23. Kirameki Moonlight

7 2 0
                                    

Tachibana Midori mengeratkan mantelnya malam itu. Sesekali menghembuskan napas di depan kedua telapak tangan yang sengaja ia tangkupkan. Agaknya udara kota Tokyo makin dingin menginjak penghujung bulan November. Midori kemudian mendesah pelan, berjalan melewati kerumunan orang di dekat Stadion Gimnastik Tokyo.

Tiba-tiba ponselnya bergetar dan dengan segera ia meraihnya. Wajah Midori berubah lesu ketika membaca pesan yang tertera di layar ponsel. Matanya kini menengadah ke atas, sekali lagi mengeluarkan desah tertahan. Perempuan itu berdecak pelan.

Ayahnya akan berkunjung pada awal Desember nanti. Bilangnya ingin mengunjungi Midori di hari ulang tahun wanita itu. Midori bukanlah pribadi yang menyenangi perayaan ulang tahun, jadi jelas ia malas sekali ketika tahu niat ayahnya. Tetapi Tachibana Tarou, ayah Midori, tidak peduli. Pria itu senang sekali memanjakan putri semata wayangnya meski Midori tidak pernah meminta.

Otou-san….” Lagi-lagi Midori mendesah pasrah, menepuk keningnya. Membayangkan ulah kocak apa lagi yang akan sang ayah tunjukan di depan dirinya.

Usai memikirkan soal pria berusia setengah abad yang masih ada jauh di daratan Pasifik, mata Midori menangkap satu sosok yang dikenalnya. Dengan jaket bomber berwarna coklat, celana jeans dan topi bisbol, berjalan seorang diri. Sepertinya sedang menuju pulang.

Midori tidak tahu jika bibirnya perlahan mengulas senyum. Wanita itu mempercepat langkah mengejar sosok tadi lalu menepuk bahunya. Satu tawa ringan lepas dari bibir mungil si perempuan.

“Naoki-kun!”

Sosok itu menoleh dan kaget melihat Midori di belakangnya. Sambil melepas top bisbol, Yoshikawa Naoki balas menyapa Midori. Takjub karena melihat wanita tersebut di tengah keramaian.

Sensei! Kok bisa ada disini?”

Midori tertawa “Harusnya aku yang tanya begitu. Hmm- jadi hari ini izin tidak ada kelas karena ingin jalan-jalan, ya?”

“Tidak,” kilah si remaja. Pipinya bersemu agak merah. “Aku pergi dengan Tsuchiya. Nonton pertandingan basket, kok.”

“Ah, begitu….” Dilihatnya Midori mengangguk-angguk. “Lalu?”

“Eh?” Naoki menoleh kaget. “Err- apanya?”

Keasyikan mengobrol, mereka secara naluriah berjalan beriringan sambil tetap membawa percakapan barusan. Naoki memakai kembali topi bisbolnya, sembari menggaruk tengkuk dengan canggung.

“Bagaimana persiapanmu melawan tim yang akan kau temui di perdelapan final?”

Kembali, Naoki menggaruk tengkuknya. “Eh, uhm- aku sedang memikirkan soal strategi dengan Tsuchiya tadi …,” Bocah itu berhenti bicara karena Midori menghampiri sebuah stall makanan di pinggir jalan dan membeli dua porsi takoyaki.

Arigatou gozaimasu,” ucap Naoki ketika Midori memberikannya satu porsi takoyaki.

Kini mereka duduk di kursi yang berada di depan toko musik sambil mengunyah.

“Sampai mana tadi, ya?” Midori mengingat-ingat pembicaraannya dengan Naoki sebelum wanita itu kabur membeli takoyaki.

“Aku baru bilang soal strategi, sensei.” Naoki menjawab dengan mulut penuh sehingga kata yang diucapkannya tidak jelas.

Midori tertawa. “Oh, iya. Lalu, kalian ingin terapkan strategi seperti apa? Lawan kalian tentu sekolah yang hebat, kan?”

Dijawabnya kalimat Midori dengan anggukan semangat. “Benar! Kuat sekali!”

“Lawan kami nanti punya sistem pertahanan yang kuat dan sulit ditembus. Belum lagi mereka juga punya shooting guard hebat. Siswa asing!”

Akai Ito (Benang Merah Takdir)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang