Chapter 9

3.2K 175 4
                                    

Pribahasa: Berakit ke hulu berenang ketepian,  bersakit dahulu, tetap mati kemudian.

“Lastri! Nduk, jangan gini pulang,  ayo pulang.” Seorang berambut putih bergegas menghampiri si wanita gila. Tangan keriputnya mencoba menariknya.

“Kasian Narti,  sudah tua gitu masih harus ngurus anaknya yang gila,” bisik seorang pada teman sebelahnya.

“Iya,  nekat jual semua tanah warisan suami untuk biaya kuliah anaknya,  eh … setelah lulus malah jadi gila,” jawab orang yang dibisiki.

“Gak usah takut,  wanita itu memang gila,  tapi gak pernah nyerang orang,” ucap penjual pentol tadi.

“Itu siapa, Pak?” tanya Arya.

“Itu Bu Nanti  dan anaknya ningrum. Pemilik rumah itu.” Tukang itu menunjuk rumah yg sebagian kacanya sudah pecah dan catnya telah ternoda oleh lumut. “Kasian dia Mas,  suaminya sudah lama meninggal, hanya tinggal anaknya saja. Eh, malah anaknya jadi gila. Banyak orang desa yang sudah menyarankan untuk dipasung saja anaknya,  soalnya sering hilang. Tapi, ibunya selalu menentang.”

“Tapi kata ibu itu anaknya dulu sempat kuliah, lalu kenapa jadi gila seperti itu, Pak?” Arya melihat tubuh sepuh itu dengan  telaten membujuk anaknya untuk pulang. Menghapus noda kotor di wajah anaknya dengan sabar. Pemandangan itu membangkitkan simpati Arya.

“Memang dulu Lastri tidak gila Mas. Dulu dia kembang desa, loh. Anak ayu yang selalu  membantu ibunya dengan rajin. Puinter di sekolah, dia dulu selalu rangking satu, beda dengan anak saya yang sekelas dengannya.”

“Trus kenapa jadi gila, Pak?” timpal Bayuaji. Dirinya yang  sejak tadi terlupakan dan menjadi pendengar setia, jadi ikut penasaran juga.

Tukang pentol itu melihat kanan kiri,  seolah dia tidak ingin apa yang diucapkannya diketahui orang. “Gara-gara pelet, Mas.”

“Pelet?” beo Bayuaji dan Arya.

“Stt … jangan keras-keras.” Terlalu larut membicarakan masalah ini membuat tukang pentol goreng itu mengabaikan dagangannya.

“Katanya dulu ada yang suka dengan Lastri,  suka sekali, sampai tahap nekat langsung lamar berkali-kali. Tapi,  ditolak juga berkali-kali. Si Lastri katanya masih ingin kerja, bahagiakan ibunya dan mandiri dulu.” Tukang cilok itu semakin bersemangat dan menggebu-gebu bercerita. “Karena ditolak terus, jadinya dia marah,  bilang wanita seperti Lestari itu sombong, belagu dan tidak tahu diuntung. Warga sampai harus menyeret pria itu pergi, soalnya sudah hampir mencelakai Lestari dan ibunya. Seminggu setelah kejadian itu, Lestari mulai berubah,  sampai akhirnya gila.”

Arya menggaruk kepalanya yang tidak gatal,  penjelasan tukang pentol goreng ini terlalu tidak masuk akal.

“Mana ada pelet bikin orang gila Pak. Bapak ini terlalu mengada-ada,” ucap Arya.

“Mas,  pelet itu apa ya?” Bayuaji menatap Arya kebingungan, dia mulai tidak bisa mengikuti pembicaraan Arya dan tukang pentol goreng.

“Anak kecil tidak  perlu tau,” jawab Arya.

“Mas ini tidak percaya,  hal seperti itu ada Mas. Jangan anggap remeh. Tetangga saya sakit menahun, walau sudah berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu tetap mati kemudian. Tetangga saya mati setelah muntah paku Mas,  jangan anggap remeh sampean.” Tukang pentol goreng, tidak mau argumennya dibantah.

“Mas,  sudah, toh. Ayo makan bakso saja,” ajak Arya.

“Lah, masih mau bakso? Gak makan pentol  goreng aja, Dek?” tawar pedangan itu dengan senyum. "Ini sama-sama bundarnya,  ngak kalah enak lagi."
Bayuaji belum lagi memutuskan,  alunan bunyi gendang dan gumaman orang-orang mengudara.

"Wah,  pertunjukannya mau mulai."

Bersambung.......

TABOO - Di Balik KelambuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang