CHAPTER 1

216K 2.1K 48
                                    

Chapter edit

Caroline POV


Harriot terdengar memanggil tepat ketika bokongku baru saja duduk dengan sempurna di atas kursi, rasanya baru satu detik aku beristirahat setelah seharian mengerjakan tugas berat pertamaku yaitu merekap laporan pengeluaran bulan ini. Meski baru satu bulan berada di sini,  rasa lelah sudah nyaris membuatku menyerah, semua beban pekerjaan seperti telah dilimpahkan padaku sepnuhnya. 

"Ms Caroline, jika tidak keberatan tolong koreksi pivotku. Besok pagi harus kukirimkan ke kantor cabang untuk presentasi." si pirang ikut menginterupsiku, dia adalah karyawan yang sangat paling tidak percaya diri dengan hasil kerjanya sendiri, jadi dia selalu meminta bantuan orang lain untuk mengoreksi. Memang bagus tapi sangat merepotkan, walau begitu aku tetap mengangguk. Oh Caroline kau membutuhkan tiga bulan untuk benar-benar bekerja di sini. Masa on the job trainingku yang terasa sangat panjang.

"Cara!"Suaranya terdengar lagi saat kali ini kepalanya melongok dari pintu ruangannya.  Wanita bersuara sekeras petir itulah yang membawaku kemari, Harriot. Ia bersikeras ingin mencalonkanku sebagai karyawan baru di perusahaan mega multi-fungsional ini. Agaknya alasan perekrutan inipun menyeramkan. Perusahaan tidak repot-repot berduka sepanjang tahun untuk kematian Edwin. Aku pernah mendengar istilah bekerjalah sewajarnya, karena jika kau sakit yang sedih adalah keluargamu, bosmu tetap akan mencari karyawan baru jika kau dipecat atau mati. Meski terdengar kejam namun kurasa aku sudah bisa menemukan titik kebenaran dari istilah itu. Well Benar atau tidak, penggosip mengatakan pria malang itu pernah berurusan dengan bos besar yang orang-orang kenal dengan CEO dingin sebelum Edwin ditemukan meregang nyawa di apartemennya. Tapi untuk alasan yang pasti, tidak ada yang tahu. Tapi hati kecilku sedikit menampik hal itu, bos besar seperti CEO megalomaniak itu tidak mungkin mencampur urusan pribadi dengan pekerjaan-tapi di luar itu entahlah. Ya... diluar dari simpang siur kabar murahan itu, aku tetap harus berterima kasih pada Harriot. Berkat dirinya, aku bisa lebih cepat mendapatkan pekerjaan setelah magang di dalam perusahaan nyaris bangkrut yang hampir juga menjebakku untuk memegang kendali di bagian finansialnya dan bertanggungjawab apa yang management lakukan sebelumnya. Masuk ke dalam Weston International merupakan mimpi semua orang di negara bagian ini. Orang-orang akan melihat gambaran uang, kemewahan, dan tunjangan-tunjangan maha dahsyat lainnya jika mendengar nama yang sangat tidak asing itu.

Cara, jangan menguji kesabaranku.


Ketiknya pada sebuah pesan singkat. Oh ya Tuhan, paperku sebentar lagi selesai, tanggung. Dasar Harriot.
Jujur saja, dalam seharian ini Harriot tampak gelisah. Kopi yang kuantarkan pagi tadi sampai sekarang masih tak tersentuh. Ada apa?

"Ya." Sahutku lelah lebih pada diriku sendiri. Aku memijat pelipisku sejenak. Buru-buru menyimpan semua berkas yang kuketik di komputer dan membereskan sisa yang lain. Tahu bahwa obrolan kami akan panjang nantinya dan aku tidak mau pekerjaanku terbengkalai.

"Caroline Scott!" Panggilnya lagi dari dalam ruangannya kali ini meneriakkan nama lengkapku. Oh terimakasih Harriot kau membuatku melompat dari kursiku. Karyawan lain melotot bingung sembari memberikan tatapan bos kita sedang kalap.

Aku berjalan sampai-sampai betisku menabrak ujung meja. Tidak sesakit yang dibayangkan hanya saja suaranya cukup keras. Seorang pria muda yang kuingat bernama Reign Finlay berdiri tepat di depanku saat aku baru saja membuka pintu. Dadanya yang sekeras batu membentur dahiku. Oh sejak kapan Tuan Finlay ada di dalam ruangan Harriot?

"owps," suaranya merdu.

"maaf, Tuan Finlay." Cengirku dengan kurang ajar sedikit lebar, wajahnya yang tampan meneliti rona merah yang aku yakin sudah cepat menjalar di wajahku. Finlay sudah empat bulan atau lebih bercerai dengan istrinya yang baik, Mitchel. Seorang wanita karir yang wajahnya juga sering muncul di sampul majalah pria dewasa. Aku pernah melihatnya kemari menemui Tuan Finlay dan kami langsung akrab. Sebagai penasehat CEO besar dia tidak seharusnya memiliki senyum sialan seperti itu.

ALONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang