21. Satu Kompleksitas Untuk Kemudian Hari

17 3 0
                                    

Tempat duduk Naoki berada pada deret paling kanan dekat jendela, baris ketiga dari belakang. Di tengah jam pelajaran kelima siang itu, Naoki menghela napas pelan sambil memandang ke arah jendela. Karena sedikit celahnya terbuka, sepoi angin lolos dan membelai lembut wajah si remaja. Di tangannya terdapat secarik kertas. Yoshikawa Naoki kemudian mengerling pada tulisan diatas kertas dalam genggamannya. Menghela pelan lagi.

Tidak terasa waktunya di SMA sudah hampir habis. Ia juga harus berpikir mengenai masa depan, ingin kemana setelah lulus? Hari ini adalah sesi konsultasi dengan wali kelas mengenai rencana masa depan murid-murid. Baru saja giliran Naoki selesai, itulah yang membuatnya agak murung seperti sekarang.

“Universitas K di Kyoto, ya….” Naoki bergumam pada dirinya sendiri.

Wali kelas Naoki merekomendasikan salah satu universitas top di Kyoto ketika si remaja bilang bahwa ia tertarik pada ilmu hukum. Naoki dilema. Pasalnya ia belum pernah tinggal jauh dari keluarganya. Meski hanya memakan waktu dua jam naik kereta cepat, Naoki tak yakin bisa menanggung rindu pada segala yang telah menemaninya di Tokyo.

Anak itu mendesah pelan, menjatuhkan kepalanya di atas meja. Kali ini membelakangi jendela. Naoki menghadap Kurosaki Fumi yang juga memandang kertas hasil konsultasi dengan sang guru. Bedanya wajah Fumi kelihatan berseri-seri.

“Kurosaki,” panggil Naoki pelan. “Apa kata sensei soal rencanamu?”

“Universitas T,” jawab Fumi pendek, tetapi masih tersenyum menatap isi kertas. “Almamater Tachibana-san.”

Naoki terkesiap namun hanya sedetik. Kemudian ia diam lagi, menimbang-nimbang dalam pikirannya. Sudah hampir dua minggu Midori muncul terus menerus di mimpinya. Naoki mengeluarkan geraman rendah. Pikirannya berkecamuk. Dia takut, sangat takut jika jatuh pada perasaan yang terlalu dalam.

Midori sudah dimiliki Kaoru, begitu gambaran yang ia tangkap.

Naoki selalu yakin jika dirinya hanya mengagumi Midori karena perempuan itu pintar, atletis dan membuatnya selalu terpecut semangat. Tetapi akhir-akhir ini Naoki sering frustasi jika melihat Midori tersenyum. Kadang-kadang di sela jam tutor, Naoki mendapati dirinya melamun memandang wajah Midori saat wanita itu tengah menjelaskan materi Bahasa Inggris.

Kyoto… Naoki lagi-lagi menatap sayu kertas di tangan. Anak itu takut Midori akan melupakannya. Kyoto jauh dan ia akan berada disana selama kurang lebih tiga setengah tahun.

Apa dia bisa tahan tak bertemu Midori selama itu?

Naoki menggeleng sambil mengubur kepalanya pada lipatan lengan di atas meja. Satu tangannya menjambak pelan surai warna hitam miliknya hingga tak beraturan. Ah, ia belum pernah merasa segundah ini.

Invasi Midori pada otaknya bahkan mengalahkan upacara pembukaan Turnamen Kejuaraan Musim Dingin yang akan diadakan tiga minggu lagi.

“Ah….” Naoki mendesah bingung. “Mengapa?”

“Mengapa aku terus kepikiran soalnya?”

***

Mizutani Kaoru menatap gelisah ke arah ponselnya sejak sepuluh menit yang lalu ia masuk ke dalam izakaya. Baru saja ia mendapat kabar jika pertandingan jalanan yang seharusnya ia ikuti malam ini telah dimulai. Kosuke, Hide dan Kamiyama yang bermain. Biasanya meski tidak ikut bertanding, Kaoru selalu menyempatkan untuk datang menonton. Ia dan Midori. Namun kali ini lelaki itu tak bisa.

“Wah, Mizutani sepertinya takut dengan pacarnya, ya?” Seorang pria paruh baya tergelak melihat Kaoru yang kini menampilkan cengiran khas karena ketahuan hanya memberi perhatian pada ponselnya saja.

Akai Ito (Benang Merah Takdir)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang