"Hubungan itu ibarat api dan air. Jika ada salah satu diantara kalian yang berubah menjadi api, maka harus ada pula yang menjadi air. Kalian gak bisa sama-sama jadi api yang saling membakar. Sang api juga butuh air agar bisa padam."
******
AUTHOR POV
"Kamu berantem lagi sama Sarah?" tanya Nadine ketika ia mengambil tempat dihadapan Bram.
Bram menganggukkan kepalanya. "Lagi-lagi tentang perihal anak."
"Aku gak tahu kenapa dia kekeuh banget menyuruhku untuk menikah lagi. Padahal dia tahu jawabannya, aku gak akan mau. Tapi dia selalu punya cara dan alasan untuk menyuruhku kembali menikah."
Bram mendesah berat. "Aku gak nyangka pernikahanku tanpa anak membuatku menderita. Bukan menderita karena tidak ada kehadirannya, tapi menderita karena desakan menggebu dari Sarah." Bram menyisir rambutnya menggunakan jarinya, lalu ia mengacak-acaknya. Dia sangat frustasi.
Nadine mendesah pelan. "Bram, jujur aku gak tahu harus menanggapi permasalahanmu seperti apa karena aku gak merasakan itu. Tapi coba kamu bicarakan lagi baik-baik dengan Sarah. Buat dia mengerti tanpa harus berakhir dengan pertengkaran, bicara dari hati ke hati tanpa emosi sampai kalian menemukan titik terang dari masalah kalian."
"Masalahnya, Sarah ini tempramental banget. Aku kayak gak bisa ngadepin dia." resah Bram.
"Bram, kamu suaminya. Kamu udah nikah bertahun-tahun sama dia, munafik kalo kamu gak tahu gimana caranya untuk mendinginkan Sarah. Aku yakin kok, dia mau mendengarkanmu." Timpal Alex.
"Tapi gimana caranya?"
"Panggil dia, ajak dia makan siang, makan malam. Atau silahkan kalian nge-date berdua. Kalian bangun hubungan kalian lagi dari awal, lalu bicarakan dengan baik-baik masalah kalian. Dan cari jalan keluarnya masing-masing." jeda Nadine.
"Bram, Hubungan itu ibarat api dan air. Jika ada salah satu diantara kalian yang berubah menjadi api, maka harus ada pula yang menjadi air. Kalian gak bisa sama-sama jadi api yang saling membakar. Sang api juga butuh air agar bisa padam." Jelas Nadine membuat Alex mengangguk setuju.
Alex menepuk ringan bahu Bram." Nadine benar Bram. Masalahmu gak akan selesai kalau kalian berantem melulu." Bram menatap keduanya dengan tatapan memelas.
Apakah ia sanggup berbicara dengan Sarah yang tempramental belakangan ini? Bagaimana caranya menenangkan dia? Tidak mungkinkan ia mengikat dan memberi plester dimulut istrinya sendiri. Itu bisa menyakitinya.
Tapi harus bagaimana? Sarah benar-benar tidak mau diajak berkompromi.
Tapi apakah dia harus selalu menjadi air untuk memadamkan Sarah? Lantas sampai kapan Sarah harus selalu terbakar? Harus berapa kali ia mesti berubah menjadi air untuk menghentikan kobaran api itu?
−−−
Bram tiba didepan rumahnya. Ia mendongkak, memandangi rumah itu yang sudah ia tinggali selama bertahun-tahun bersama istri tercintanya. Rumah yang ia bangun untuk istrinya. Rumah yang diidam-idamkan Sarah.
Sebuah tempat tinggal bersama Bram. Itulah rumah impian Sarah, Rumah impian yang telah menjadi saksi bisu akan perjalanan rumah tangganya mereka.
"Pagi pak Bram."
Bram menunduk dan melihat tukang kebun rumahnya menunduk sopan kearahnya.
"Pagi Tardjo."
"Ehh, pak.." gumamnya. "Semalam bapak ndak pulang yo?" tanya Tardjo dengan logat jawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semerdu Tangisan Bayi
RomanceHatiku juga tak kalah hancur, ketika secara terus-menerus mendengar bisikan yang lama-lama membuat panas telinga. Apakah harus kerap menangis saat semua pergi? Dan lagi-lagi tak ada seorang pun yang mampu memahami itu. Tapi semakin aku terluka, se...