Chapter 3 : Tidak Siap

2.6K 131 5
                                    

"Tapi aku hanya ingin kamu punya anak."

******

AUTHOR POV

Bram duduk di sofa ruang keluarga di kediaman nya sambil membuka sepatu dan kaos kakinya. Tas dan jasnya diletakkan di atas meja dan dasinya telah dilonggarkan.

Sarah datang dari arah dapur membawakan suaminya teh hangat.

"Sudah pulang mas?" sarah meletakkan tehnya diatas coffee table lalu duduk disebelah suaminya.

Bram tersenyum menatap istrinya, lalu dikecupnya hangat.

"Bagaimana pekerjaan dikantor?" tanya Sarah sambil memijit pelan bahu suaminya.

"Tidak banyak yang perlu dikerjakan, kebanyakan revisi gambar. Sedangkan kamu? Apa saja yang kamu lakukan selama dirumah? kamu gak kerja kan?"

Sarah tersenyum simpul, lalu merangkul pundak Bram. "Tidak, kali ini aku menurut sama suamiku. Oh iya mas, gimana?"

"Gimana apanya?" bram mengernyitkan keningnya sambil mengambil secangkir teh yang disediakan untuknya.

"Sudah dapat?"

"Dapet apa?"

"calon untuk jadi istri kedua mu."

Bram yang saat itu hendak meminum teh hangat nya seketika menggantung diudara. Ia membeku dan menatap Sarah tak percaya.

Merasakan ada perubahan sikap pada suaminya, Sarah segera melepaskan rangkulannya dan balik menatap Bram penuh tanda tanya. 

"Ada apa, mas?"

"Mas pikir kamu hanya bercanda, Sarah."
Sarah menggeleng pelan. "Tidak, mas. Aku bersungguh-sungguh atas permintaanku."

"Tapi kenapa?" Bram memelas.

"Aku hanya tidak ingin kamu terus terusan dicecar oleh pertanyaan semua orang mengenai kapan punya anak?"

Bram menyimpan sendoknya dan memiringkan sedikit posisi tubuhnya menghadap Sarah.

"Sayang, menyuruhku kembali menikah hanya karena kamu takut aku terus terusan ditanya mengenai anak, adalah tindakan yang tidak benar."

"Masih banyak cara yang bisa kita lakukan." ucap Bram.

"Contohnya?" tanya Sarah membuat Bram menelan salivanya.

"Eh.. Kita bisa adopsi."

Sarah tertawa pelan. "Aku ingin melihat darah daging suamiku, sekalipun itu bukan dariku." Sarah kekeuh pada pendiriannya.

Rahang Bram terlihat mengeras. Jakungnya terlihat naik turun. Ia menutup matanya dan menghembuskan nafasnya berat.

"Apa kita harus membahas hal ini berulang kali?"

"Lalu sampai kapan mas mau menjalani pernikahan ini tanpa anak?" Sarah tak kuasa lagi menahan hal yang mengganjal hatinya.

"Sudah nyata bahwa aku cukup sabar menghadapi hal ini selama bertahun tahun. Lalu apalagi yang kamu ragukan?"

"Apa yang kuragukan? Kalimat Mas barusan. Mas bilang 'cukup sabar'. Apa kata 'cukup sabar' mu itu berarti bahwa selama ini kamu juga menahan emosimu dan ikut mengharapkan seorang anak?"

Tak bisa dipungkiri. Memang Bram frustasi tentang kehadiran anak diantara mereka. Ia tak bisa menahan keinginan nya untuk menggendong darah dagingnya, bangun tiap tengah malam menenangkan bayinya yang menangis, menggantikan popoknya, memandikannya, serta mengajarinya berjalan dan berbicara.

Bram punya pekerjaan yang bagus. Bram punya harta berlimpah. Bram punya istri cantik. Bram punya segalanya. Lalu apa yang kurang?

Anak.

"Aku rasa kamu memang butuh anak mas."

Sarah pergi meninggalkan Bram sendirian di ruang makan agar lelaki itu kembali merenungi apa sebenarnya yang ia inginkan.

*****

Sarah terbangun dipagi hari ketika samar samar mendengarkan suara air. Ia berbalik dan mendapati sisi tempat tidur dibekakangnya sudah kosong.

"Mungkin mas Bram sedang mandi." Pikir Sarah.

Ia bangun dari tidurnya, dan merapikan diri di kamar mandi lantai bawah lalu menuju dapur untuk menyiapkan sarapan.

Bram turun dengan pakaian kemejanya yang rapi setelah 15 menit berlalu, sedangkan Sarah sudah selesai membuat nasi goreng dan secangkir kopi untuk Bram.

Bram langsung duduk di meja makan, tidak biasanya ia seperti itu. Biasanya ketika pagi di tidak pernah lupa untuk  mengecup kening istrinya, namun kali ini terasa berbeda bagi Sarah.

Sarah kemudian membawakan sepiring nasi goreng untuk Bram lalu ikut bergabung bersamanya. Mereka mulai makan dalam keheningan. Hanya terdengar suara dentingan antara sendok dan piring. Nampak mereka begitu larut dalam pemikiran masing-masing.

"Jadwal kamu hari ini apa aja mas?" tanya Sarah memecahkan keheningan karena tidak tahan dalam situasi itu.

"Hanya meeting."

2 kata tapi singkat, padat, dan jelas. Serta menyakitkan. Menyakitkan bahwa Bram menjawab pertanyaan Sarah dengan sikap dingin. Membuat Sarah ikut tersulut emosinya.

"Jangan karena semalam kamu masih marah seperti ini sama aku, Mas"

Bram menelan kunyahan makanannya, lalu menatap Sarah datar. "Marah apanya?"

"Kamu gak berhak untuk marah karena aku sedang berusaha untuk mencari jalan keluar dari masalah kita."

"Aku tidak marah, Sarah."

"Tapi sikap dingin mu sudah membuktikan bahwa kamu masih larut dalam percakapan terakhir kita."

"Kamu ini kenapa Bram?" tanya Sarah resah.

Bram menyimpan sendok yang ada ditangan kanannya, dan mengusap wajahnya gusar. "Cukup, Sarah"

"Tidak, ini bukan masalah cukup. Aku juga ingin melihatmu bahagia, bahagia melihatmu menggendong anakmu sendiri. Bahagia melihatmu membantu istrimu melewati masa kehamilannya, proses persalina—"

"Kubilang cukup Sarah!!" bentak Bram, membuat Sarah tersentak dan terdiam.

Di dalam mata Bram kini terpampang jelas sebuah emosi yang ditahannya sejak semalam. Ia menatap istrinya begitu tajam.

"Tapi aku hanya ingin kamu punya anak." tatap Sarah memelas.

Bram membanting garpu yang ada ditangan kirinya, sukses membuat Sarah tertunduk menyembunyikan airmatnya, dan ia meremas kedua tangannya dibawah meja.

Kesabarannya sudah habis!

"Masa bodo dengan bayi, aku tidak akan bahagia dengan jalan seperti itu!"

"Tapi pernikahan ini begitu suram."

"Cukup Sarah! Hentikan semua omong kosongmu!" Sarah mulai terisak pelan, membuat Bram menghembuskan nafasnya kasar. Ia meminum air mineral dihadapannya, lalu membanting gelas itu ke atas meja cukup keras.

"Aku pergi!" ucap Bram ketus, dan tidak mau repot repot menenangkan istrinya yang menangis dalam diam atau bahkan sekedar mengecup kening. Ia berlalu begitu saja, meninggalkan Sarah seorang diri yang terlihat merasa bersalah, meninggalkan istrinya dengan keadaan ruang makan yang berantakan.

····

TBC

Vote, vote, and vote
Comment, comment, and comment.

Semerdu Tangisan BayiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang