menikmati suasana ini Faiz”, ujar Pak Burhan memulai obrolan.
“ Ya, alhamdulillah saya orang yang mudah menemukan keindahan dalam berbagai situasi pak”, sahutku sambil tersenyum.
“ Berarti kamu termasuk orang yang mudah bersyukur Faiz...”, ujarnya tersenyum lalu meminum teh dengan taburan beberapa biji cengkeh kering yang menambah aroma dan citarasa yang khas. Aku pun mengikutinya meminum tehku dan mengambil sepotong kue.
“ Ngomong-ngomong, apakah kamu sudah punya gambaran rencana untuk kegiatanmu ke depan?”, tanya Pak Burhan.
“ Gambarannya sih sudah ada pak. Mungkin antum bisa memberi masukan lagi. Saya ingin membangun ikatan yang kuat terlebih dahulu dengan masyarakat dalam dua sampai tiga bulan pertama. Jadi saya ingin lebih banyak berada di tengah masyarakat. Mungkin dengan terlibat membantu pekerjaan mereka, berbincang-bincang dengan mereka, melihat kehidupan mereka dari dekat, dan seterusnya. Baru kemudian saya akan menyampaikan dakwah atau pemikiran saya sesuai dengan tingkat pemahaman mereka. Begitulah gambaran singkatnya”, jawabku.
“ Bagus itu Faiz. Pada dasarnya dalam tugasmu ini yang penting kamu merasa nyaman dengan yang kamu kerjakan. Dan aku akan selalu mendukung semua langkahmu dan membantumu selama hal itu memudahkan dirimu dalam melaksanakan tugasmu. Lalu sekarang apa yang bisa kubantu Faiz ?”
“ Sepertinya saya butuh sepeda sebagai kendaraan saya sehari-hari menjelajahi seluruh penjuru perkampungan warga sini. Bisakah antum membelikan saya sepeda bekas menggunakan uang simpanan saya hasil kerja selama liburan yang belum terpakai sama sekali ?”
Pak Burhan tersenyum dan menepuk-nepuk pundakku seraya berkata, “ kalau hanya itu, kamu pakai saja sepeda Furqan. Nanti ia kubelikan lagi yang baru, kebetulan dia memang sudah minta sepeda yang baru. Simpan saja uangmu untuk keperluanmu yang lain”.
“ Wah terimakasih banyak pak kalau begitu. Jazakumullohu khoiron ... semoga berkah”, ujarku gembira.
“ Aamiin... waiyyaka Faiz...”, sahutnya diiringi senyum.
Kami masih melanjutkan perbincangan kami malam itu, saling bercerita seputar suasana lebaran bersama keluarga masing-masing. Malam semakin larut dan setelah gelas serta piring kami telah kosong, kami pun lalu beranjak pergi beristirahat.

Angin dan BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang