46. Puncak Dari Rasa Rindu

83 10 0
                                    

Rasulullah selalu menyapa setiap orang yang beliau temui dan menyebut nama mereka dengan gelar yang mereka sandang untuk menyambung tali silaturahmi. Beliau akan mengucap salam terlebih dahulu agar terdengar oleh orang-orang di sekitarnya.

Abu Dzar mencoba bersembunyi di balik pohon dengan penuh harap dapat memberi salam terlebih dahulu. Namun, ia tidak dapat berbuat apa-apa selain menjawab salam dari Rasul karena Rasulullah sudah terlebih dahulu mengetahui keberaan dirinya.

Tiba-tiba, Thalhah yang masih muda belia berlari menyongsongkan diri ke arah Rasulullah. Ia menjatuhkan tubuhnya dan memeluk erat tubuh beliau. Tak puas, anak muda belia ini pun mencium janggut Rasul seakan-akan tak mau berada jauh dari Rasul.

“Ya Rasulullah,” kata Thalhah, “ demi Dia yang mengutusmu dengan hak. Mintalah sesuatu dariku. Aku akan memenuhi permintaanmu setulus hati.”

“Kalau begitu, pergilah sekarang dan bunuhlah ayahmu untukku!” kata Rasul kepada Thalhah.

Mendengar itu, Thalhah melepaskan pelukannya. Tanpa pikir panjang, untuk membuktikan kecintaannya, ia beranjak dari hadapan Rasul. Tapi sebelum Thalhah berlalu, Rasul tersenyum kepadanya dan memanggilnya. “Kemarilah Thalhah,” kata Rasul. “ Aku diutus bukan untuk memutus silahturahmi. Aku hanya hanya ingin menguji dirimu. Sungguh kau telah membuktikan rasa cintamu.”

Kemudian Rasulullah memeluk anak muda itu dengan penuh kasih sayang. Thalhah pun meninggalkan beliau dan pulang ke rumahnya.

Karena kecintaannya, meskipunvjarak antara rumahnya dengan Madinah terhalang tiga buah desa yang saling berjauhan, Thalhah selalu menyempatkan diri hadir dalam setiap majelis Rasulullah SAW.

Suatu ketika, Thalhah jatuh sakit. Tubuhnya tidak bisa digerakkan, wajahnya tidak bisa menoleh ke kanan dan kiri. Saat itulah ia merasakan derita luar biasa karena menagan rindunya terhadap Rasulullah.

Ikatan batin bergetar di dada Rasulullah. Beberapa hari tak melihat Thalhah hadir di majelisnya, beliau merasakan kehilangan.

“Ia terbaring sakit, ya Rasulullah,” jawab beberapa orang sahabat.

“Antar aku ke rumahnya!” pinta Rasulullah SAW.

Setelah Isya, ketika musim dingin membuat hawa udara menjadi dingin di seluruh Jazirah Arab, Rasulullah bersama para sahabat bergegas mengunjungi Thalhah. Setelah sampai, beliau mencium kening anak muda itu dengan penuh kasih sayang.

Setelah mendo'akan Thalhah, Rasulullah meminta orangtua Thalhah agar tidak membangunkannya. “Sungguh kulihat Thalhah akan segera pulang. Kasih sayang Allah akan segera merengkuhnya.”

Mendengar penjelasan tersebut, seisi rumah terisak menahan air mata. Segera saja Rasulullah SAW. menguatkan hati mereka. “Jika Thalhah tersadar sebelum waktu itu datang, kabari aku,” pinta Rasul. “Aku ingin menghadiri jenazah dan menyalatkannya.”

Setelah itu, Rasulullah berniat kembali ke Madinah. Tetapi malam yang begitu dingin memaksa sahabat untuk menaha beliau agar tidak melanjutkan perjalanan ke Madinah dan bermalam terlebih dahulu di kampung Bani Salim, tidak jauh dari rumah Thalhah.

Setelah kepergian beliau dan para sahabat, Thalhah pun tersadar. Matanya berkaca-kaca setelah diberitahu kalau Rasulullah telah datang untuk menjenguknya. Orang tuanya pun menyampaikan pesan yang telah diamanatkan Rasul agar memberitahu beliau jika anaknya telah sadar.

“Kalau begitu, pergilah sekarang. Panggilkan Rasulullah untukku!” pinta Thalhah kepada saudaranya.

Ketika saudaranya hendak bergegas keluar rumah, untuk menemui Rasulullah, Thalhah menahannya. “Kemarilah saudaraku,” kata Thalhah. “Aku hanya bercanda. Aku tidak mungkin meminta sesuatu yang dapat memberatkan Rasulullah. Malam ini begitu dingin, aku tak mau beliau menderita hanya karena aku. Aku tak mau beliau bersusah payah datang kemari menemuiku.”

“Tidak saudaraku!” bantah saudara Thalhah. “Aku harus memberitahunya. Rasulullah telah mengabarkan bahwa ajalmu akan segera tiba!”

Thalhah tersenyum, “Bukankah ia akan datang pada kota semua?” kata Thalhah penuh kerinduan. “Sungguh aku ingin segera berjumpa dengan penciptaku. Kekasih sejati dari kekasihku Rasulullah. Beliau tadi sudah menjengukku, tak ada kebahagiaan yang lebih berarti selain itu.”

Saudaranya pun bertanya, “apa yang harus aku katakan kepada beliau jika amanatnya tidal dipenuhi?”

“Sampaikan kepadanya, kehadiran beliau di sini cermin dari kedermawanan. Anugerah terindah untukku menjelang waktu perpisahan. Jangan juga kau undang Rasulullah jika ketentuan itu telah datang kepadaku.”

“Tapi beliau ingin menyalatkan dan menguburkanmu,” ujar saudara Thalhah mengingat pesan yang disampaikan Rasul.

“Aku tahu,” jawab Thalhah, “akan tetapi, hatiku tak akan kuat membiarkan Rasulullah menerjang malam. Perasaanku tak mengizinkan untuk membangunkan beliau dari peristirahatannya. Aku tak mau hawa dingin  mengganggunya. Aku tak mau ada bahaya yang menghadangnya. Jika sudah datang waktuku, sampaikanlah salam rinduku kepadanya. Sampaikan permintaanku, agar beliau memohon ampunan kepada Tuhanku.”

Mendengar penuturan yang tersendat-sendat itu, keluarga Thalhah tak dapat berbuat apa-apa. Menjelang sahur, Thalhah melenguhkan kata-kata terakhirnya yang penuh kerinduan.

Setelah melepas kepergian Thalhah yang begitu damai, keluarganya menyalatkan dan menguburkannya pada malam itu juga. Sesuai dengan pesan terakhirnya, tak ada yang mengabarkan hal itu kepada Rasulullah.

Menjelang subuh, Rasulullah SAW yang beristirahat di kampung Bani Salim pun berangkat menuju Madinah. Usai shalat berjamaah, beliau teringat kembali dengan Thalhah yang sangat dicintainya. Tak ada yang menjawab tanya beliau ketika menanyakan kabar Thalhah.

Salah seorang sahabat berkata, “Ya Rasulullah, kami yakin Engkau mengetahuinya sesuai kabar langit yang telah sampai kepadamu. Tapi engkau hendak mengajarkan kami makna sejati dari kesetiaan. Hakikat dari rasa cinta yang murni.”

“Aku hanya ingin mengetahui kabarnya,” jawab Rasulullah.

Melihat wajah Rasulullah yang menampakkan kerinduan yang amat dalam, salah seorang kerabat Thalhah pun menghadap beliau seraya berkata dengan suara parau, “Ia telah berpulang ke Rahmatullah, Ya Rasul.”

Mendengar kabar itu, Rasulullah menarik nafas. “Mengapa aku tidak diberitahu?” tanya beliau meminta penjelasan. “Bukankah aku sudah berpesan?”

“Maafkan kami, Ya Rasulullah. Itu pesan terakhir dari Thalhah. Ia memohon agar kabar yang menimpa dirinya tak sampai kepadamu. Maafkan kami. Semua karena rasa cinta Thalhah kepadamu.”

Dalam suasana pilu, kerabat Thalhah itu juga menceritakan keadaan terakhir yang dialami Thalhah. Bagaimana rasa cintanya yang begitu besar kepada Rasulullah hingga kalimat terakhir di ujung bibirnya hanya terucap nama beliau. Thalhah tak khawatir apa yang menimpa dirinya. Ia hanya tak ingin dirinya menjadi sebab Rasulullah harus bersusah payah.

Setelah itu, Rasulullah SAW beserta para sahabat pun berziarah ke makam Thalhah. Di hadapan tanah pusara yang masih basah, Rasulullah berdiri dan diikuti para sahabat yang bersaf di belakangnya.

“Duhai Ya Tuhan Pemilik Segala Sifat Sempurna!” pekik Rasul dalam do'anya. “Terimalah sahabatku ini dengan membawa kerinduan terhadap-Mu. Biarkan ia tersenyum bahagia menjumpai-Mu sementara Engkau senang menyambut kehadirannya. Terimalah ia dalam balutan kerinduan terhadapku dan terhadap-Mu!”

Islamic StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang