Saat-saat Terakhir Bersama Syaikh

141 3 0
                                    


Sesuai permintaan beliau, sejak saat itu aku sering diminta untuk bercerita tentang Indonesia dan kaum muslimin yang kuketahui dan beliau akan mendengarkannya dengan antusias dan sesekali bertanya jika ada yang kurang dipahami. Maklumlah, terkadang aku masih kesulitan menemukan padanan kata dalam bahasa Arab untuk beberapa kata dalam bahasa Indonesia.

Beberapa hari kemudian ketika Ramadhan memasuki hari ke 20, sekitar jam 9 pagi selepas shalat Dhuha, ketika aku sedang asyik menyirami tanamanku, Pak Burhan datang ke tempat kami dengan membawa sebuah tas ransel di punggungnya. Kami berdua pun lantas masuk ke dalam di mana syaikh sedang membaca Al Qur'an.

" Bagaimana kabarmu Abu Ridha ?", tanya syaikh begitu kami berdua telah duduk di hadapan beliau.

" Alhamdulillah khair syaikh", jawab Pak Burhan.

" Bagaimana dengan tugas yang kuberikan padamu dan persiapan keberangkatanku ? Apakah ada masalah ?", tanya syaikh lagi. Pak Burhan menjawab sambil mengeluarkan sebuah amplop besar berwarna coklat dari dalam tasnya dan menyerahkannya kepada syaikh.

" Alhamdulillah, semua sudah beres syaikh. Ini dokumen perjalanan antum dan tiket pesawat Ambon – Jakarta, Jakarta – Kuala Lumpur. Nanti saya sendiri yang mengantarkan antum ke bandara. Pesan antum untuk menutup kamp pelatihan di pulau itu juga sudah saya laksanakan, semua peserta pelatihan telah keluar dari Ambon dengan selamat. Kemudian persenjataan dan amunisi juga sudah saya amankan sesuai petunjuk antum, dan hanya saya yang tahu di mana persisnya lokasi penyimpanannya. Pekerjaan mengamankan persenjataan dan amunisi inilah yang memmbutuhkan waktu beberapa hari. Jadi mohon maaf jika saya kemari agak terlambat ".

" Tidak mengapa Abu Ridha, justru aku bisa refreshing dulu bersama anak ini. Anak ini benar-benar pribadi yang menyenangkan. Aku juga sudah menjelaskan semua tugas-tugasnya dan memberikan padanya buku Mausu'ah. Engkau tentu tahu apa artinya jika aku telah memberikan Mausu'ah kepadanya", ujar syaikh.

" Na'am syaikh, saya faham". Pak Burhan lalu memegang pundakku dan berakata, " Selamat nak, kamu terpilih untuk mengemban tugas itu. Ini membuktikan benarnya firasat para asatidz yang mengirimmu kemari dan juga firasatku". Aku hanya diam menunduk mendengar perkataan Pak Burhan itu. Sejenak suasana hening.

Lalu terdengar kembali suara syaikh memecah keheningan, " Abu Ridha, kapan kita akan berangkat ke kota ?"

" In sya Alloh sore ba'da Ashar nanti kita berangkat syaikh. Saya sudah mempersiapkan dan mengatur semuanya", jawab Pak Burhan.

" Kalau begitu kamu harus segera mengajarkan materi cara mengamankan dan menyimpan persenjataan kepada anak ini", ujar syaikh seraya tersenyum dan melirik ke arahku.

Pak Burhan kemudian mengajakku berpindah ke ruang tengah untuk mengajariku apa yang diperintahkan syaikh barusan. Lalu Pak Burhan mengeluarkan gulungan tebal plastik bening yang memiliki lebar 50 cm, dua buah lakban, dan sekaleng vaseline/stampad dari dalam tas ranselnya. Rupanya syaikh telah memintanya untuk menyiapkan barang-barang itu.

Kemudian Pak Burhan mengajariku cara mengamankan persenjataan dan amunisi berikut teknik penyimpanannya sampai menjelang dhuhur. Ternyata barang-barang tadi itu adalah barang-barang yang dibutuhkan dalam teknik penyimpanan senjata. Setelah selesai mengajariku, ia berpesan bahwa malam ini aku harus menyelesaikan proses pengamanan dan penyimpanan semua persenjataan dan amunisi yang ada di sini. Besok siang ia akan datang menjemputku setelah urusan mengantar syaikh selesai.

Setelah shalat dhuhur syaikh memberikan taushiyah dan pesan-pesan terakhirnya sebelum meninggalkan kami. Inti isi pesan beliau adalah agar kami berdua saling membantu dan tetap istiqamah di atas manhaj perjuangan yang telah dipilih. Syaikh juga memberitahukan bahwa ia akan datang lagi pada suatu saat nanti bila sudah diperlukan untuk meminta laporan dari tugasku. Seandainya beliau tidak bisa datang sendiri, beliau akan mengutus utusannya dan memberitahuku cara memverifikasi utusannya apakah ia benar utusan syaikh atau bukan.

Hingga akhirnya tiba saatnya aku harus melepas kepergian syaikh. Syaikh memelukku lama sekali dan setelah melepaskan pelukannya, dengan mata yang berkaca-kaca dan suara yang sedikit bergetar beliau mengucapkkan kata-kata terakhirnya, " Selamat bertugas Ubaid, tugasmu memang berat tetapi in sya Alloh selama engkau jujur dan bersungguh-sungguh, Alloh Ta'ala akan memudahkan urusanmu. Jaga dirimu baik-baik, engkau adalah aset ummat yang sangat berharga. Aku harus pergi untuk melaksanakan tugas yang berikutnya dan semoga Alloh Ta'ala mempertemukan kita lagi dalam keadaan yang lebih baik".

Usai berkata demikian syaikh lalu menyandang tas ransel yang dibawa oleh Pak Burhan tadi yang sudah terisi oleh pakaian dan barang-barang syaikh yang lain. Syaikh lalu mengajak Pak Burhan untuk segera berangkat, dan mereka berdua kemudian bergegas meninggalkanku sendirian di tempat ini. Aku memandangi kepergian mereka sampai bayangan mereka hilang ditelan rimbunnya pepohonan.

Malam hari setelah shalat maghrib aku mulai mengerjakan proses mengamankan dan menyimpan persenjataan dan amunisi yang ada di sini sesuai dengan petunjuk dan arahan yang diajarkan oleh Pak Burhan. Dan setelah isya masih kulanjutkan lagi pekerjaanku sampai selesai sekitar jam 9 malam.

Keesokan harinya setelah shalat dhuha dan tilawah Al Qur'an satu juz, aku merebahkan badanku dan memejamkan mataku tetapi pikiranku masih bekerja, membayangkan tentang bagaimana perkembangan dunia pergerakan Islam pasca serang 11 September beberapa waktu yang lalu. Tiba-tiba aku teringat dengan ayah, ibu dan adikku yang selama hampir 3 bulan ini seakan terlupakan karena hari-hariku diisi dengan belajar dan latihan intensif tanpa libur sama sekali. Aku membayangkan ayah yang sudah mulai bisa menabung untuk biaya Nisa masuk pesantren, membayangkan ibu yang sedang asyik bekerja di dapur mengerjakan kue pesanan orang, dan terbayang wajah polos ceria adik perempuanku yang suka usil dan bermanja kepadaku bila aku di rumah.

Ah ... meski sepenting apapun diriku dalam tugas ini, aku tetaplah seorang anak dari kedua orangtuaku dan seorang kakak dari adik perempuanku. Mereka juga punya hak atas diriku dan aku mempunyai kewajiban atas mereka. Aku tidak boleh mengabaikan mereka hanya karena lebih mementingkan tugas ini. Semua harus berjalan bersama. Ya... benar kata syaikh, aku harus jujur dan bersungguh-sungguh, agar Alloh Ta'ala berkenan selalu menolong dan memudahkan semua urusanku. Tak terasa akhirnya aku pun terlelap terbuai sepi dan sejuknya udara di sekitarku.

Aku baru terbangun ketika terdengar suara orang mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Sepertinya itu suara Pak Burhan. Aku segera menjawab salam dan bergegas berjalan ke arah pintu sambil kulirik jam tanganku. Sudah jam 12.45, berarti lumayan lama juga aku tertidur. Aku lalu mempersilahkan Pak Burhan masuk.

" Bagaimana tugasmu Faiz ? Sudah beres ?", tanya Pak Burhan setelah duduk di hadapanku.

" Alhamdulillah sudah beres pak. Ini tadi saya sempat tertidur usai baca Qur'an sedikit. Belum shalat dhuhur ini jadinya", jawabku.

" Oh kebetulan kalau begitu. Kita bisa shalat dhuhur berjamaah. Sengaja aku langsung kemari untuk menjemputmu agar kamu tidak lama-lama sendirian di sini. Dari bandara setelah mengantar syaikh aku langsung kemari tanpa pulang ke rumah dulu. Setelah shalat nanti segera kamu kemasi barang-barangmu dan kita langsung turun pulang ke rumah".

" Baik pak", sahutku seraya bangkit untuk mengambil wudhu ke belakang.

Angin dan BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang