Chapter 17

2.9K 150 2
                                    

Pribahasa : Ibarat rumput yang sudah kering, ditimpa hujan segar kembali.

Sekali mengecap nira, lebah akan kembali mencari bunga. Bayuaji tidak bisa tenang dalam pembaringan. Tubuhnya berkali-kali merubah posisi tidur. Lampu kamar  belum dimatikan, jadi sesekali matanya melirik Arya yang sedang membaca buku di sebelahnya. Bayuaji mengigiti kuku jari, fitur tegas rahang Arya dan untaian rambut halus yang dibelah tengah mengingatkannya pada penyanyi band Peterpan, khususnya jika dilihat dari samping seperti ini. Bayuaji seperti baru tercerahkan, kenapa dulu dia tidak bisa melihat jika Arya begitu tampan? Bagaimana dia baru sadar jika hidungnya yang bangir dan bibirnya tipis terlihat begitu menarik.

Bulu-bulu menggelitik perut Bayuaji setiap jati-jari panjang Arya membuka halaman buku. Dia ingat rasanya disentuh jari-jari itu. Darah mengalir deras ke wajah Bayuaji, dadanya berdetak lebih keras, ada rasa malu, tapi juga rindu untuk merasakan kembali pengalamannya tadi pagi. Bagian bawah tubuhnya merespon dengan menggeliat bangun.

Bayuaji menarik sarung yang menyelimutinya, dia langsung berbalik, tangannya dia jepit diantara selangkangan. Bayuaji mengigit bibirnya, tekanan pada penisnya yang mulai menengang membuatnya tambah berdebar.

“Kamu ini kenapa?” Sudut bibir Arya terangkat. Sebenarnya, dia sendiri tidak bisa konsentrasi pada buku yang dia baca. Selain karena makhluk di sebelahnya yang tidak bisa berhenti bergerak, tapi juga karena keputusan nekat yang dilakukannya tadi pagi.

Entah setan apa yang merasuki diri Arya, dirinya begitu berani melakukan tindakan yang sudah mengarah pada pelecehan. Namun, jika dilihat dari reaksi Bayuaji sepertinya pemuda itu tidak bermasalah dengan perbuatan Arya. Bayuaji masih memperlakukannya dengan sama.

Arya menarik sedikit sarung tenun kotak-kotak biru milik Bayuaji. Dia dapat melihat telinga dan pipi pemuda itu yang memerah. Erangan halus membuat alis Arya naik, dan posisi bergelung Bayuaji membuatnya menutup buku dan beranjak turun untuk mematikan lampu kamar. Dirinya ikut bergelung, sedikit ragu ketika memeluk Bayuaji bagai bantal guling.

“Mas Arya, jangan gini, Panas.” Arya terkekeh mendengar penolakan setengah hati itu.

“Panas bagaimana? Dingin gini, kok.” Arya semakin mendekatkan pelukannya. Dirinya menghirup bau sampo bercampur minyak telon yang digunakan Bayuaji. Aromanya menenangkan, mengingatkannya pada masa kecilnya.

Kebiasaan buruk Bayuaji muncul kembali, dirinya terus mengigiti kuku jempol terutama ketika kaki Arya ikut memberi beban pada pahanya. Bayuaji mengeram, penisnya menjadi semakin tegang tertekan sebelah tangan dan himpitan kaki Arya.

Dalam gelap, tangan Arya menjelajah, dia tersenyum ketika mendapati ke mana tangan kiri Bayuaji berada.

“Tegang lagi?” bisik Arya. Gerakan Bayuaji berhenti sebentar, tapi Arya dapat merasakan kepala Bayuaji yang mengangguk di depannya. “Mau mas bantu lagi?”

Arya menarik turun sarung yang menyelimuti Bayuaji, tangannya menyusup di selangkangan pemuda itu. Separuh dirinya yang ragu menunggu penolakan dari Bayuaji, tapi merasa pemuda itu malah berinisiatif sedikit memberikan jalan bagi tangannya untuk menjamah, membuat Arya semakin berani.

Sudah lama Arya tidak merasa bedebar seperti ini, rasanya Arya kembali ke perasaan ketika pertama kali dia melakukan malam pertama dengan istri yang saat itu masih berstatus pacar Arya. Tindakan tabu yang dilakukan diam-diam ini membuat Arya benar-benar terangsang. Gabungan dirinya yang memang sudah lama tidak menyentuh wanita dan desah lembut setiap dia menggerakkan tangan memanja penis Bayuaji membuat selangkangannya sendiri sesak.

“Engh!”

“Stt … jangan bersuara.”

Bayuaji mengigit jempolnya, mencegah suara-suara yang mendesak keluar dari pita suaranya. Jari jempol Arya yang kini terasa mengelus kepala penisnya membuat Bayuaji ingin berteriak, dia merasa hampir meledak ketika gerakan Arya berhenti. Bayuaji ingin menangis rasanya, berhenti seketika ketika dirinya ingin keluar itu benar-benar tidak enak.

“Mas ….” lirih Bayuaji.

Arya membalikkan tubuh Bayuaji, dan ketika mereka berhadapan, dirinya tidak kuasa untuk mengecap bibir pemuda itu.

Rasa lembut menyentuh bibirnya. Bayuaji terdiam, adegan yang muncul di film barat dan biasa membuat Bayuaji menutup mata karena malu itu, kini sedang terjadi pada dirinya. Dulu, Bayuaji penasaran, apa pemeran-pemeran film itu tidak merasa jijik dengan mulut dan ludah orang lain ketika mereka berciuman. Tapi, sepertinya kini Bayuaji paham.

“Tidak suka?” bisik Arya. Jawaban dari pertanyaannya didapat dengan balasan ciuman canggung dari Bayuaji.

Arya semakin erat memeluk pemuda itu, dalam kamar kecil gelap itu Arya menurunkan celananya sendiri. Perasaan tersengat terasa ketika dirinya menggenggam kejantanannya dan Bayuaji secara bersama. Ibarat rumput yang sudah kering, ditimpa hujan segar kembali, tubuhnya bersemangat mengecap kenikmatan yang beberapa saat sempat dia lupa. Kepala Arya terasa berkabut, penilaiannya semakin kabur terseret tabu yang semakin dalam ketika tangannya mulai mengocok kejantanan mereka secara bersamaan.

Bersambung …….

TABOO - Di Balik KelambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang