Ibuku punya cerita favorit. Ia bilang bahwa tiap orang memiliki benang takdir yang tak terlihat di kelingking kanan. Benang ini panjangnya tidak terkira dan bisa tersimpul, kusut ataupun tersangkut dengan benang takdir milik orang lain. Dalam ceritanya ibu bilang kalau ujung benang takdir tadi adalah kelingking dari orang yang menjadi takdir kita.
Apa katamu? Tidak. Kata ibu benangnya tidak akan bisa putus.
Saat masih SD aku percaya saja dengan apa yang dikatakannya, tapi sekarang aku agak skeptis. Cerita ibu soal benang takdir terlalu mendramatisir. Memang sih, soalnya ia suka nonton sinema romansa picisan. Ah, lagi-lagi aku teringat reaksi ibu yang berlebihan saat nonton serial drama kemarin malam.
"Oi, Midori!"
Aku reflek menoleh saat mendengar suara berat diikuti beberapa suara lainnya. Langkah kaki yang terburu-buru, lenguhan malas, dan suara bola basket yang tengah di dribble.
"Mau taruhan?" Kembali terdengar suara berat tadi, namun pemiliknya tak kunjung muncul. "Ayo one-on-one denganku."
Sekarang dari dalam lapangan aku melihat dua orang tengah jalan berdampingan. Laki-laki dan perempuan. Si laki-laki merangkul pundak si perempuan lalu menepuk-nepuknya pelan.
"Peraturannya hanya sampai 10 poin saja. Kalau aku menang, malam ini aku menginap di tempatmu ya?"
Geh! Apa-apaan yang barusan kudengar? Dasar pasangan bodoh! Kalau ingin mesra-mesraan mestinya tahu tempat.
"Ah..."
Baru saja ingin kutembakkan lemparan 3 poin, suara lenguhan malas itu kembali terdengar. Tak ada antusiasme sama sekali yang terkandung di dalamnya. Monoton dan bosan. Tapi mengapa telingaku seperti tergelitik ketika mendengar suara perempuan tadi?
"Tidak tertarik. Pulang sana."
Hmm... Sedang bertengkar ya, rupanya? Aku mengangguk-angguk kecil. Sepersekian detik kemudian aku tersadar bahwa aku seharusnya tidak berada di tempat ini.
"Hah! Sial! Sial! Sial!" Terus mengumpat, aku merutuki diri sendiri. Lupa kalau besok adalah hari pertamaku masuk SMA. Sialan! Ibu pasti tengah marah-marah di rumah.
Kusambar handuk olahragaku, buru-buru memasukkannya ke dalam tas. Sementara itu dua muda mudi yang tadi kucuri dengar percakapannya memasuki lapangan tempatku latihan. Si laki-laki masih rewel dengan permintaan one-on-one dan respon si perempuan hanya "Hmm...", "Tidak", dan "Sana pulang".
Ah, aku merasa kasihan pada si laki-laki. Susah ya, pacaran dengan perempuan yang tidak banyak omong.
"Eh? Ternyata ada orang ya, disini?" Si laki-laki berkomentar, merujuk pada kehadiranku yang baru disadarinya.
Aku jalan saja tanpa menyapa atau menjawab komentarnya barusan. Hanya beberapa meter sebelum keluar lapangan, aku berpapasan dengan sang perempuan.
Ia mengenakan celana training warna abu-abu, kaus putih yang dirangkap dengan jaket parka warna navy serta sepatu Mizuno edisi basket keluaran terbaru. Rambutnya dikuncir ekor kuda. Sesaat aku terdiam. Tidak tahu kenapa.
"Kaoru, jangan ganggu. Pulang sana."
Suaranya tidak terdengar feminin, tidak juga maskulin tapi nadanya kasar seolah benar-benar tak ingin diusik. Meski begitu laki-laki yang ia panggil Kaoru hanya tertawa dan mulai melakukan pemanasan.
Aku coba melihat si perempuan. Tak ada ulasan senyum sama sekali, kedua alisnya juga saling bertaut. Kelihatannya ia marah. Tapi ekspresinya...
Cantik.
Nadi di tanganku berdenyut keras satu kali. Cukup keras untukku menyadarinya. Nyeri. Wajahku juga terasa panas. Apa karena efek latihan dunk tadi?
Tak sengaja mataku bertemu dengannya.
"Apa?" Katanya sambil lalu. Aku membisu, hanya mampu menggeleng.
Aku mau pulang. Harus pulang sekarang. Tapi kenapa tak ada niatan sama sekali untuk bergerak? Kurasakan getaran ringan dari dalam tas. Ah, pasti telepon dari ibu, tapi...
"Hey," suara itu kembali mengalun pelan. "Ponselmu getar."
"Oh- ah, ya. Aku tahu, kok. Haha."
Mata kami kembali bertemu. Ia mengedip satu kali mengamatiku yang tak kunjung meraih ponsel di dalam tas. Kelopak matanya sayu seakan mengantuk.
"Yoshikawa Naoki..." Ia bergumam.
Hah? Eh? Apa? Tunggu! Darimana dia tahu namaku?
"Kau..." Ia menggantungkan kalimat sambil menunjuk sesuatu dengan matanya. Aku mengikuti kemana arah yang ditunjuk dan menemukan nametag baruku di sisi kanan baju yang kupakai. Bodohnya.
"Kayaknya kau kelewat antusias ya?" Dia menyunggingkan senyum kecil. "Sekolah dimana?" Sekarang dia malah coba sok akrab gara-gara tahu aku masih bocah.
"SMA Higashi," jawabku agak pelan takut-takut dia menggodaku lagi.
"Higashi? Hmm, Kaoru dulu sekolah disana."
"Oi Midori!"
Aku mendengar decakan kesal serta umpatan pelan.
"Taruhannyaaaa." Laki-laki bernama Kaoru kembali meminta duel one-on-one.
Dalam hati aku berharap ia menolak taruhan itu. Maksudku, bukankah jelas Kaoru yang akan menang jika lawannya adalah perempuan? Lagipula si Kaoru itu jauh lebih tinggi dibanding perempuan ini. Belum lagi kalau pakai cara kasar dan curang.
"Ah..." Aku menelan ludah saat respon monoton itu kembali terdengar. "Apa boleh buat."
Hah? Tunggu! Maksudnya dia mau terima tantangan dari si Kaoru?
"Hey," panggilnya. Aku baru sadar jika ia sudah beberapa langkah masuk ke lapangan. "Sukses ya sekolahnya!"
Ia tertawa dan matanya membentuk sepasang cekungan terbalik. Sedetik kemudian aku meringis ketika sekali lagi nadi di tanganku berdetak keras. Aku masih memandangi ketika ia melakukan bounce pass pada laki-laki yang dipanggil Kaoru.
Aku juga masih berdiri diam saat Kaoru dengan lembut mengusap dan memberikan ciuman kecil pada pipinya. Aku berbalik, meninggalkan lapangan. Terus menerus menggumamkan satu nama.
"Midori... Namanya Midori."
![](https://img.wattpad.com/cover/141906520-288-k260787.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Akai Ito (Benang Merah Takdir)
Aktuelle LiteraturAkai Ito (Benang Merah Takdir) bercerita mengenai Yoshikawa Naoki, memaknai tiap pertemuan yang tanpa sadar menuntunnya kepada sang takdir. - Yoshikawa Naoki merupakan tipe siswa flamboyan, sesuai dengan pikiranmu; tampan dan populer. Sayang sekali...