Chapter 4

5.2K 213 13
                                    

Chapter 4

Pribahasa : Bagai belut diregang

***

Bayuaji bergegas keluar dari sungai. Dengan celana pendek hitam dia berjalan menghampiri Arya. Kedua tangannya terkepal. Semburat merah masih menghiasi wajah dan tubuhnya. Ia malu, tapi kesal juga.

"Jok guyu toh*, Mas!" Ini pertama kali Bayuaji berinisiatif berbicara dengan Arya. Biasanya, remaja ini hanya akan mendengarkan dia berbincang dengan Pak As atau menjawab sekedarnya jika ditanya.

"Kenapa tidak boleh tertawa?" Arya berusaha meredam tawanya.

"Soalnya ndak sopan." Alis Bayuaji menukik, bibirnya yang merah manyun. Mungkin Arya sudah berlebihan.

"Gitu saja nesu*"

"Gak nesu!"

"Bibir manyun gini bilang gak nesu." Arya menacubit kedua pipi Bayuaji gemas.

"Le-lepaskan." Arya senang melihat Bayuaji yang berusaha lepas darinya. Dia jadi ingin terus menggoda remaja ini.

"Aduh!" Karena tidak juga dilepas, Bayuaji mencubit pinggang Arya keras. Lidahnya terjulur mengejek Arya.

"Nantang, ya?"

Mereka bergumul layaknya anak-anak. Arya mengapit leher Bayuaji di ketiaknya, mengusap keras rabut hitam remaja itu. Tak mau kalah, Bayuaji juga menyerang Arya yang bagai belut direngang. Karena tidak bisa menjangkau leher Arya yang jauh lebih tinggi darinya, ia serang tubuh bawah pria itu. Perlahan suara tawa mulai terdengar, tembok sungkan menghilang. Mereka bagai anak-anak yang bermain bersama. Tanpa sengaja sebuah tinju mendarat di selangkangan Arya. Dia langsung terduduk, bibir tergigit menahan nyeri dan wajahnya langsung memucat. Semoga telur burungnya tidak retak.

"Maaf, Mas! Bayu tidak sengaja! Gak apa-apa?" Arya bahkan tidak mampu untuk menjawab. Karena harga diri dan wajah Bayuaji yang memucat, Arya berusaha mengenyahkan rasa sakit yang hanya dirasakan pria sial sepertinya. Dia mengangkat jempol untuk memberi isyarat dia baik-baik saja.

"Enak, Mas?" Bayuaji salah mengartikan.

"Hmpph!! Mana mungkin enak jika burungnya kena tinju?" Arya ingin menjitak pemuda ini. Apalagi ketika pemuda malah terkekeh geli.

Dalam posisi jongkok dan Bayuaji yang berusaha membantunya, Arya dapat melihat tubuh remaja ini dengan dekat.

Tubuh basah yang hanya dibalut celana pendek itu mengkilap basah oleh air. Badan ramping bersih khas remaja yang masih bertumbuh entah kenapa membuat Arya tidak nyaman. Puting merah yang menegang akibat terendam air membuatnya menelan ludah. Dia menunduk, tidak ingin pikiran semakin meliar. Namun dia malah disuguhi pusar dan perut rata yang mengundang jemarinya untuk menyentuh.

Gemblung! Maki Arya pada dirinya sendiri. Dia menggelengkan kepalanya keras. Mungkin perpaduan antara lama tidak mengeloni istrinya dan kesambet setan penunggu sungai membuat pikirannya melantur jauh

"Mas mau ke warung," kelit Arya.

"Tunggu, Mas! Aku ikut." Bayuaji berlari mengambil bajunya. "Ayo, Mas!" Rasa sungkan Bayuaji pada Arya sepertinya telah menghilang. Pemuda itu terlihat lebih terbuka pada Arya. "Mas Arya ingat ya. Jangan bilang-bilang masalah tadi. Awas loh!"

"Masalah apa? Masalah kentut gede?"

"Mas!"

Arya kembali terkekeh. Dasar bocah.

***

Arya dan Bayuaji baru dalam perjalanan pulang dari warung. Celana pendek remaja itu telah kering diterpa terik matahari yang menyengat. Mereka berpapasan dengan seorang siswa berpakaian baju sekolah. Arya menangkap sekelumit rasa iri dari Bayuaji.

"Kamu tidak mau melanjutkan sekolah?"

"Belum, Mas. Bayu masih menabung mengumpulkan uang."

"Sudah dapat banyak?" Arya tergerak untuk membiayai sekolah Bayu. Dia hanya sedang mencari cara untuk membantu tanpa menyinggung Aswono.

"Masih sedikit. Tapi, sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit." Tidak ada kesedihan atau malu ketika Bayu mengucapkannya. Hanya rasa optimis yang telihat.

"Ya sudah. Nanti belikan Mas Arya jam tangan jika sudah jadi bukit." Goda Arya.

"Emoh. Tidak mau."

Percakapan mereka terhenti. Dua buah truk lewat di samping mereka dan berhenti. Jarang sekali angkutan besar seperti ini masuk ke jalan desa mereka yang tidak beraspal.

Seorang pria turun dari kursi penumpang truk. Bayuaji langsung mencengram lengan Arya ketika melihatnya. Pria itu tinggi besar. Badannya lebih kekar dari Arya. Dia memakai pakaian hitam tak berkancing, menampilkan dada dan perut si pria. Wajahnya tak kalah garang dari perawakannya. Jenggot dan kumis tebal menghiasi wajah, matanya tajam, dan ada semacam tali putih di lehernya. Pria dengan udeng—ikat kepala-- itu menghampiri mereka.

"Di mana rumahnya Aswono?" Suaranya rendah dan dalam. Pandangannya tak lepas dari Bayuaji.

Bayuaji semakin erat memegang lengan Arya. Dia takut.

Bersambung ....

*nesu = ngambek
* jok guyu to = jangan ketawa
* moh = ngak

TABOO - Di Balik KelambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang