Chapter 10

3.2K 163 2
                                    

Pribahasa: Berakit ke hulu, berenang ke tepian, bersakit dahulu, berobat kemudian..

Banyak warga berdesakan memebentuk lingkaran di depan panggung. Musisi mulai memainkan musiknya. Di tengah lingkaran,  ada banyak topeng berbeda bentuk di sejajarkan di depan seorang pria berpakaian hitam. Bibirnya berguman membacakan mantra-mantra yang terdengar lirih.

Tidak ada yang berani  mengganggu, ketika Ki Darma dalam pakaian waroknya melakukan ritual sebelum topeng-topeng itu digunakan dalam pementasan.

Bau menyan dan dupa menguar ke udara, membuat Arya teringat kisah yang mengawali munculnya kesenian ini.

Versi paling terkenal dari kemunculan reog adalag karena pemberontakan Ki Ageng Kutu pada masa kerajaan Majapahit yang di pimpin oleh Bhre Kertabhumi.

Ki Ageng yang mengabdi pada raja,  marah karena besarnya pengaruh istri raja yang berasal dari Tiongkok dan banyaknya korupsi yang terjadi pada waktu itu. Kesenian reog sendiri,  merupakan upaya Ki Ageng untuk mengkritik pemerintah Majapahit.

Arya mengusuk rambut ikal Bayuaji, pemuda itu menekuk wajahnya seperti selesai dipaksa menelan jeruk nipis utuh. “Sudah, jangan masam gitu wajahnya.”

“Ngak masam,” sangkal pemuda itu. Berbagai perasaan antara malu dan penasaran bercampur aduk melihat Ki Darma. Baru sekali Bayu memergoki orang bercinta, itupun pasangan sejenis. Dia tidak tahu harus bagaimana.

Arya kembali memperhatikan bagaimana kini para penari mulai bersiap-siap setelah upacara selesai. Secara garis besar, Arya paham cerita yang akan mereka bawakan. Tarian reog menceritakan tentang Raja Ponorogo yang dicegat oleh pasukan Singabarong ketika akan melamar Dewi Ragil Kuning, putri dari kerajaan Kediri. Pasukan Raja Singabarong yang terdiri dari merak dan singa, digambarkan oleh topeng dadak merak atau barongan. Sedangkan, dari pihak Raja Ponorogo, ada Bujang Ganong yang menggambarkan patih kocak dan di kawal oleh warok.

Arya kembali memperhatikan Ki Darma yang kini telah lengkap menggunakan pakaian waroknya dan ikat pinggang putih. Sosok warok yang tidak lagi muda itu memancarkan aura yang membuat orang segan. Tidak ada sama sekali tanda-tanda seorang penghibur pada dirinya, begitu melihatnya, Arya dapat melihat keteguhan hati. Bahkan setelah tahu pria itu melakukan hal tabu, dirinya tidak dapat mencibir. Jika orang itu mengatakan jika dia benar-benar memiliki ilmu hitam dan sakti mandraguna bagai dalam lakon tarian reog, mungkin Arya yang skeptis akan mempercayainya.

Seorang pria tinggi dengan tubuh kurus dan padat mengambil ancang-ancang. Dipasangnya topeng dadak merak dan dengan sekali coba, dia mengangkat topeng yang beratnya mencapai puluhan kilo itu dengan begitu mudahnya. Topeng singa dengan bulu-bulu merak asli di sekitarnya terangkat ke dengan gagahnya. Bayuaji yang melihat hanya dapat mengaga.

“Mas, topengnya ringan, ya?” tanya Bayuaji.

“Ngawur, lebih berat topeng itu daripada kamu.”

“Masa, Mas? Bapaknya kuat sekali, ya? Diangkat pakai gigi gitu. Apa nanti Bayu bisa sekuat itu, ya?” Mata pemuda itu melebar, dia merasa takjub dengan pria yang kini mengoper topeng dadak merek pada kawannya seperti tanpa beban.

“Ngimpi kamu.”

“Siapa tahu, Mas. Berakit ke hulu, berenang ke tepian, bersakit dahulu—

“Berobat kemudian,” potong Arya. “Kamu ini ikutan seperti tukang pentol goreng saja.”

Topeng-topeng sudah di singkirkan, petugas keamanan mengintruksikan penonton untuk memperlebar ruang. Musik tabuhan gendang dan tiupan terompet tradional mengumandang, derap kaki penari memasuki arena.

Entah mungkin suratan, sejak langkah kaki pertama para penari dengan kuda kepang berlari ke dalam tempat pertunjukan, Bayuaji tidak bisa mengalihkan perhatiannya. Lentik tangan yang menari dan derap kaki yang melangkah memunculkan luapan semangat dalam dirinya.

Rasanya, dia ingin ikut menari.

Bersambung ……………




TABOO - Di Balik KelambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang