11. Clumsy Housewife

7.9K 749 237
                                    

Sedan mahal yang terpoles warna silver itu sejak beberapa menit lalu telah menepi di area parkir kawasan supermarket besar di dekat tengah kota. Sang empunya sedari tadi tak kunjung keluar, sibuk menenangkan kepalanya yang berasap-asap dibarengi mulut kotornya yang mendumel tak karuan.

Mingyu memandang nanar bagian dalam dompetnya yang sebenarnya cukup wow jika dilihat dari sudut pandang penduduk biasa. Memang, dompetnya berisi beragam kartu ini itu yang jelas tak akan dimengerti apa fungsinya oleh orang-orang yang terlahir hidup pas-pasan. Berlembar-lembar uang mulus dengan nominal tertinggi juga nampak menjejali dompet itu sampai kadang Mingyu harus menguranginya agar tidak terlalu penuh.

Tapi Mingyu pikir, sepertinya mulai saat ini ia akan bergabung menjadi bagian dari barisan penduduk sipil yang mempunyai tradisi menuntut kenaikan gaji setiap akhir bulan.

Dompet beserta isinya yang kini ditatap sendu itu memang bernilai tinggi, namun hanya itu lah satu-satunya harta yang saat ini Mingyu miliki untuk mencukupi kehidupannya di hari esok hingga seterusnya. Tak hanya kehidupannya saja, tapi juga untuk memenuhi perut dan kejiwaan dua orang di rumah yang telah menjadi tanggung jawabnya sesudah menikah.

Mingyu mendengus seraya memasukkan dompet kembali ke saku celana. Ia masih menggerutu soal ATM miliknya yang diblokir oleh sang ayah, mengingat isi ATM-nya bernilai ratusan kali lipat dari tumpukan uang di dompetnya saat ini. Ia tak dapat membayangkan bagaimana keuangannya akan menjadi sulit karena tabungannya telah dihanguskan cuma-cuma --lebih tepatnya dialihkan ke milik sang ayah yang kini sudah mengemban status kakek tua.

Mingyu beranjak keluar, melangkah masuk ke dalam supermarket lalu berhenti di dekat barisan trolley. Diambilnya kertas dari saku kemeja, yakni memo panjang yang dititipkan Wonwoo padanya siang lalu untuk mengecek apa barang yang harus diambilnya lebih dahulu.

Dengan tangan kiri menyeret keranjang, mula-mula Mingyu memasukkan barang diinstruksikan Wonwoo di dalam catatan tersebut, dimana kebutuhan bayi menjadi dominan.

"Yang terakhir... Keju, susu, ramen--" Mingyu mendadak berhenti, mengernyit kaget melihat daftar di bagian akhir pada catatan itu. "Semuanya ramen? Dia menyuruh membeli ramen satu dus?!"

"Makanlah yang normal, Kim."

Bayang-bayang perkataan Jihoon mendadak melintas mengiang di telinganya. Kode penting yang sempat Mingyu acuhkan kemarin, ternyata telah mendapatkan satu titik terang.

Intinya, Jihoon berpesan bahwa Mingyu jangan sampai terlalu sering mengikuti pola makan tak normal Wonwoo agar tidak kurang gizi.

.

.

.

Pria China itu sempat dibingungkan oleh kondisi sebagian tubuh Wonwoo yang basah kuyup dengan rambutnya yang kumal. Dan Wonwoo berulang kali membungkuk berterima kasih atas kemurahan hati Jun yang rela terikut bersimbah air akibat membantu membenarkan saluran air di kamar mandi. Jun pun tak mempermasalahkan Wonwoo yang terus-menerus mengungkapkan rasa bersalah karena bukannya menyambut dengan teh, ia malah membuat Jun kerepotan.

"Jun-shi, tadi katamu kau ingin melihat Wonmi, kan? Masuklah,"

Jun melongokkan kepalanya ke dalam kamar berukuran kecil tempat Wonmi terlelap pulas, lalu mengikuti Wonwoo ke dalam sana dengan langkah ragu-ragu.

"Benar tak apa?"

"Hum. Mingyu tak akan peduli dengan ini." Ujar Wonwoo, sembari mengambil sebuah handuk dari dalam lemari, kemudian memberikannya kepada Jun yang duduk di tepi ranjang di sebelah Wonmi yang tertidur dengan deruan tenang. "Aku akan membuatkan teh. Tunggu sebentar--"

The Sweetest Disaster • meanie gs [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang