Di jalan menuju rumah, Fumi menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Ia baru saja kembali dari kediaman Igarashi Mayu, teman sekelasnya, bersama kawan-kawan yang lain. Dua tangan mungil gadis itu sibuk menenteng dua tas besar berisi perlengkapan untuk festival sekolah yang sebentar lagi diadakan.
Tadi di rumah Mayu, ia dan teman-teman perempuan dari kelasnya menghabiskan waktu membuat kostum dan dekorasi untuk pertunjukkan kelas. Temanya adalah pesta teh. Nantinya para siswa yang bertugas melayani pembeli akan mengenakan seragam yang khas. Murid laki-laki pakai gakuran sementara yang perempuan akan pakai yukata.
Ia kebagian untuk menjahit kain-kain yang akan digunakan sebagai tatakan gelas. Sebenarnya Fumi agak bersyukur karena tema kelasnya hanya pesta teh. Dibandingkan pertunjukan rumah hantu, Fumi lebih memilih tema kedai teh tradisional.
Mendo dakara (Karena akan merepotkan), jawab Fumi dalam hati mengenai alasannya tak ingin tema rumah hantu jadi pertunjukan kelas.
Ketika sampai di kedai kopi keluarganya, Fumi mendapati sebuah mobil SUV yang cukup ia kenal. Dirinya membuka pintu kafe dan menemukan Honda Misaki sedang berdiri di meja pesanan.
Nah, benar kan, kataku? Fumi berkata dalam hati.
"Oh, halo Fumi-chan." Misaki menyapa Fumi yang masih di pintu kedai.
Fumi mengangguk dan tersenyum manis. Ia melihat mata Misaki yang mengamat-amati dua tas besar dalam jinjingannya.
"Sibuk sekali, ya?" Laki-laki itu berbasa-basi. Bibirnya menyunggingkan senyum hangat. "Apa yang dilakukan kelasmu?"
Kini Fumi mulai berjalan masuk. Ia sempat menyapa ayahnya sebelum menjawab pertanyaan Misaki. "Kelasku akan membuka kedai teh tradisional."
Misaki masih tersenyum.
"Sebenarnya biasa saja, sih. Tapi karena yang lain bilangnya tradisional, jadi yaaahh ... begitulah." Fumi mengangkat kedua bahunya sambil tertawa.
"Misaki nii-san, tumben malam-malam bawa mobil." Anak bungsu keluarga Kurosaki itu menunjuk satu mobil di luar kedai dengan ibu jarinya.
Kali ini Misaki yang tertawa. "Jemput Tsuchiya."
"Oh begitu ...." Fumi mengeluarkan koor rendah. "Tadi siang dia kesini. Katanya ada reuni SMP."
"Iya," jawab Misaki ramah. "Tapi anak itu kalau tidak disuruh pulang, sepertinya akan betah saja disana."
"Misaki-kun, ini Iced Coffee pesananmu." Ayah Fumi berdiri di meja kasir sambil memberikan pada Misaki segelas es kopi.
Misaki kembali tersenyum. "Terima kasih paman. Ini uangnya."
Sekarang ganti ayah Fumi yang melontarkan sunggingan manis pada bibirnya. Dia menerima uang dari Misaki kemudian memberikannya receh kembalian.
Honda Misaki mengucap terima kasih sekali lagi. Setelahnya ia menghadap Fumi yang masih berdiri. Laki-laki itu menepuk pelan puncak kepala Fumi. Tak lama kemudian ia tertawa.
"Semangat ya!" ucapnya memberi dukungan. "Semoga sukses!"
Fumi menggaruk pipinya pelan.
"Aku akan datang ke festival sekolahnya. Soalnya Tsuchiya berisik sekali soal itu ...." Misaki berkomentar sambil tertawa. Ia menyesap es kopi pelan-pelan.
Fumi hanya menampilkan senyum lima jari. Dalam benaknya, dia tak berhenti membandingkan sosok Misaki dan Tsuchiya. Dua bersaudara itu bertolak belakang sekali sifatnya.
"Makanya harus semangat ya, Fumi-chan!"
Fumi mengangguk, tersenyum. Saat Misaki pamit keluar kedai, dia melambai riang pada sosok laki-laki dewasa itu. Ah, andai saja jika Tsuchiya bisa seramah kakaknya ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Akai Ito (Benang Merah Takdir)
General FictionAkai Ito (Benang Merah Takdir) bercerita mengenai Yoshikawa Naoki, memaknai tiap pertemuan yang tanpa sadar menuntunnya kepada sang takdir. - Yoshikawa Naoki merupakan tipe siswa flamboyan, sesuai dengan pikiranmu; tampan dan populer. Sayang sekali...