Pribahasa : Nyolong pethek
Matahari baru saja terbit, tapi orang-orang sudah ramai-ramai keluar kamar dengan antusias.
Acara pagelaran reog selama tujuh hari di desa Sumbersari di mulai hari ini. Banyak anak sekolah membolos karena tidak ingin ketinggalan pagelaran yang jarang ada. Mereka berbondong-bondong pergi ke sana untuk menonton pertujukan. Pesta pernikahan anak Pak Soleh sepertinya telah berubah menjadi pesta rakyat.
Walau pentas seni reog telah banyak tergeser oleh hiburan modern di kota, tapi bagi penduduk desa Mayang tempat Aswono tinggal, reog bukan hanya sebuah hiburan. Sebagai salah satu desa di wilayah Ponorogo, tempat yang konon merupakan asal kesenian reog, masyarakat desanya memiliki kegemaran tersendiri pada budaya yang katanya muncul dari tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo.
Di antara genggap gepita orang-orang yang berduyun-duyun untuk menonton, Arya masih menyuapkan ketela pohon ke mulutnya.
"Le, kamu benar tidak mau ikut menonton? Sayang sekali, loh." Arya kini mengamati ekspresi Bayuaji yang manggapi pertanyaan kakeknya. Acara sarapan mereka menjadi sedikit heboh karena Arya enggan ikut untuk menonton pertunjukan reog.
"Jarang-jarang Warok Darma mimpin langsung pertunjukan, pasti pertunjukannya akan bagus sekali."
"En-enggak, Mbah. Bayu di sini saja sama Mas Arya."
"Kamu sendiri, Mas Arya juga mau ikut lihat," ucap Arya. Dia mengabaikan muka cemberut Bayuaji.
"Tuh, 'kan. Mas Arya saja mau ikut lihat, ini kamu kok ngak mau. Padahal, kamu waktu masih kecil sangat suka pertujukan reog. Suka tidak mau turun jika dinaikkan di kepala dadak merak," –topeng kepala harimau dengan bulu-bulu merak— ucap Aswono sambil menyeruput kopi pahitnya. Bayuaji di bawa merantau ke Sumatra ketika berusia empat tahun, kemungkinan cucu yang dulu selalu membawa-bawa jaran kepang mini dan menari ini tidak ingat dengan pertunjukan reog.
Arya terus mengamati perubahan ekspresi Bayuaji. Kerut di antara alisnya semakin dalam. Pemuda itu tercabik antara ingin ikut melihat pagelaran dan tidak ingin bertemu tamu kakeknya yang telah pergi ke tempat acara dari subuh.
"Ikut saja bareng Mas Arya. Kamu bisa lihat orang makan beling di sana," bujuk Aswono.
Terbujuk rasa penasaran dan janji dibelikan bakso oleh Arya, akhirnya Bayuaji mengambil sandal dan ikut boncengan di belakang sepeda ontel milik Aswono. Pria tua itu sendiri tidak ikut, dirinya harus pergi untuk mengairi sawah, dia terlanjur menyetujui pekerjaan itu. Tapi, Aswono berencana menonton hari kedua pagelaran.
Antuisme masyarakat di luar prediksi Arya. Orang-orang sudah banyak berdatangan dan pedangan kaki lima sudah membuka lapak di sekitaran lapangan desa yang menjadi pusat pertunjukan. Tenda merah marun besar berdiri di depan halaman salah satu rumah besar tingkat 2 yang berada di sebelah lapangan. Melihat papan ucapan selamat membuat Arya menyipulkan jika itu adalah rumah yang memiliki acara. Di lapangan sendiri berdiri panggung tempat beberapa alat musik dan pengeras suara yang kini memainkan lagu-lagu dangdut yang sedang popular.
"Nyolong Pethek! Koe nyolong wedos!" Wanita dengan daster bunga sepatu merah yang telah memudar dengan banyak noda berteriak pada orang-orang di sekitarnya. Banyak orang yang menyingkir menghindari wanita yang kini menari dan tertawa tak terkendali.
"Wah, sayang ayu-ayu edan,"—sayang cantik-cantik gila—ucap bapak-bapak yang berjualan pentol goreng di sebelah Arya. Dia setuju dengan ucapan si bapak, wanita gila itu memang cantik. Bahkan diantara noda-noda yang mencoreng wajahnya, Arya dapat melihat kuntur wajah halus dan mata hitam yang kini bagai tidak dapat fokus.
"Mas ...." Bayuaji menarik lengan kaos Arya. Pemuda itu lebih tertarik pada gerbong bakso yang menampilkan bulatan bakso ukuran jumbo dari pada wanita gila yang merancau sembarangan.
"Kamu ini belum kenyang? Baru sarapan sudah minta belikan bakso. Pantas kentutmu gede."
"Mas Arya ini jangan terus-terusan ngomongin kentut orang to mas. Pamali!."
"Kata siapa pamali?"
"Kata Bayu."
Bayuaji hendak menyeret Arya ketika wanita gila yang dia lihat tadi telah berada di depan mereka. Senyum lebar wanita itu memperlihatkan gigi yang telah menguning, telunjuk dengan kuku panjang dan hitam terarah pada Bayuaji. Pemuda penakut itu, sudah mengkeret memegang lengan Arya.
"Cah ganteng, seng dipengeni Singobarong!"—bocah tampan yang diinginkan Singobarong—Bayuaji langsung bersembunyi di belakang Arya.
"SINGOBARONG! SINGOBARONG!" Wanita gila itu terus tertawa, dia menujuk mereka berdua dan terus meneriakkan nama salah satu raja dalam mitos itu.
Bersambung ...............
KAMU SEDANG MEMBACA
TABOO - Di Balik Kelambu
General FictionArya tidak pernah melanggar norma. Taat pada aturan dan menghindari tabu. Namun keteguhannya diuji. Sosok dari masa lalunya muncul. Mengulik kenangan yang ingin dia lupakan. Menghadirkan rasa yang tidak ingin ia kecap lagi... Apa yang harus Arya l...