10. Merayu Tuhan

273 32 0
                                    

Tak selamanya Abu Nawas bersikap konyol. Kadang-kadang timbul kedalaman hatinya yang merupakan bukti kesufian dirinya. Bila sedang dalam kesempatan mengajar, dia akan memberikan jawaban-jawaban yg berbobot sekalipun dia tetap menyampaikannya dengan bahasa yang ringan.

Seorang murid Abu Nawas ada yg sering mengajukan macam-macam pertanyaan. Tak jarang dia juga mengomentari ucapan-ucapan Abu Nawas jika sedang memperbincangkan sesuatu. Ini terjadi saat Abu Nawas menerima tiga orang tamu yg mengajukan beberapa pertanyaan kepada Abu Nawas.

“Manakah yg lebih utama, orang yg mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yg mengerjakan dosa-dosa kecil?” ujar orang yang pertama.

“Orang yang mengerjakan dosa kecil,” jawab Abu Nawas.

“Mengapa begitu?” tanya orang pertama lagi.

“Sebab dosa kecil lebih mudah diampuni oleh Allah,” ujar Abu Nawas. 

Orang pertama itupun manggut-manggut sangat puas dengan jawaban Abu Nawas.

Giliran orang kedua maju. Dia ternyata mengajukan pertanyaan yang sama, “Manakah yamg lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.

“Yang utama adalah orang yang tak mengerjakan keduanya,” ujar Abu Nawas.

“Mengapa demikian?” tanya orang kedua lagi.

“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu pengampunan Allah sudah tak diperlukan lagi,” ujar Abu Nawas santai. 

Orang ke dua itupun manggut-manggut menerima jawaban Abu Nawas dalam hatinya.

Orang ke tiga pun maju, pertanyaannya pun juga seratus persen sama. “Manakah yang lebin utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.

“Orang yg mengerjakan dosa besar lebih utama,” ujar Abu Nawas.

“Mengapa bisa begitu?” tanya orang ketiga itu lagi.

“Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengn besarnya dosa hamba-Nya,” ujar Abu Nawas kalem. 

Orang ketiga itupun merasa puas argumen tersebut. Ketiga orang itupun lalu beranjak pergi.

Si murid yang suka bertanya kontan berujar mendengar kejadian itu. “Mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan tiga jawaban yang berbeda,” katanya tak mengerti.

Abu Nawas tersenyum. “Manusia itu terbagi atas tiga tingkatan, tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati,” jawab Abu Nawas.

“Apakah tingkatan mata itu?” tanya si murid.

“Seorang anak kecil yang melihat bintang di langit, dia akan menyebut bintang itu kecil karena itulah yg tampak dimatanya,” jawab Abu Nawas memberi perumpamaan.

“Lalu apakah tingkatan otak itu?” tanya si murid lagi.

“Orang pandai yang melihat bintang di langit, dia akan mengatakan bahwa bintang itu besar karena dia memiliki pengetahuan,” jawab Abu Nawas.

“Dan apakah tingkatan hati itu?” Tanya si murid lagi.

“Orang pandai dan paham yang melihat bintang di langit, dia akan tetap mengatakan bahwa bintang itu kecil sekalipun dia tahu yang sebenarnya bintang itu besar, sebab baginya tak ada satupun di dunia ini yang lebih besar dari Allah SWT,” jawab Abu Nawas sambil tersenyum.

Si murid pun mafhum. Dia lalu mengerti mengapa satu pertanyaan bisa mendatangkan jawaban yang berbeda-beda. Tapi si murid itu bertanya lagi.

“Wahai guruku, mungkinkah manusia itu menipu Allah?” tanyanya.

“Mungkin,” jawab Abu Nawas santai menerima pertanyaan aneh itu.

“Bagaimana caranya?” tanya si murid lagi.

“Manusia bisa menipu Tuhan dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa,” ujar Abu Nawas.

“Kalau begitu, ajarilah aku doa itu, wahai guru,” ujar si murid antusias.

“Doa itu adalah : Ialahi lastu lil firdausi ahla, Wala Aqwa alannaril Jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzambil adzimi.” 

(Wahai Tuhanku, aku tak pantas menjadi penghuni surga, tapi aku tak kuat menahan panasnya api neraka. Sebab itulah terimalah tobatku dan ampunilah segala dosa-dosaku, sesungguhnya Kau lah Dzat yg mengampuni dosa-dosa besar).

Sc pict : bobo.grid.id

Islamic StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang