Chapter 22

5.2K 203 87
                                    


Chapter 22

Pribahasa : Gaharu dibakar kemenyan berbau. (Seseorang yang memperlihatkan kelebihan yang dimiliki dirinya agar dipercaya oleh orang lain)

Aswono memacul pematang sawah untuk memberi jalan bagi air irigasi yang akan mengairi sawah milik orang yang memburuhnya. Gaharu dibakar kemenyan berbau, Aswono dengan cekatan dan tanpa mengeluh memperlebar celah air. Dirinya baru tersenyum lega ketika air dari irigasi mulai membanjiri sawah yang akan sesera ditanami.

"Pak As! Sini makan dulu!" Di bawah rindang pohon waru, Pak Qomar—tetangga Aswono—melambaikan tangan memanggilnya.

Aswono menaruh cangkul, dan menghampiri Pak Qomar dan istrinya. Ada seorang lagi yang sedang membuka bekal, dia juga adalah tetangga Aswono dan berprofesi sebagai buruh sawah seperti dirinya.

"Kopi dulu, Pak."

Aswono menerima cangkir berisi cairan hitam yang mengepul dari Pak Qomar. Inilah salah satu hal yang tidak pernah Aswono temui ketika bekerja di kota. "Wah, terima kasih," ucap Aswono.

"Mengairi sawah, Pak As?" tanya Istri Qomar. Wanita gemuk yang memasuki usia 40 tahun itu membagikan piring seng pada masing-masing orang.

"Iya, Bu Qom. Tinggal yang ini saja."

"Pak As ini kayak ndak ada capeknya, malam kadang nunggu sawah siap panen, paginya sudah macul di sawah," ucap Pak Qomar.

"Gimana lagi, Pak. Kalau ngak kerja ngak makan nanti saya dan Bayuaji." Aswono mengangguk pada Bu Qomar sebagai ucapan terima kasih ketika wanita itu mengambilkan secentong besar nasi pada piring yang dia pegang.

"Ngak usah kerja keras-keras, Pak. Kan sebentar lagi Pak As bakal dikirimi sapi." Buruh sawah bernama Kardiman yang sejak tadi diam itu tertawa dengan ucapannya sendiri. Pak Qomar dan istrinya tampak tidak enak dengan perkataan itu.

"Sapi dari mana, Man. Ayam saja ngak punya." Aswono menyesap kopi dalam cangkirnya, merasa lega ketika pait kopi dan manis gula memenuhi indra pengecapnya.

"Man, sudah jangan ngomong ini lagi," tegur Pak Qomar.

"Ngak apa-apa, toh, Pak. Orang kampung juga sudah pada tahu," Pria yang kurus ceking dengan kulit hitam itu mengambil centong dari Bu Qom, tanpa malu dirinya mengambil nasi hingga piringnya penuh. Ikan pindang dan sayur asem tidak luput dari incarannya. Tanpa memikirkan orang-orang lain, dirinya mengambil ikan dan sayur hingga piringnya hampir tidak bisa menampung makanannya.

"Tahu apa?" Aswono menyesap kembali kopi di cangkir miliknya.

"Tahu kalau Bayuaji mau dipinang warok. Jadi Pak As minta sapi berapa ekor untuk kontrak gemblak Bayuaji?"

Cangkir yang hendak Aswono sesap terhenti di depan bibirnya. Wajah tua penuh keriputnya tercenung sekejap. Kemarahan menjalar hingga kulit wajah wajah semakin menghitam. Dengan kasar diletakkannya cangkir dan piring yang dia pegang.

"Jaga congore Sampean. Memangnya siapa yang mau jadi gemblak."—mulutnya kamu—Aswono berdiri. Dadanya kembang kempis menahan marah yang hampir meletup.

"Ngak usah ngelak Pak. Orang-orang sudah lihat semua, cucune sampean sering bareng sama warok itu. Kalau ndak percaya, Pak As lihat sendiri di lapangan. Ndak usah malu, harusnya bersyukur punya cucu ganteng gitu, bisa bantu-bantu buat makan jenengan."

"ASU!"—anjing—Aswono menerjang Kardiman. Pak Qomar dengan sigap memegangi Aswono. Bu Qomar berteriak-teriak dan memaki Kardiman yang telah menyulut emosi Aswono. Dengan badannya yang gempal dirinya mengusir Kardiman untuk menjauh dari Aswono yang sedang kalap.

.

.

Aswono bergegas pergi ke arah lapangan. Dia ingin membuktikan jika perkataan ngawur Kardiman hanya isapan jempol belaka. Tapi, pemandangan Bayuaji yang di panggul Ki Darma lah yang dia temui. Cucunya dengan senyum lebar menari di atas punggung Ki Darma.

Aswono tercenung, dirinya hanya diam hingga cucunya pergi menyusul Arya. Aswono berjalan ke arah Ki Darma, yang kini masuk ke bangunan gudang yang memeliki ruang kecil tempatnya beristirahat. Begitu Aswono membuka pintu yang tidak tertutup sempurnya, dirinya melihat Ki Darma sedang berbicara dengan Liam.

Begitu pria itu melihat Aswono, Liam menunduk dan meminta ijin untuk pergi. Tapi, Aswono masih bisa menangkap mata merah pria itu sebelum meninggalkan Aswono dengan Ki Darma.

"Ada apa, As?" tanya Ki Darma.

Jika tadi dia dipenuhi emosi ketika mencari Ki Darma, sekarang Aswono malah tidak bisa berbicara. Pertanyaan-pertanyaan meminta penjelasan dalam kepalanya tercekat di tenggorokan. Bagaimana dirinya dapat mengutarakan maksudnya tanpa terlihat kasar pada orang yang sangat dia hormati dan berutang budi?

"Ki ... Bayuaji ...."

Ki Darma menghela napas panjang. Melihat Aswono datang kepadanya dengan lumpur masih menempel di kaki dan bujunya, dia dapat menerka apa yang akan pria itu katankan padanya.

"As, apa boleh aku bawa Bayuaji?"

Yang Aswono takutkan terjadi. Andai Ki Darma hanya meminta nyawanya saja, itu akan lebih mudah.

Bersambung .......

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 22, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TABOO - Di Balik KelambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang