Chapter 2

8.3K 249 17
                                    

Pribahasa : Ayam berkokok hari siang


"Kenalkan, ini cucu saya, Bayuaji."

Arya terpana. Hingga usianya yang kedua puluh empat, baru kali ini ia menemui pemuda yang membuatnya kehilangan kata-kata. Dia tidak dapat lepas dari pandangan mata coklat dengan bulu mata lentik yang baru ia temui. Tuhan pasti sendang berbahagia sehingga menciptakan pemuda seindah lukisan di depannya.

"Ayo, Aji. Beri salam pada Mas Arya." Pemuda yang tidak lebih tinggi dari dada Arya itu tersenyum, menampilkan sepasang lesung pipi yang membuatnya membuka mulut tanpa sadar.

Bayuaji yang baru berusia tiga belas tahun itu, mendekat dan mengamit tangannya. Mencium punggung tangannya yang sedikit bergetar. Sensasi lembut membelai punggung tangannya.


"Pak As. Ini cucu, Panjenengan*?" tanya Arya sangsi. Aswono, pria yang telah menginjak usia lima puluh tahun itu tersenyum maklum. Bukan sekali dua kali kenalannya kaget dengan cucu tunggalnya ini. Aji memang memiliki paras yang teramat rupawan, sering salah dikira perempuan, dan sangat bertolak belakang dengan dirinya yang gemuk dan hitam.

"Ya iya, ini cucu saya. Ganteng, to?" Telapak tangan gemuk Aswono menepuk sayang punggung cucunya. "Le*, buatkan kopi untuk Mbah* dan Mas Arya ya?"

"Enggeh*, Mbah." Arya menatap punggung kecil pemuda itu hingga menghilang di balik pintu. "Ayo, jangan dilihati terus. Nanti naksir repot loh."

"Pak As, bisa saja." Arya menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Kembali duduk di kursi kayu yang tersedia. "Cucu jenengan calon pembuat patah hati wanita Pak."

Gelak tawa terlontar dari pria tua itu. "Bukan calon lagi, Mas. Anak sebelah desa sudah dibuat patah hati, dia pernah naksir Aji. Dikira perempuan." Pria tambun itu terkekeh geli mengingat pemuda desa sebelah yang langsung pucat ketika mengetahui cucunya adalah pria. "Aji sungguh mirip ibunya."

Sinar mata Aswono meredup. Hal ini tidak luput dari perhatian Arya. Putra dan menantu Aswono telah meninggal akibat kecelakaan. Meninggalkan anak yang kini dalam asuhan Aswono.

"Jadi, ada apa Nak Arya mencari saya?"

"Saya ingin menerima tawaran, Pak As. Dulu Bapak pernah menawari saya untuk tinggal di tempat Bapak jika ke kota ini."

Aswono meneliti pria di depannya. Dia mengenal Arya ketika menjadi supir truk di salah satu pelabuhan di Jakarta setahun lalu. Mereka sering berbincang-bincang jika ada waktu. Aswono juga tahu, Arya menikah dengan putri dari pemilik perusahan tempat Aswono bekerja. Dia saja masih heran kenapa Arya mau berbicang-bincang dengan orang rendahan sepertinya.

Tapi kenapa tiba-tiba pria ini ingin tinggal di desanya ratusan kilometer jauhnya dari ibu kota?

"Ayam berkokok hari siang. Seperti kata saya dulu, Mas boleh tinggal di tempat saya kapan pun Mas mau. Saya lebih dari senang, Mas Arya mau tinggal di gubuk saya ini, tapi ..." Aswono berhenti sejenak, dia minimbang apa pertanyaan selanjutnya lancang atau tidak. " ...tapi kalau boleh tahu, kenapa tiba-tiba Mas Arya ingin tinggal di sini?"

Tentu Aswono akan mengijinkan pria ini tinggal bersamanya. Arya sudah banyak membantu Aswono. Pria ini mengutus orang untuk membantunya mengurus pemakaman putra dan menantunya yang meninggal di pulau Sumatra. Serta memberi dia pesangon yang jauh lebih cukup untuk menjemput Bayuaji dan tinggal bersamanya di sini.

"... Saya sedang mempertimbangkan untuk membuka perusahaan distribusi. Pak As sudah berulang kali berkeliling Jawa waktu jadi supir. Jadi saya ingin belajar lebih banyak tentang rute-rute dan jarak tempuhnya," jawab Arya.

Jika hanya ingin belajar itu, Arya tidak perlu mencari Aswono hingga ke desa di Jawa Timur ini. Dia yakin, banyak yang lebih paham tentang itu daripada Aswono. Namun, alis yang mengerut dan sinar mata Arya yang meredup, membuatnya wurung bertanya. Sepertinya kawan yang jauh lebih muda darinya ini sedang dilanda masalah yang pelik.

"Kalau begitu silahkan, Mas Arya boleh tinggal sampai kapanpun di rumah ini. Tapi mohon maaf sebelumnya, loh, di sini banyak nyamuk."

"Terima kasih, Pak."

"Mbah, ini kopinya." Bayuaji datang dengan nampang berisi kopi yang mengepul.

"Sini, letakkan di meja sini, Le."

Dalam pahit manis kopi yang disesap pelan, kisah Arya dimulai. Tabu akan tersaru, dan batas melebur jadi abu.

Bersambung......

*Panjenengan = anda

*Mbah = panggilan kakek atau nenek

*Le = panggilan anak lelaki
*Monggo = silahkan

TABOO - Di Balik KelambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang