Chapter 19
Pribahasa : Esa hilang, dua terbilang.
Pukulan terlanjur dilayangkan, tapi berhasil dihindari dengan gerakan yang sangat halus. Sebelum Arya dapat sampai, Liam—pria yang hendak ia tolong—menangkis serangan dan dapat menjatuhkan orang yang melayangkan tinju padanya dengan mudah. Arya hanya dapat melongo ketika lelaki itu menyapukan kakinya dan memberikan pukulan di dada pada preman lain yang membabi buta ikut menyerang ketika kawannya jatuh, dengan cepat dan lues. Gerakannya sangat indah, hampir seperti menari.
Satu-satunya hal yang bisa Arya lakukan yaitu menarik kemeja Liam ketika preman lain menyerang dengan botol. Kejadian itu langsung menarik perhatian banyak orang, para penjaga kembali dan ikut mengamankan keadaan.
"Cuih! Perek! Ndilani."—menjijikkan—Ludah dari preman dengan gigi kuning dan rambut gondrong itu tepat mendarat ke muka Liam.
Taik! Maki Liam dalam hati. Keadaan kembali gaduh, nasibnya sedang buruk, preman-preman yang pernah mengejeknya kemarin hari ini malah meludah dan mencoba menyerangnya. Bau jigong dan alcohol membuat Liam hampir muntah. Dengan segera dia lap wajahnya dengan lengan kemeja. Ucapan khawatir dan mencela preman yang mengganggunya, perlahan terganti bisik-bisik. Baru ketika Liam melihat perhatian warga teralih padanya, dia menyadari tiga kancing teratas kemejanya telah terlepas karena tarikan Arya. Memaparkan dada putih yang terhias bercak merah yang mulai memudar.
Liam sudah sering menerima senyum mengejek dan tatapan jijik yang diberikan orang-orang padanya. Menjadi gemblak seorang warok dengan wajah China membuatnya sering menerima cibiran. Walau masyarakat di beberapa daerah memahami posisi ini, tapi masyarakat yang lebih modern dengan nilai norma yang telah berubah menjadikannya tidak lebih dari simpanan homo seorang warok.
Tak ingin menjadi tontonan warga lebih lama, Liam menarik kemejanya dan bergegas pergi menghindari kerumunan.
Arya tergagap, dia benar-benar tidak berniat mempermalukan Liam. Dia hanya ingin menolong pemuda yang terlihat pendiam itu. Rasa bersalahnya semakin besar, apalagi dengan ibu-ibu yang mulai berbisik dan tertawa dengan gurauan cabul tentang tanda cupang yang tersebar di tubuh pria muda itu.
Hansip yang datang mengusir kerumunan. Kesempatan itu Arya gunakan untuk mengambil buku yang Liam jatuhkan dan menyelinap ke arah Liam pergi. Setelah melewati jalan kecil di samping rumah warga, ada kebun warga yang ditumbuhi pohon jati. Sesampainya di tepi sungai yang penuh deretan pohon bamboo. Liam sedang mencuci muka di air sungai itu. Sejenak Arya menyangka Liam menangis, tapi kemudian pria itu mengumpat dengan bahasa Indonesia dan China dengan cepat.
Liam menyadari keberadaan Arya. Pria yang sekepala lebih pendek dari Arya itu menatapnya datar.
"Apa?" tanya Liam.
"Maaf." Arya tersenyum menyesal. Diulurkannya buku bersampul biru yang dijatuhkan Liam. Sekilah Arya melihat, itu adalah kumpulan soal olimpiade matematika. Hanya dengan mengintipnya saja Arya menjadi pusing.
Walau mereka tinggal serumah dalam beberapa hari ini, Liam dan Arya jarang berpapasan. Biasanya Liam akan pulang malam bersama Ki Darma ketika dia dan Bayuaji telah berada di atas tempat tidur.
"Kuliah?" tanya Arya. Dengan hanya melihat sekilas, Arya dapat melihat jika soal-soal itu tidak diajarkan di bangku sekolah.
Liam menggelengkan kepala sebagai jawaban. Buku jari ramping yang terlihat terlau halus untuk tangan seorang pria itu telulur mengambil bukunya. "Hanya relaksasi."
Manusia mana yang relaksasi dengan soal-soal matematika? Ingin Arya menanyakan itu, tapi dirinya tidak ingin bersikap lancang.
"Jika suka matematika, kenapa tidak kuliah sekalian saja?" tanya Arya. Dirinya mengikuti Liam yang kini berjalan kembali ke arah lapangan.
"Bicara gampang."
Arya kembali menutup mulutnya, dia sejenak lupa dengan status gemblak Liam. Jika yang dia dengar benar, biasanya gemblak diangkat dari keluarga miskin. Mungkin dirinya terlalu lancang. Tapi orang yang mengerjakan soal-soal itu hanya untuk relaksasi, sungguh sayang jika berakhir menjadi gemblak.
"Banyak beasiswa kalau mau cari, aku bisa hubungi temanku kalau kamu mau."
"Kita ngak pernah ngobrol dan sekarang tiba-tiba nawari beasiswa? Jangan aneh-aneh."
"Itu solusi yang bagus, kalau kamu tidak kuliah hanya karena biaya, kamu bisa mendapatkan beasiswa penuh jika lolos seleksi. Esa hilang, dua terbilang"
Mata sipit Liam melirik Arya. Dirinya mulai terganggu dengan campur tangan yang tidak dia minta. "Siapa bilang karena tidak ada biaya?"
"Jadi karena apa? Jangan bilang karena jadi gemblak?" Arya hampir menampar dirinya sendiri karena kelewatan.
"...." Liam terdiam, matanya menatap ke depan dangan kilat sendu. Disampingnya, Arya ikut berhenti berjalan. "... Sudah bukan gemblak," lirih Liam
Arya mengikuti arah pandang Liam. Di tengah lingkaran penabuh musik dan anggota paguyuban reog, Bayuaji menari dengan jaranan di antara paha dengan gerakan yang luwes. Namun, pemuda itu tidak sendiri, ada warok yang menemaninya menari diiringi lontaran penyemangat dan gendang yang ditabuh lantang. Keduanya bergerak seirama. Ada rasa panas di dada ketika Arya melihat pemandangan itu.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
TABOO - Di Balik Kelambu
Fiction généraleArya tidak pernah melanggar norma. Taat pada aturan dan menghindari tabu. Namun keteguhannya diuji. Sosok dari masa lalunya muncul. Mengulik kenangan yang ingin dia lupakan. Menghadirkan rasa yang tidak ingin ia kecap lagi... Apa yang harus Arya l...