17. Potensi

21 2 0
                                    

Naoki menaikkan resleting jaket bertuliskan ‘Higashi Basketball’ sambil mengecek sekeliling, takut-takut ada barang miliknya yang belum masuk ke dalam tas. Kemudian ia terdiam, mengingat-ingat kalimat Fumi sebelum ini.

Tachibana sensei khawatir pada Tsuchiya?  Diulang-ulang olehnya pertanyaan tersebut. Fumi tadi mengatakan jika Midori mengkhawatirkan Tsuchiya. Karena apa? Naoki heran. Sejak kapan mereka akrab?

Rasanya sesuatu yang tajam seperti menusuk dada Naoki. Ia tak tahu sama sekali apa yang terjadi. Mengapa Midori bisa sampai perhatian pada Tsuchiya, atau perihal mengenai sejak kapan Fumi mulai berkirim pesan dengan Midori.

Saat tiba di pintu gimnasium, panggilan Tsuchiya menyadarkannya.

“Naoki.” Yang dipanggil menoleh. “Kau pulang duluan saja.”

“Maksudnya?”

“Aku ada urusan sedikit. Tidak bisa pulang denganmu.”

Naoki mengernyit. “Dengan Iriya sensei? Aku tunggu, deh. Ka-”

“Bukan,” geleng Tsuchiya. “Pokoknya aku ada urusan lain. Maaf tidak bisa pulang bareng.”

Ada jeda hingga lima detik. “Oh.” Respon itu terdengar hampa. “Oke … Kalau begitu, aku pulang duluan.”

Tsuchiya menanggapinya dengan anggukan. Di satu sisi, Naoki yang kini berjalan keluar gimnasium mendadak jadi bertanya-tanya. Tidak biasanya Tsuchiya menolak untuk memberitahu urusan jenis apa yang membuatnya tidak bisa pulang bersama Naoki.

Ia mendongak menatap langit yang berwarna oranye, tangannya dimasukkan ke dalam saku. Satu helaan panjang lolos dari bibirnya. Ia pikir Tsuchiya terlalu memikirkan pertandingan hari Rabu. Ingin sekali memberikan kalimat seperti ‘tenang saja’ kepada Tsuchiya, tetapi hal itu pasti tak akan memberikan efek pada sang kawan.

“Ah, dia itu ….”

Sambil menendang kerikil di depan kakinya, Naoki melenguh. Ia paham seperti apa pribadi Tsuchiya. Kata-kata seperti ‘tenang saja’ atau ‘semua pasti akan berjalan baik’ tak punya pengaruh yang berguna di mata Tsuchiya. Anak itu selalu berlatih dan bersiap hingga ia bisa menghadapi apapun yang terjadi di depannya.

Mungkin jika Naoki mengatakan kalimat ‘tenang saja’, temannya itu malah akan merespon kesal “Mana bisa aku tenang? Kalau ada waktu untuk tenang, lebih baik kugunakan untuk berlatih!”

Memang, temannya itu kelihatan simple tetapi sebenarnya rumit.

Naoki menengok ke arah jam tangan. Ada beberapa waktu sebelum makan malam keluarganya, dan kalimat andalan Tsuchiya sepertinya meracuni otak sang remaja. Anak itu berlari menuju stasiun kereta, melarikan diri menuju satu tempat yang sering ia kunjungi bersama Tsuchiya saat keduanya masih SMP.

“… kalau ada waktu untuk tenang, lebih baik kugunakan untuk berlatih!”

Hanya sepuluh menit berselang, Naoki sampai di Sendagaya. Dulu ketika masih SMP, dirinya dan Tsuchiya sering sekali main di area ini. Banyak lapangan basket dan warung-warung. Menjual berbagai aneka makanan ringan.

Naoki dan Tsuchiya bisa sampai puas menghabiskan uang jajan disini. Ketika pulang, mereka berdua sudah kenyang.

Sekarang langkah Naoki terasa enteng menyusuri gang yang sudah ia hapal di luar kepala. Ada satu lapangan basket yang terletak di 2-choume. Penerangannya bagus dan masih dalam kondisi sangat baik. Ketika sampai disana, Naoki bergumam dalam hati.

Akai Ito (Benang Merah Takdir)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang