16. Persiapan

19 3 0
                                    

“Hei, Naoki.”

Suara itu mengalun pelan, menyadarkan Yoshikawa Naoki dari lamunannya perihal klasifikasi kalimat perintah pada pelajaran Bahasa Jepang. Disampingnya berdiri Honda Tsuchiya. Sambil bertopang dagu di jendela koridor, sahabatnya itu mengeluarkan helaan panjang.

“Jangan sampai hilang konsentrasi,” katanya. “Lusa kita sudah mulai bertanding.”

Naoki mengangguk sambil menyesap kopi susu yang ia beli. “Aku tahu.”

Sebenarnya, ketimbang mengkhawatirkan jalannya pertandingan besok lusa, Naoki lebih memikirkan kondisi mental Tsuchiya. Sebagai kapten, kawannya itu punya beban berat untuk mengangkat moral tim. Apalagi setelah mereka menonton pertandingan antara Akademi Fuuryuu melawan SMA Seika pada hari Minggu kemarin.

Naoki merasa Tsuchiya menjadi agak murung.

“Oh iya,” Naoki mengerling ketika Tsuchiya menggantungkan kalimatnya. “Apa kau selalu cerita soal aktivitasmu di sekolah pada Tachibana sensei?” tanya sang sahabat.

“Hmm?” Kali ini Naoki berbalik, ikut bersandar pada jendela koridor. Matanya menerawang, memandang langit cerah. “Kurasa iya. Aku juga tidak mengerti. Jika berada di dekat sensei, bawaannya jadi ingin cerita soal basket.”

“Oh, pantas dia tahu soal pertandingan hari Rabu.” Tsuchiya bergumam sangat pelan hingga Naoki tak sadar kalau temannya baru saja memberikan respon.

“Ngomong-ngomong, tumben kau bicara soal Tachibana sensei.”

Tsuchiya menggeleng. “Tidak. Bukan apa-apa. Penasaran saja.”

Sekarang Naoki kembali pada posisi awal yakni bersandar membelakangi jendela, berlawanan dengan Tsuchiya yang memasang punggungnya menghadap ruang kelas. “Aku harap aku bisa fokus pada pertandingan nanti,” bisik sang kapten.

“Apa-apaan?” Naoki menepuk punggung temannya. “Kau point guard paling baik yang pernah kami harapkan.”

Sempat ada jeda cukup lama diantara kedua remaja. Mereka tak mengeluarkan sepatah kata. Pun karena masing-masing tahu Kejuaraan Musim Dingin ini adalah pertandingan terakhir bagi mereka. Jadi berbagai ungkapan yang tersimpan dalam kepala, mereka simpan baik-baik untuk dikeluarkan ketika berada di lapangan.

“Tsuchiya.” Hening itu akhirnya pecah oleh inisiasi Naoki. Ia mendongakkan kepala saat semilir angin menerbangkan helai rambutnya.

“Aku ingin menang.”

Kalimatnya diucapkan dengan pendek, tetapi penuh dengan penekanan. Seolah-olah hanya dengan memenangkan kejuaraan tersebut, Naoki bisa melanjutkan hidupnya. Seolah-olah ia bernapas hanya lewat kemenangan.

Tsuchiya menolehkan kepala untuk memandang Naoki. Temannya itu masih menengadah, tetapi Tsuchiya yakin wajah anak itu penuh dengan tekad. Rahangnya pun ikut mengeras. Jujur saja, Tsuchiya belum pernah melihat Naoki begitu ingin untuk menang.

“Aku harus mengalahkannya di final.”

“ ‘nya’?” ulang Tsuchiya yang dibalas anggukan Naoki. Anak itu menjawab, “Kau tahu siapa.”

Oh, Maizono rupanya, Tsuchiya membatin.

Naoki dan Maizono Yuuichi dari Akademi Fuuryuu bermain pada posisi yang sama, yakni power forward. Jadi merupakan hal yang wajar jika Naoki menganggap Maizono Yuuichi sebagai seorang rival. Menurut Tsuchiya, dua orang itu juga punya kemampuan yang setara.

“Selain itu …,” Naoki menggantungkan kalimatnya. Ia mengacak rambut sebentar lalu lanjut bicara. “Aku juga ingin membuktikan pada seseorang, sebelum melakukan one-on-one dengannya.”

Akai Ito (Benang Merah Takdir)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang