"Naoki, kau ada uang berapa?"
Suara bernada malas itu menyerang gendang telinga Naoki. Anak lelaki tersebut lantas mematikan air keran, menyudahi kegiatan cuci mukanya. Ia mengelap wajah dengan handuk kemudian menghadap sang kawan yang barusan bertanya.
"Uang mingguanku masih utuh," jawab Naoki. "Kenapa memangnya?"
Honda Tsuchiya mengeluarkan dompet dan mengintip isinya, mengitung-hitung sebentar. Setelah itu ia hanya mengangguk satu kali. Naoki memandanginya heran. Tsuchiya memasukkan kembali dompetnya ke dalam saku celana dan beralih membuka tutup keran air.
Anak itu menundukkan kepala, membiarkan tetes-tetes air membasahi sebagian kepalanya.
"Jangan lupa bilang orangtuamu kalau kau pulang agak malam." Tsuchiya berkata seusai membasahi hampir seluruh helai rambutnya.
"Hah?"
"Bilang saja belajar di kafe milik Kurosaki."
"Oi, memangnya kita mau melakukan apa?" Naoki bertanya. "Saat istirahat makan siang juga kau bilang untuk siapkan uang taruhan. Jangan bilang kau mau main ke gedung pachinko yang ada di ujung jalan."
Mendengar respon Naoki, Tsuchiya lantas menggeleng. Ia menggoyang-goyangkan jari telunjuknya, seolah menyangkal dugaan sahabatnya barusan.
"Ngapain ke gedung pachinko kalau bisa dapat hiburan yang jauh lebih asyik?" Anak itu merespon.
"Hiburan- yang jauh lebih asyik?"
Tsuchiya mengangguk. Dua anak tersebut berjalan menuju gedung olahraga, tempat dimana mereka berlatih basket. Di dalam ruangan besar tersebut hanya ada mereka berdua. Tentu saja, karena latihan basket selesai pukul 5 sore. Sementara Naoki dan Tsuchiya punya kebiasaan berlama-lama di gedung olahraga, kadang sampai jam 7 malam.
"Yep!" angguk Tsuchiya lagi. "Kita akan nonton Scratch bertanding!"
Satu kata dalam kalimat Tsuchiya barusan terdengar asing. Di saat Naoki ingin bertanya, sosok sahabatnya sudah lebih dulu berlari sambil membawa kunci gedung olahraga. Sang teman berkata agak keras, "Aku kembalikan kunci gedung olahraga dulu. Kau jangan kabur, Naoki. Tunggu di gerbang!"
"Ah..." Orang yang diingatkan hanya menghela pelan.
Ternyata butuh waktu agak lama bagi Tsuchiya mengembalikan kunci gedung olahraga ke ruang guru. Sementara matahari telah tenggelam sejak tadi. Sembari menunggu, Naoki bersandar pada pintu gerbang sekolah sambil memainkan ibu jarinya di atas layar ponsel.
"Apa tadi? Kata apa yang disebut Tsuchiya barusan? Su- sukurachi, atau semacamnya?" Anak itu bergumam sendiri. "Tapi pelafalannya terdengar seperti bahasa Inggris."
Kini Naoki ganti mengusap dagunya. Ia baru teringat akan sesuatu. "Ngomong-ngomong bahasa Inggris, aku belum mengerjakan PR dari Tachibana-san. Ini sudah hari Rabu..."
"Oi, Naoki..." Panggilan dari Tsuchiya menggema hingga pintu gerbang. Dilihatnya sang kawan berlari dari lapangan sambil berteriak memanggil.
"Yuk," ajak Tsuchiya. Napasnya terdengar agak tersengal, tapi sepertinya anak itu tak peduli. Justru ia malah tersenyum lebar.
"Mau kemana sih?" Naoki bertanya. Ia dan Tsuchiya mulai berjalan menjauhi gedung sekolah. Tiba-tiba Tsuchiya membuka tas yang ia gendong di punggung, mengeluarkan jaket jersey miliknya.
"Naoki," panggil Tsuchiya. Anak itu masih sibuk menaikkan resleting jaket. "Kau juga. Pakai jersey-mu."
Honda Tsuchiya mulai berlari kecil. Naoki yang tak paham apa yang terjadi hanya ikut berlari menyamakan langkah Tsuchiya. Sahabatnya itu terlihat kerepotan membetulkan resleting jaket.

KAMU SEDANG MEMBACA
Akai Ito (Benang Merah Takdir)
Narrativa generaleAkai Ito (Benang Merah Takdir) bercerita mengenai Yoshikawa Naoki, memaknai tiap pertemuan yang tanpa sadar menuntunnya kepada sang takdir. - Yoshikawa Naoki merupakan tipe siswa flamboyan, sesuai dengan pikiranmu; tampan dan populer. Sayang sekali...