"Tapi bukankah anak anda menangis menginginkan saya?"
******
BRAM POV
Sudah berminggu minggu sejak terakhir kali aku melamar Kinan dan bertengkar dengannya. Mungkin juga sudah hitungan bulan, aku tidak tahu pasti. Namun, selama itu aku tak bertemu dengannya.
Begitu nampak dari seberapa buruk penampilanku saat ini. Aku tidak pernah bercukur. Rambut wajahku—kumis dan jenggot—kubiarkan tumbuh lebat, dan rambutku semakin gondrong. Pakaian yang ku gunakan ke kantor pun seadanya, membuat sebagian orang keheranan menatapku yang tidak biasanya terlihat berantakan seperti ini.
Aku seharusnya bisa lebih rapih, itu bukanlah hal yang berat. Tapi memiliki beban pikiran sebanyak ini, membuat segalanya jadi tidak semudah biasanya. Aku memikirkan Kinan terlalu banyak, bahkan lebih sering ketimbang memikirkan istriku sendiri.
Ya Tuhan, sudah berapa lama aku tak berbincang hangat dengan istriku? Berapa ciuman selamat malam yang kulewatkan dan sebanyak apa aku mengabaikannya?
Aku benar benar tidak tahu.
Aku memutar keran dihadapanku dan membasuh wajahku dengan air dingin. Aku mendongkak dan menatap wajahku sekai lagi melalui cermin.
Lihat, aku sudah menginjak pertengahan kepala tiga. Usiaku yang tak lagi muda dan didukung penampilan berantakan seperti ini—mata lelah dan kantong mata menghitam—membuatku benar benar seperti pria tua yang hidup sendiri dan tak terurus.
Aku menegakkan badanku, menatap diriku dari samping dan memperhatikan anggota tubuhku. Otot lenganku terlihat mengendur, lipatan dileherku semakin terlihat, dadaku sudah tidak terlalu bidang, dan perutku menjadi buncit.
For God Shake, Siapa pria dihadapanku ini? Aku bahkan tidak mengenalinya—diriku sendiri.
Pintu wc dibelakangku tiba tiba terbuka, aku segera kembali membasuh wajah.
"Lo mau makan apa ntar?" tanya Alex sambil mencuci tangannya.
"Apa aja."
Aku menyudahi ritualku, kemudian mengambil tissue dan mengelap wajahku yang basah. Dari kaca, aku melihat Alex menelitiku dengan seksama, namun aku tak menghiraukannya.
"You look awful, man."
Sekali lagi tak kutanggapi. Aku hanya berfokus pada diriku, sampai pada akhirnya Alex mencengkram pelan bahuku, membuat aku menoleh padanya.
"Udah dua bulan lo kayak gini, Bram." ucapnya khawatir.
"Dua bulan?"
"Ini bahkan udah mau masuk bulan ke tiga, Bram."
Aku tak bergeming dan kembali menatap pantulan wajahku kosong.
Alex menghembuskan nafasnya. "Lupain dia, please."
Keningku sedikit mengkerut. "Siapa?"
"Kinan."
"Lupain Kinan, Bram." pintanya lagi. "Maaf gue harus bilang seperti ini, tapi Kinan menolak untuk menikah sama lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Semerdu Tangisan Bayi
RomansaHatiku juga tak kalah hancur, ketika secara terus-menerus mendengar bisikan yang lama-lama membuat panas telinga. Apakah harus kerap menangis saat semua pergi? Dan lagi-lagi tak ada seorang pun yang mampu memahami itu. Tapi semakin aku terluka, se...