Pribahasa : Ada aku dipandang hadap, tiada aku dipandang belakang
***
Kehidupan di desa, jauh lebih menyenangkan dari dugaan Arya. Lebih tepatnya, benar-benar menenangkan bagi pikirannya yang sedang penuh. Jujur, alasan yang ia berikan pada Aswono tidak sepenuhnya benar. Dia sedang lari. Kehidupannya di ibu kota telah menekan Arya hingga ia tidak bisa lagi tidur nyenyak.
Arya terlahir dari keluarga menengah atas, walau tidak pernah mengalami kekurangan, dan orang tuanya bisa memenuhi keinginan-keinginan Arya. Namun, semua itu tidak bisa dibandingkan dengan keluarga istrinya, Eva.
Istrinya lahir di keluarga pengusaha yang dekat dengan orang pemerintahan dan terbiasa hidup di antara kemawahan. Bahkan krisis ekonomi yang melanda seluruh negeri, tidak mampu mengeringkan kekayaan keluarga Eva. Awalnya itu tidak mempengaruhi kehidupan pernikahan mereka. Arya hanya harus bertahan dengan sindiran sinis yang biasa diberikan mertua. Dia menganggap ini wajar, apalagi sejak awal mereka tidak terlalu setuju dengan hubungannya. Namun, setelah manis bulan-bulan awal pernikahan, sifat istrinya yang tidak bisa lepas dari kemewahan membuat Arya kewalahan. Permintaan-permintaan sang istri mulai tidak bisa dia penuhi. Perlahan istrinya mulai kembali meminta sokongan dana untuk kebiasaanya, membuat mertuanya mulai campur tangan dalam urusan rumah tangga mereka.
Ada aku dipandang hadap, tiada aku dipandang belakang. Bukan sekali dua kali Arya mendengar selentingan jika mertuanya mengatakan bahwa Arya tidak mampu memenuhi kebutuhan istrinya. Lama-kelamaan hal itu membuatnya merasa kerdil, mengikis sedikit demi sedikit harga diri Arya. Lalu masalah memuncak ketika perusahan yang baru dia rintis selama tiga tahun limbung. Ketika dia banting tulang ingin membuktikan diri jika dia pantas dan dapat mengatasi masalahnya dengan kekuatannya sendiri, tanpa berbicara pada Arya, istrinya menerima dana dari ayahnya. Dalam sekejap masalah dana perusahaannya teratasi, tapi tidak dengan harga diri Arya. Jangan terlalu keras kepala, apa salahnya menerima uang dari Papa? Uang sebanyak ini, kamu tidak akan bisa mencarinya kemanapun juga. Toh, memberikan saham perusahaan pada mertuamu sendiri sebagai balasan itu bukan apa-apa. Arya hampir menampar wanita yang telah memberinya seorang putri itu karena murka.
Daripada memperkeruh suasana, Arya memilih menghindar. Dan mencari alasan pergi sejauh mungkin.
Dengan harga diri terluka, Arya teringat Aswono. Pria yang begitu mengenal jalur dan selalu memberinya nasihat. Lelaki yang bisa memelintir pribahasa menjadi Gorila di pelupuk mata tak terlihat, eek di seberang samudra kelihatan ketika marah dan membuatnya tertawa. Terkadang, dalam ucapan kasar pria baruh baya itu teselip kearifan, sedikit banyak mengingatkannya pada mendiang ayahnya.
Arya sedang menelusuri jalan berdebu yang diapit pepohonan rindang dan sawah untuk ke toko kelontong ketika telinganya menangkap suara gelak tawa dan percikan air. Rasa penasaran membuatnya masuk mengikuti jalan setapak kecil ke dalam di deretan pohon bambu duri di sebelah kanannya. Dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari jalan besar, ternyata terdapat aliran sungai sebening embun. Arya bahkan bisa melihat bebatuan dan ikan-ikan di dalam sungai.
"HYAA!"
Arya langsung mencari arah teriakan melengking yang mengagetkanya. Dari dahan tinggi pohon ara yang melintangi sungai, sesosok tubuh terjun berputar dan membelah ketenangan air. Sosok itu muncul kembali kempermukaan, lesung pipit terbentuk ketika sang empu tertawa senang. Berkali-kali ia menyelam dan membuat kecipak di permukaan air.
Bayuaji. Arya mengenali remaja itu.
Bagai Jaka Tarub, Arya tidak menampakkan dirinya. Dia memperhatikan dari balik rimbunan bambu ketika remaja tiga belas tahun itu bersenang-senang sendiri dengan berenang. Mendengar tawa dan kebahagiaan sederhana di wajah indah sang pemuda, hati Arya menghangat. Dari permukaan, sepertinya tidak ada masalah yang bisa menyentuh pemuda yang sedang berenang itu.
Sekelumit sendu merayapi hati Arya. Kemarin dia bertanya, kenapa Bayuaji masih berada di rumah walau sudah masuk waktu sekolah. Dan Pak As mengatakan dengan tawa kering jika pemuda itu telah putus sekolah. Arya tidak meneruskan pertanyaannya. Meilihat pria tua itu langsung mengalihkan pembicaraan, dia tahu jika Aswono tidak ingin membicarakan keadaannya yang tidak mampu untuk membiayai sekolah cucunya.
Perhatian Arya kembali pada Bayuaji yang berendam hingga sebatas dagu. Tiba-tiba pemuda itu mengernyit, matanya terpejam, bibirnya terkatup dan berkedut-kedut. Sedang apa pemuda itu?
Blump ... blup ... blup ....
Gelembung-gelembung besar muncul di depan wajah Bayuaji. Ekpresinya berubah, hindungnya mengernyit, mengendus sekejap lalu telunjuk dan jempol terangkat mencubit hindungnya yang bangir.
Seketika Arya tertawa terbahak-bahak. Dia tidak lagi sembunyi. Pemuda aneh. Sudah lama ia tidak tertawa seperti ini.
"Ma-Mas Arya ..." Bayuaji membeku, acara mandi solonya tiba-tiba terusik suara tawa dari tamu mbah-nya. Dia hanya terbengong melihat pria tampan dengan hidung mancung dan mata tajam itu tertawa hingga terbungkuk-bungkuk.
"Ganteng-genteng, kentutmu gede juga, ya? Gimana? Harum?" ucap Arya.
Wajah Bayuaji terbakar. Seluruh wajah hingga tubuhnya memerah. Rasanya ia ingin tenggelam.
"MAS ARYA!!" teriak Bayuaji kesal.
Bersambung .....
KAMU SEDANG MEMBACA
TABOO - Di Balik Kelambu
General FictionArya tidak pernah melanggar norma. Taat pada aturan dan menghindari tabu. Namun keteguhannya diuji. Sosok dari masa lalunya muncul. Mengulik kenangan yang ingin dia lupakan. Menghadirkan rasa yang tidak ingin ia kecap lagi... Apa yang harus Arya l...