Chapter 5

4.7K 219 21
                                    


Pribahasa : Cacing menelan naga.

***

"Di mana rumah Aswono?"

Mendengar nama kakeknya disebut, Bayuaji memberanikan diri menatap pria berpakaian serba hitam di depannya. Tangannya masih mencengkram lengan Arya erat. Dia takut, namun juga penasaran. Bayuaji baru kali ini menemui orang yang bukan hanya berpenampilan tidak biasa, tapi juga membuatnya gelisah.

Arya memperhatikan, pria yang bertanya ini tidak mengindahkannya. Pria itu langsung bertanya pada Bayuaji. Padahal, jika dilihat Arya lebih dewasa dan lebih terlihat kompeten untuk menjawab pertanyaan itu.

"Maaf, kalau boleh tahu, ada perlu apa dengan Pak As?" tanya Arya. Arya menunggu jawaban. Nihil. Pria itu masih tetap hanya memperhatikan Bayuaji. Arya bagai kasat mata.

"Kamu cucu Aswono." Terdengar lebih seperti pernyataan dari pada pertanyaan. Bagaimana orang ini bisa menyimpulkan jika Bayuaji cucu pak As? Dilihat dari dari mana saja Bayuaji tidak mirip sama sekali dengan Aswono. Arya menolah pada pemuda di sebelahnya, kelihatannya Bayuaji juga sama bingungnya dengan dirinya dan sama sekali tidak mengenali pria ini.

Bayuaji mengangguk pelan.

"Jangan takut, Le. Ki Ageng Darma ini ngak makan Cah Ganteng sepertimu." Berewok itu bergetar, dada kekar naik turun mengiringi tawa. Sepertinya, dia tahu jika Bayuaji takut. "Jadi, bisa antar ke rumahmu?"

***

Bayuaji sempat menduga pria yang dia temui di jalan tadi adalah rampok. Tokoh jahat yang sering digambarkan oleh ayahnya ketika mendongeng. Ternyata dia salah, pria itu kenalan mbahnya. Bayuaji bertanya-tanya ketika mbahnya menyambut orang itu dengan kekagetan dan kegembiraan yang kentara. Mbahnya bahkan salim dengan orang itu, padahal kakeknya terlihat lebih tua dari pria itu.

"Jadi ada apa, Ndoro mampir ke gubuk saya ini?" tanya Aswono pada tamu yang sedang meneruput kopi di ruang tamunya. Sekali lagi dia dikejutkan dengan kehadiran tamu tak terduga. Warok Darma datang bersama rombongan reognya.

"Ada undangan pentas mantenan putrinya Pak Soleh. Dia sewa reog selama 7 hari."

Aswono memang mendengar akan ada pesta besar pada pernikahan putri orang paling kaya di desa sebelah itu. Namun, yang membuat Aswono heran adalah kemunculan Warok Darmo sendiri. Beliau adalah pemilik Paguyuban Lagen Cayapata, sanggar kesenian reog yang sangat disegani. Dan, dipercaya merupakan seorang 'warok', bukan warokan yang sering tampil menari di acara kesenian reog dan menjadi penghibur, tapi warok asli yang memiliki ilmu kebatinan yang tinggi. Aswono beberapa tahun lalu pernah menjadi supir yang bekerja pada Ki Darmo, biasanya Ki Darmo jarang sekali ikut pada pagelaran seni reog kelompoknya secara langsung.

"Aku mimpi kamu selama beberapa hari, As. Karena itu, ketika ada tawaran pentas di dekat tempat tinggalmu, aku memutuskan ikut."

Mimpi Ki Darma tidak bisa dianggap enteng, lelaki itu memiliki ilmu batin yang tidak bisa dimengerti oleh orang biasa seperti Aswono. Dia telah berkali-kali melihat hal-hal di luar batas logika manusia ketika bekerja padanya. Aswono menyaksikan sendiri bagaimana sang warok terkena bacokan parang tanpa luka sedikitpun, memeberitahunya tentang mimpi mengenai cacing yang menelan naga seminggu sebelum presiden yang telah memerintah berpuluh-puluh tahun di lengeserkan oleh rakyat dan cerita-cerita lain kemudian hari benar-benar terjadi. Sehingga, ketika Ki Darma berhasil meringkus tujuh perampok bersenjata yang nekat masuk ke rumah sang Warok dengan tangan kosong, tidak ada lagi abdinya yang heran.

Lamunan Aswono terganggu dengan munculnya seorang pemuda berperawakan bersih, berkulit putih dengan garis wajah halus, sangat tampan dengan mata sipit dan hidung mancung. Jelas bukan keturunan Jawa, pemuda itu lebih mirip aktor silat dari China. Sepertinya sepantaran dengan Arya.

"Ki, sudah mau sore. Kapan kita ke rumah Pak Soleh?" Aswono tidak luput melihat tangan Ki Darma yang dengan luwes mengamit tangan pemuda itu.

"Ngger, kamu bawa mereka dulu ke rumah Pak Soleh untuk meletakkan perlengkapan dan istirahat. Biar Wagiman yang mengurus mereka di sana. Setelah menemui Pak Soleh, segera kamu kembali ke sini." Darma tahu anggotanya bisa mengurus pementasan sendiri, mereka tidak akan merepotkan orang. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, telah ia tanamkan pada pada semua anggotanya.

"Iya, Ki."

Setelah pemuda itu undur diri, kedekatan Ki Damar dan pemuda itu memunculkan tanda tanya dalam diri Aswono.

"Dia Liam, gemblakku."

Warok itu seperti menjawab pertanyaan yang belum sempat Aswono lontarkan.

Aswono membuka mulutnya untuk bertanya tapi dia urungkan. Aswono tahu apa itu gemblak. Bukan hal yang aneh jika warok memelihara gemblak. Warok yang ingin mempertahankan ilmunya tidak diperbolehkan bercinta dengan wong wadon–perempuan—walau istrinya sekalipun. Maka warok memelihara gemblak, untuk dirawat, disayang dan untuk dikeloni.

Makin lama, praktik ini makin ditinggalkan. Terbentur norma masyarakat yang mulai mengecam budaya yang dianggap tabu. Sebenarnya, bagi warok seperti Darma, tidak aneh jika memiliki satu dua gemblak.

Aswono dia masih heran, praktek gemblak memang tidak dapat lepas dari budaya warok. Tapi setahu Aswono, Ki Darma yang tidak pernah beristri karena memang  berpantang menyentuh wanita, tidak pernah mengangkat ‘gemblak’. Dan, seumur-umur baru kali ini Aswono melihat gemblak keturunan China.

Bersambung .....

Ndoro = Tuan

Ngger = panggilan untuk anak lelaki

Gemblak = pemuda, biasanya berusia belasan yang dipelihara warok untuk kelanggenan. Karena mereka percaya jika warok akan kehilangan kesaktiannya jika berhubungan fisik dengan perempuan, walau istrinya sekalipun.

Iya, ini praktek yaoi beneran dalam kebudayaan warok.

TABOO - Di Balik KelambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang