Fumi menyelipkan helai rambutnya yang tertiup angin ke belakang telinga. Gadis itu beralih menengadahkan kepala, memandang langit senja. Angin kembali berhembus, membuat Fumi memejamkan mata sejenak. Sementara gugur dedaunan menimbulkan bunyi gemerisik di bawah kakinya.
Mereka pasti sedang bertanding sekarang, ia membatin pada gumpalan awan di atas.
Tangannya memilin satu bungkusan kecil. Titipan dari Midori untuk Naoki dan Tsuchiya. Kemarin malam Midori mampir ke kedainya, meminta tolong pada Fumi agar menyampaikan hadiah 'semangat' kepada dua anak laki-laki jahil yang sekarang tengah berjuang di lapangan.
Fumi senang sekali ketika Midori datang saat itu. Dirinya juga diberikan wristband oleh si wanita cantik meski Fumi tidak main basket. Tetapi Fumi tetap menyukai hadiah itu. Ia bahkan membawanya ke sekolah, seakan-akan benda tersebut adalah sebuah jimat keberuntungan.
"Hmm ...." Gumaman kecil itu keluar dari bibir tipis Fumi yang sedang tersenyum.
Selain wristband, Midori juga menghadiahinya sebuah buku karya Dazai Osamu. Wanita itu tahu Fumi senang membaca karya-karya literatur.
"Sepertinya aku berikan hadiah ini pada Yoshikawa dan Honda setelah pertandingan saja, di kafe."
Bersamaan dengan keputusan tersebut Fumi melanjutkan langkahnya menuju rumah. Ia melangkah dengan senyum manis terpasang di wajah. Semburat oranye sore itu meninggalkan bayang kemerahan yang bersinar, tetapi agaknya suasana hati dan senyum Fumi mampu mengalahkan cahaya sendu sang senja.
***
"Baka na ... Si nomor punggung 6 itu mencetak angka lagi!"
Tsuchiya tertegun di posisinya. Umpatan dari salah satu pemain lawan yang barusan ia dengar juga tak mampu mengalihkan sang anak lelaki dari pemandangan di depannya.
"Yoshikawa-san, santai saja mainnya. Masih penyisihan grup, kok." Sekarang Tsuchiya dengar salah satu anak buahnya, Nakamura, mengeluarkan komentar asal pada Naoki seperti biasa.
"Hehe, iya ya? Sepertinya aku terlalu senang. Makanya jadi begini."
Uso da (Tidak mungkin) ....
Naoki, sahabatnya, berdiri di bawah ring. Menjalankan serangan dengan sangat cepat. Menggila. Ia mencetak hingga dua digit poin seorang diri.
"Yoshikawa senpai, kuota poin milik senpai sudah terpenuhi. Giliranku, dong!" Satu lagi anak buah Tsuchiya bersungut kepada Naoki, mencoba bercanda. Aoba nama anak itu.
"Ah, sou ...." Tsuchiya melihat Naoki mengangguk. "Oke!"
"Aku juga!" Seorang anak laki-laki lain muncul dari belakang Naoki. Ia bernama Ono. "Huuuh dari tadi Yoshikawa senpai asyik sendiri saja. Aku juga kan ingin."
Memang, Tsuchiya menerapkan sistem kuota pada masing-masing anggota klub basketnya di pertandingan ini. Selain untuk mengangkat motivasi dan semangat bermain para anak buahnya, tentu saja agar SMA Higashi bisa menang dengan poin yang memuaskan.
Namun ia tak pernah berpikir kalau Naoki akan serius mencetak hingga 28 angka pada pertandingan ini. Sekarang bahkan merupakan pertandingan penyisihan kedua untuk timnya, karena pertandingan pertama mereka selesai siang tadi.
Kala itu Naoki juga menyumbang dua digit poin untuk kemenangan SMA Higashi. Tsuchiya bertanya-tanya, darimana suntikan stamina yang diperoleh Naoki? Ia saja sudah mulai berhati-hati agar tak terlalu capek karena minggu depan mereka akan bertanding kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akai Ito (Benang Merah Takdir)
General FictionAkai Ito (Benang Merah Takdir) bercerita mengenai Yoshikawa Naoki, memaknai tiap pertemuan yang tanpa sadar menuntunnya kepada sang takdir. - Yoshikawa Naoki merupakan tipe siswa flamboyan, sesuai dengan pikiranmu; tampan dan populer. Sayang sekali...