13. Ayah, Lukaku Perih

3.7K 280 5
                                    

Jed membuka kedua kelopak matanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jed membuka kedua kelopak matanya. Menutup lalu membukanya berulang kali, setelah dirasa tidak ada perubahan, ia mengucek cepat dengan tangan kirinya.

Bukannya ia masih di rumah sakit?

Kenapa sekarang di kamar?

Ayah dan Lukman dimana?

Jed mengamati sekeliling, ini benar kamar miliknya. Sudah berapa lama ia tidur sampai tidak menyadari ia telah berpindah tempat. Seluruh jengkal tubuhnya kebas dan linu. Mungkin saja koma atau pingsan seperti beberapa waktu lalu yang membuatnya seperti ini.

Seorang wanita masuk membawa nampan berisi susu dan biskuit. Setelah meletakkan bawaannya di nakas, wanita itu naik ke atas tempat tidur mengisi sisi kosong sebelah kanan. Tangannya terulur memeluk pinggang kurus Jed.

Detik itu dunia Jed seakan berhenti. Jarum jam tak lagi bergeser dari porosnya. Nafas Jed seakan tercekat di kerongkongan, tapi mengapa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Mungkinkah ini nyata? Selama apa ia tertidur hingga melewatkan banyak hal?

"Ibu?"

"Sudah bangun, hmm? Nyenyak banget tidurnya, Jed. Ibu kangen main sama kamu" wanita itu ibu.

"Ibu di sini? Ibu udah maafin Jed?"

"Ya ibu disini lah.. Ibu ga pernah kemana-mana"

"Waktu itu.. Aku lupa kapan, ibu pernah pergi, pas pulang, ibu nyuruh aku ke panti asuhan, ngajak ayah pisah dan ibu benci sama aku karena aku sakit. Ibu ingat?" Jed menceritakan rentetan peristiwa yang ia ingat.

"Kamu ngawur, ibu sama ayah baik-baik aja. Kamu tidur kelamaan sih jadi mimpi buruk" Jade mengusap lembut pipi putranya.

"Syukurlah kalau mimpi bu, aku takut banget kalau itu beneran terjadi. Ibu jangan benci aku ya? Jangan pisah sama ayah, kita selamanya kayak gini, ya, bu?"

"Pasti, sayang.. pasti"

Jed dapat merekam senyum itu dalam netra dan otaknya. Senyum yang ia saja lupa kapan terakhir melihatnya. Kini dapat ia saksikan lagi secara nyata tanpa harus berandai-andai setiap menjelang tidur.

🌲🌲🌲🌲🌲

"Bangun, nak.. Ini ayah. Kata dokter, reaksi obat biusnya udah hilang bahkan dokter ga ngasih bius lagi, kok kamu masih betah tidur sih?" Sean menciumi setiap inci wajah putranya.

Air mata Sean tak pernah berhenti mengalir. Mungkin ia terlalu baik hingga Tuhan memberinya cobaan terus menerus. Baru sebentar ia merasakan kedamaian melihat Jed kembali pulih kini ia harus menerima kenyataan bahwa Jed belum juga siuman pasca pembedahan. Lidah Sean selalu merapalkan doa kepada Tuhan untuk senantiasa diberi kekuatan menjalani segala ujian-Nya, namun kali ini ia ingin menyerah. Tidak! Jika ia menyerah maka akan ada putranya yang lebih terpuruk. Kehilangan orang tua akibat perceraian, kelumpuhan dan kehidupan barunya di panti asuhan, sungguh semua itu sangat menyakitkan.

"Operasinya sukses, pak. Harusnya Jeremy sudah sadar, mungkin anak bandel ini lagi keasikan main di dunia mimpi jadi malas buat bangun. Tunggu saja, pak, sebentar lagi pasti siuman" Desmond meyakinkan Sean.

Hari ke tiga sejak Desmond melepas ventilator, menggantinya dengan nassal cannula dan memindahkan Jed ke ruang rawat reguler, bocah itu belum juga menunjukkan tanda-tanda ingin membuka mata. Silih berganti Sean, Lukman dan crew menemui Jed, mengajaknya berbicara namun hasilnya tetap sama.

Malam ini Sean amat lelah, ia baru bisa menemui putranya. Bergantian dengan Lukman yang berjaga selama ia pergi berkerja untuk mengantar anak didiknya turnamen di luar provinsi. Pesawat tertunda lebih dari lima jam. Sean mencari tiket penerbangan lain namun hasilnya sama, semua tertunda akibat cuaca buruk, hingga mau tak mau Sean menunggu sampai pesawat tiba.

Sean merebahkan tubuhnya di sofa, tulang tua, jadi kelelahan sedikit encok dan asam urat menyerang dengan sadis persendiannya. Sean berniat tidur untuk melepas penat, namun telinganya mendengar pergerakan di atas ranjang putranya.

"Ay..yah" lirih Jed.

Sean bergegas menghampiri Jed. "Ini ayah nak"

"Ini mimpi, aku har..rus tidur la..gi" ucap Jed terbata.

"Bangun nak! Kamu sudah bangun! Jangan tidur lagi!", Sean menepuk pelan pipi putranya.

Jed linglung. Tadi ibunya bilang, kalau kepergian orang itu hanya ada dalam mimpi. Keluarga kecilnya baik-baik saja. Bahkan ia dipeluk hangat di atas tempat tidur. Tapi apa ini? Ia justru terbangun di rumah sakit, sama seperti ingatan terakhir sebelum para dokter memperbaiki paru-parunya. Itu artinya, dirinya dan Sean sekarang adalah nyata dan kehadiran ibunya hanya ada dalam mimpi yang sampai mati pun mustahil diwujudkan.

"Ay..yah, lukaku perih"

Mata Sean tertuju pada perban melintang di dada sisi kanan Jed. Tangannya mengelus pelan pinggiran perban agar tidak menyakiti Jed.

"Bukan lu..ka itu"

Sean menghentikan gerakannya lantas beralih menatap Jed. Seakan bertanya apa maksudnya? Luka mana yang sakit?

"Kita di rumah, ibu datang bawa susu, mel..luk aku terus bil..lang kalau ibu pergi, pisah dan benci aku itu cuma mim..pi" Jed menarik nafas panjang mengumpulkan kekuatan untuk berbicara.

Jed membawa tangan ayahnya untuk menyentuh ulu hatinya.

"Tapi saat aku bangun dan tau itu cuma mimpi di dalam mimpi. Rasanya sakit ayah, lukaku disini yang perih. Di hati"


🌵🌵🌵🌵🌵🌵

***************************************

Mohon maaf atas kesalahan penulisan dan kalimat yang rumpang.

Salam hangat, Jed.

Berbeda ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang