Chapter 32 : High Hopes

1.3K 73 14
                                    

SARAH POV

Tidak peduli bila aku harus mengikuti berbagai prosedur keamanan, atau bahkan harus latihan militer dulu untuk bertemu—aku bisa saja mengikutinya, atau bahkan melanggar aturan dan semakin memberontak. Tapi dimanapun ia berada, sesulit apapun untuk ditemui, tidak akan pernah menghalangiku untuk menghampirinya, mencacinya, dan melemparkan semua amarah yang kutahan beberapa hari ini.

Dari kejauhan, terlihat pria itu memimpin sebuah platon. Tanpa babibu aku berjalan kearahnya dan memakinya dihadapan semua orang.

"Atasan kalian yang terhormat telah menyalahgunakan jabatannya dan memukul suami saya hingga babak belur dan patah tulang!"

Orang orang yang tadinya berdiri tegak seketika menoleh dan tertegun. Dua sersanpun datang menghampiriku, menarikku paksa—tentu saja aku memberontak—tak lama setelah itu teriakan menggelegar membuat seluruh pasukan kembali terdiam dan menegang.

Mayjen Joesoef Tirtokoesoemo—mata elangnya, pangkat, gelar dan kehormatan yang bersanding padanya, serta pakaian loreng loreng yang membalut tubuhnya membuat ku tak gentar.. sama sekali.

Jangan kau pikir aku takut karena sedikitpun aku tidak merasakan itu melainkan amarah yang siap kutumpahkan.

"Warga sipil yang tidak berkepentingan dilarang masuk ke area ini."

"Buktinya saya ada disini."

"Lantas anda perlu apa kemari?" Satu alis Joeseof terangkat tinggi.

"Suami saya memang mendekati putri anda tapi bukan berarti anda harus memukul nya sampai babak belur!"

Lagi lagi keterusteranganku membuat orang sekitar semakin bertanya-tanya. Sengaja, dilakukan dengan amat sangat sengaja. Aku ingin seluruh dunia tahu bahwa sang perwira tinggi ini benar-benar sombong. 

Menyadari orang orang mulai berbisik dan memandang semakin ingin tahu, aku mulai menyeringai. Biarlah semua orang mengira bahwa anak sang perwira terlibat hubungan gelap—walau hal itu tidak sepenuhnya benar. Memangnya image dan harga dirinya sepenting apa dibanding keadaan suamiku?

Cengkraman kuat ditanganku membuatku meringis, kurasakan tanganku diseret menjauhi keramaian dan ketika sampai ditempat yang lebih sepi pria itu mendorongku hingga hampir menabrak pohon.

"Jangan macam-macam kamu disini!" Ancamnya.

"Memangnya kenapa kalau saya macam-macam? Anda takut?" Pancingku sukses membuat rahang Joesoef mengeras.

"Ingat ya! Saya tidak menyesal sedikitpun membuat dia patah tulang."

Sebelah alisku terangkat. "Anda baru saja mengakui telah memukul suami saya?"

"Tidak sulit bagi saya untuk mengakui dendam itu."

 "Dan tidak sulit juga bagi saya untuk melaporkan anda." timpalku. 

"Kamu lupa kalau suami mu juga bisa saya tuntut atas kasus pelecehan terhadap anak saya."

"Kinan bukan lagi anak kecil!"

"Kinan tetap anak perempuan saya!" kekeuh Joesoef.

"Saya paham anda tidak merestui Kinan dan Bram, tapi bukan berarti memukul adalah jalan keluar."

"Lelaki mata keranjang pantas menerima itu!"

Aku terkesiap. "Apa? Mata keranjang?" darahku mendesis seketika. "Dengar ya pak tua!" Tanganku menunjuk penuh amarah kearahnya, masa bodo dengan sopan santun. "Suami saya tidak melecehkan Kinan, dia tidak membawa Kinan kabur, dia juga tidak menikahi Kinan secara diam diam atau bahkan kawin lari. Demi Tuhan, suamiku meminta izin—"

Semerdu Tangisan BayiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang