Pribahasa : Ibarat ayam, tiada mengais tiada makan.
Arya benar-benar lupa. Perasaan menekan yang menghimpit dadanya ketika datang tidak lagi terlalu dia pikirkan. Apalagi ditemani Bayuaji, pemuda itu berhasil membuat Arya selalu tertawa. Begitupula pagi ini.
"Mas! Berhenti tertawa!" ucap Bayuaji dengan air mata menggenang dan bibir merengut marah.
"Jad—jadi ini yang membuatmu tidak keluar-keluar dari kamar mandi?" Dalam kamar mandi berukuran dua kali satu setengah meter dengan dinding ayaman bambu itu berdiri Bayuaji yang telanjang dengan tangan menutupi selangkangan.
"Jangan ketawa toh, Mas. Burungku ini kok bisa begini?" Arya kembali tertawa.
"Jangan tutupi, coba lihat lagi." Dengan sedikit malu, Bayuaji menurunkan tangannya. Benda hampir berwarna pink di selakangan Bayuaji itu berdiri menantang dan keras.
Sebenarnya Arya tidak heran, bagaimana pemuda polos ini tidak mengerti reaksi tubuh yang kadang dialami pria. Pemuda yang ramping dengan kulit bersih itu baru kemarin mengalami mimpi basahnya, wajar jika dia tidak juga mengerti dengan kondisinya sekarang.
"Jadi ini gimana, Mas?" tanya Bayuaji. Rasa sesak di selakangannya sungguh menyiksa. Dia tidak tahu kenapa burungnya mengeras, dengan menahan malu akhirnya dia memberanikan diri bertanya pada Arya, dia bertanya apa burungnya terkena gigikan kutu kasur waktu tidur sehingga membesar dan kaku? Bukan jawaban yang diterima, tapi tertawaan yang di dapat.
Arya mencoba bersimpati, tapi ekspresi ingin menangis Bayuaji benar-benar terlalu sayang untuk dilewatkan. "Harus diatasi itu. Jika tidak, bisa putus burungmu."
"Mas Arya ini jangan nakut-nakutin." Bayuaji mulai menyesali keputusannya memanggil Arya. Mungkin harusnya dia menunggu kakeknya pulang saja untuk bertanya. "Terus ini diapakan, Mas?
"Disunat." Bayuaji benar-benar menitikkan air mata.
Arya menahan tawanya. Dirinya ingin menjelaskan apa yang harus Bayuaji lakukan untuk mengatasi keadaan, tapi melihat wajah Bayuaji yang memerah dan matanya yang berkaca-kaca, timbul keinginan untuk melihat bagaimana pemuda itu akan bereaksi dengan pengalaman pertamanya nanti. "Mau Mas Arya bantu?"
Tanpa pikir panjang Bayuaji mengangguk.
Arya sempat ragu, tapi rasa penasarannya menang. Perasaan ketika dirinya mengambil tempat di belakang Bayuaji dan perlahan menyentuh tubuh remaja polos itu, mengingatkannya pada perasannya ketika remaja, rasa gugup ketika melakukan hal yang salah tapi tidak bisa menolak godaan. Arya terkejut dengan sensasi lembut ketika mendekap tubuh Bayuaji. Kulit pemuda itu lebih lembut dari yang dia perkirakan.
Bayuaji bergetar, perasaan tidak nyaman membuncah ketika Arya mulai menyentuh kelaminnya dan mulai mengocoknya. Penis remajanya yang tidak pernah disimulasi sedemikian rupa, mengirim sinyal yang membuat tubuhnya bergerak gelisah dalam dekapan Arya.
Arya terus mengocok penis pemuda itu. Dia memperhatikan setiap perubahan ekspresi dari Bayuaji. Bagaimana bisa wajah yang memerah, bibir yang sedikit terbuka dan mata yang terpejam dari pemuda yang pertama kali merasakan nikmat seksual itu terlihat lebih cantik dari wanita manapun yang pernah Arya temui?
Tubuh dalam dekapan Arya tersentak, cairan kental muncrat membasahi tangannya. Arya langsung menarik diri. Menyadari tindakannya yang terlau jauh.
Bayuaji menatap Arya nanar, pemuda itu masih mencoba beradaptasi dengan rasa yang baru dia kecap.
"Lakukan itu jika terjadi lagi," gumam Arya sebelum meninggalkan Bayuaji. Dia harus memberikan otaknya waktu mencari alasan untuk membenarkan tindakannya.
"Jok ngalmun wae,"
"Eh? ... Ah iya, Pak Kar." Lamunan Arya mengenai kejadian tadi pagi terputus oleh terguran Pak Karsono—pedagang pentol goreng—yang telah menjadi teman mengobrolnya.
"Ngelamun opo to?"
"Ngak ada, Pak."
"Ngak ada apa ngak mau cerita?" Pria itu duduk di kursi pelastik di sebelah Arya. Dirinya, selain membawa rombong pentol goreng bercat hijau miliknya, juga selalu membawa dua kursi pelastik yang dia tawarkan kepaga konsumennya jika mereka ingin istirahat.
"Besok, Pak Kar jualan di sini lagi?"
"Alah, mengalihkan pembicaraan. Ibarat ayam, tiada mengais tiada makan, jika saya besok ngak jualan, gimana saya bisa ngasih belanja istri?" Pak Kar mengambil handuk kecil yang terlampir di pundaknya, mengelap keringat yang membanjir hawa panas.
"Mas!"
Pemuda dengan rambut bergelombang yang kini acak-acakan dipermainkan angin itu melambai dari tengah lapangan memanggil Arya. Tidak dapat dipungkiri, penampilan si pemuda menarik beberapa pasang mata pengunjung lain untuk ikut terkesima. Tapi, ketika Karsono melihat kawan berbicaranya, dia hanya dapat terkekeh. Andai yang dilihat Arya itu adalah seorang wanita, Karsono pasti mengatakan jika pria itu sedang jatuh cinta.
Bersambung ......
KAMU SEDANG MEMBACA
TABOO - Di Balik Kelambu
General FictionArya tidak pernah melanggar norma. Taat pada aturan dan menghindari tabu. Namun keteguhannya diuji. Sosok dari masa lalunya muncul. Mengulik kenangan yang ingin dia lupakan. Menghadirkan rasa yang tidak ingin ia kecap lagi... Apa yang harus Arya l...