Chapter 1

14.5K 330 48
                                    

PseuCom
Pribahasa : Meludah ke langit

Arya Bagaskara tersenyum bangga. Pentas perayaan ulang tahun perusahaan distribusi miliknya terlihat sangat megah tahun ini. Tema kebudayaan Indonesia tersaji apik oleh pelakon dan penyanyi terkenal ibu kota.

"Ayah, sebentar lagi acara puncaknya," bisik sang putri. Anak ayu semata wayang yang baru menginjak usia dua puluh tahun itu tersenyum antusias di sebelahnya. Bangga dapat menyajikan pagelaran pertama yang ia rencanakan tanpa campur ayahnya.

"Memangnya kamu menyiapkan apa?" Tangan sang putri mengamit lengannya. Mata hitam arang warisan darinya berkilat semangat. Belum sempat Arya mendapat jawaban, musik dan lampu-lampu yang menyinari aula padam.

Hiruk pikuk suara tamu undangan mereda. Rasa penasaran dan antusias semakin meninggi. Semua mata tersedot misteri dari panggung yang mendadak gelap. Seluruh penonton sedang menunggu, tidak terkecuali Arya.

Lampu sorot menyala. Menerangi sosok gagah yang berdiri membelakangi penonton di tengah panggung. Kedua kaki terbuka, selendang hitam terlampir pada jemari yang tarangkat lues ke udara. Beskap—baju pria Jawa--merah membalut punggung bidang penari, menimbulkan kontras mencolok di tengah panggung.

Bunyi gamelan sayup-sayup terdengar, disusul alat musik lain yang menyulam alunan gending dari tanah Jawa. Ujung jari penari mulai bergerak, meliuk tegas mengikuti tabuhan.

Senyum tidak lepas dari bibir Arya Bagaskara. Suara gending dan gerak lincah dan tegas sang penari menarik perhatiannya. Tarian gagahan putra dibawakan dengan berbeda, unsur modern ditambahkan pada musik dan gerakan. Dengan hentakan, sang penari berbalik menghadap penonton.

Bunyi napas tertahan terdengar. Gumam kagum mengumandang melihat paras penari yang rupawan. Tidak ada yang menyangka penampilan sang penari. Wajah yang terlalu indah untuk dimiliki seorang pria tersapu rias wajah dan kumis tipis yang menonjolkan ekspresi gagah dari tokoh yang ditarikan.

Senyum Arya membeku. Tatapannya tidak lepas dari wajah penari yang baru saja berbalik. Dadanya bergemuruh, tangannya bergetar tanpa ia sadari. Tidak, tidak mungkin!

Penari latar muncul, lantunan musik semakin cepat. Namun pandangan Arya tak beralih. Penari gagahan putra telah menyedot seluruh atensinya. Perlahan sebuah pengenalan timbul, membawa perasaan-perasaan yang pernah ia pendam menyeruak, menggerogoti akal waras dan pengendalian diri. Tangannya mengepal, penyangkalan masih mendominasi rasa rindu yang mencoba hadir dari kenangan lalu.

Pandangan mereka bertemu. Membuka bendungan kenangan belasan tahun silam. Walau tubuhnya telah meninggi, badannya lebih berisi, tapi Arya tidak lupa, sinar mata yang memandangnya kini masihlah sama. Tidak mungkin ia salah mengenal.

Bayuaji.

Tabu yang coba Arya lupakan.

Arya bangkit. Tergesa meninggalkan tempat duduk dan keluar dari ruangan. Panggilan sang putri tidak ia hiraukan. Anggap ia pengecut, dia sedang melarikan diri.

Langkah cepat Arya berubah lari ketika menelusuri lorong hotel tempat acaranya diselenggarakan.

Kang Arya.

Kakinya terhenti. Suara yang menggema dari masa lalu dan terus menghantui mimpi-mimpinya selama ini bergaung memanggil. Arya menoleh, tapi sosok itu tidak ada di belakangnya. Dia munkin telah mulai gila. Lututnya bergetar, mengancam tidak dapat menahan bobot tubuh. Seorang staf-nya menghampiri, bertanya apa dia baik-baik saja. Setengah sadar Arya menyuruhnya pergi. Dia tidak ingin diganggu. Dia butuh sendiri.

***

Guyuran air dari keran westafel mendinginkan kepala Arya. Napas dan jantungnya mulai terkendali. Arya menatap pantulan dirinya di cermin toilet hotel. Jas hitam dan dasi miliknya telah tergantung di salah satu pintu kubikel toilet. Penampilannya sungguh berantakan, air yang menetes dari rambutnya yang mulai beruban membasahi kemeja biru yang dia kenakan.

Dia tidak lagi memikirkan pagelaran yang mungkin sudah selesai. Arya masih berdoa jika penglihatannya sedang mempermainkannya.

Sungguh ceroboh tindakannya malam ini. Ketenangannya langsung menghilang tersapu keterkejutan bertemu sosok yang paling tidak ingin dia temui.

Mungkin ini balasan. Dosa masa lalunya tiba-tiba muncul di depannya.

"Apa begitu menakutkan bertemu denganku, Kang? Hingga harus lari."

Arya membeku, pantulan sosok dicermin mengirim rasa dingin di punggungnya. Perlahan dia berbalik, berusaha menyembunyikan rasa panik yang menyeruak keluar. Suara yang lebih berat dari yang ia ingat memanggilnya. Sang penari menatap dengan bola mata coklat yang selalu menghipnotis. Tidak memungkinka dia untuk lari.

Masih tidak berubah.

Walau sosok remaja telah berganti pria dewasa, tapi napas Arya tetap tercekat setiap memandangnya.

Arya tersenyum getir. Bagai meludah ke langit, mungkin ini waktunya ludahnya mengenai mukanya sendiri.

Apa yang harus Arya lakukan ketika karma tersenyum di depannya?

bersambung .........

Cerita ini sesuai judulnya mengangkat praktek budaya yang dianggap tabu di mayoritas masyarat tanpa berniat menyinggung kelompok atau individu tertentu.

Sumber informasi cerita diperoleh dari beberapa web, jadi jika terasa ada informasi yang salah, silahkan hubungi saya.

TABOO - Di Balik KelambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang